Khutbah Idul Adha: Keluarga Ibrahim dan Nilai-Nilai Kehidupan
Oleh: Erik Tauvani Somae, S.H.I., M.H.
اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي هَدَانَا إِلَـى اْلإِيْمَانِ وَ اْلإِسْلاَمِ، وَ أَمَرَناَ بِشَرِيْعَةِ نُسُكِ الْحَجِّ إِلَـى الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ذُو الْعَرْشِ الْعَظِيْمُ، وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ الْهَـادِي إِلَى الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ. وَ الصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ عَلَي النَّبِيِّ الْكَرِيْمِ – مُحَمَّدٍ – وَ عَلَي آلِهِ وَ صَحْبِهِ الْمُتَمَسِّكِيْنَ بِالدِّيْنِ الْقَوِيْـمِ. أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ وَ الْمُسْلِمَاتُ رَحِمَكُمُ اللهِ، أُوْصِي بِنَفْسِي وَ إِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ حَقَّ تُقَاتِهِ لِتَـفُوْزُوْا بِالْجَنَّةِ النَّـعِيْمِ، وَ السَّلاَمَةِ مِنَ الْعَذَابِ اْلأَلِيْـمِ. قَالَ اللهُ تَعَالَي فِي كِتَابِهِ اْلكَرِيْمِ: (إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (*) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَ انْحَرْ (*) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأَبْتَرُ).
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَ ِللهِ الْحَمْدُ. اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَ الْحَمْدُ لـِلَّهِ كَثِيْرًا وَ سُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَ أَصِيْلاً. لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ، وَ نَصَرَ عَبْدَهُ، وَأَعَزَّ جُنْدَهُ، وَ هَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ. لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَ لَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَ ِللهِ الْحَمْدُ.
Jamaah kaum Muslimin yang berbahagia rahimakumullah.
Alhamdulillah, di pagi yang cerah ini kita dapat melangkahkan kaki ke tanah lapang ini dengan suasana hati yang bahagia tiada bertepi. Puja dan puji syukur tak habis dipanjatkan untuk Ilahi Rabbi. Hari ini, Rabu, 28 Juni 2023, umat Muslim di seluruh dunia merayakan hari raya Idul Adha 1444 H. Hari raya yang mengingatkan kita semua atas kisah keluarga Nabi Ibrahim alaihi as-salam, ibadah qurban, dan nilai-nilai kehidupan yang penuh dengan kemuliaan. Shalawat dan salam pun senantiasa kita curahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Sang penyampai agama Islam dengan risalah rahmatan lil’alamin. Sang pembebas yang membebaskan umat manusia dari gelap menuju cahaya. Pun, ia adalah anak keturunan dari garis Ismail, putra Ibrahim.
Jamaah kaum Muslimin yang berbahagia rahimakumullah.
Nabi Ibrahim a.s adalah satu di antara lima nabi bergelar ulul azmi di samping Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad Saw. Apa pula sebab gelar ulul azmi itu disematkan? Adalah karena mereka diuji dengan ujian yang berat namun tetap tegar, tabah, kuat, sabar, dan istiqamah untuk menjalankan perintah Yang Maha Rahmah dan menghadapi umat dengan ragam tabiat. Pengorbanan yang amat besar itu, bagi mereka kecil belaka, karena tak ada yang patut “dibesar-besarkan” kecuali Yang Maha Besar.
فَٱصۡبِرۡ كَمَا صَبَرَ أُوْلُواْ ٱلۡعَزۡمِ مِنَ ٱلرُّسُلِ وَلَا تَسۡتَعۡجِل لَّهُمۡۚ
Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati, dan janganlah engkau meminta agar azab disegerakan untuk mereka. (Al-Ahqaf: 35)
Sebagaimana rasul ulul azmi lainnya, karakter Nabi Ibrahim a.s. tidaklah didapat begitu saja, namun ia mesti melalui ujian kehidupan yang panjang. Dari situ, Ibrahim tampil sebagai sosok Ibrahim yang kita kenal. Ibrahim yang sabar namun pantang surut ke belakang dan terus melangkah ke depan berdasarkan petunjuk Tuhan. Dengan karakter yang kuat itu, ia membangun keluarga yang berkarakter juga. Istri yang salehah, setia, dan sabar. Anak yang saleh, berbakti, dan haliim.
Di luar ujian kehidupan Ibrahim dengan ayah dan kaumnya yang menentang dakwahnya itu, ada ujian pribadi bersama istri yang amat dicintainya, Sarah. Setelah puluhan tahun menikah, sepasang suami-istri ini tak kunjung dikaruniai buah hati. Atas persetujuan dan anjuran dari Sarah, Ibrahim menikah lagi dengan seorang wanita salehah bernama Hajar. Dari penikahannya dengan Hajar inilah seorang anak laki-laki yang saleh lahir ke dunia, yaitu Ismail. Tanpa disangka, Sarah, istri Ibrahim yang pertama, di kemudian hari juga melahirkan seorang anak laki-laki bernama Ishaq.
Ibrahim dikaruniai buah hati setelah dalam ikhtiar, doa, dan penantian yang sangat lama, yaitu setengah abad setelah menikah. Kesabaran itu pun berbuah manis. Ibrahim dikaruniai anak-anak yang saleh. Bahkan anak-anak ini kelak menjadi nabi-nabi berikutnya. Dari garis keturunan ini pula, kelak lahir seorang nabi dengan akhlak yang agung, penutup dari para nabi, yaitu rasulullah Muhammad Saw.
Rupanya, ujian dari Allah SWT untuk Ibrahim masih berlanjut. Setelah dikaruniai anak pertama bernama Ismail yang kehadirannya telah dinanti selama setengah abad itu, harus pula ia ikhlaskan Ismail untuk dipersembahkan kepada Allah dengan cara disembelih.
رَبِّ هَبۡ لِي مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ١٠٠ فَبَشَّرۡنَٰهُ بِغُلَٰمٍ حَلِيمٖ ١٠١ فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡيَ قَالَ يَٰبُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٠٢
Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh. Maka kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail). Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berjalan bersamanya, Ibrahim berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu. Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (Ash-Shaffat: 100-102)
Jamaah kaum Muslimin yang berbahagia rahimakumullah
Dapat kita bayangkan, bagaimana perasaan Ibrahim kala itu. Setelah ujian demi ujian dilaluinya dengan penuh kesabaran, kini tiba saat kegembiraan sebagai seorang ayah itu datang, tapi tak lama harus ia lepaskan demi melaksanakan perintah Tuhan. Ikhlas menyembelih harta yang paling berharga di dunia demi Allah semata. Anak laki-laki itu, Ismail, memiliki sifat yang haliim. Satu sifat yang melampaui kesabaran. Bedanya, sabar lebih cenderung sebagai sebuah respons atas peristiwa yang menimpa seseorang. Sementara itu, halim adalah manakala sabar tidak hanya sebagai respons semata, tapi telah menjadi sikap hidup, karakter, habitus seseorang. Dalam hal ini, Ibrahim melalui akhlaknya telah berhasil mentransfer nilai-nilai kehidupan kepada putranya, Ismail.
Ayah dan anak ini pun berserah diri kepada Allah. Dibaringkanlah Ismail dengan pipi terlekap ke bumi supaya memudahkan Ibrahim melangsungkan pisau ke atas leher Ismail. Kala Ibrahim mengacukan pisau yang telah tajam itu, Allah menyeru: “Hai Ibrahim! Sesungguhnya telah engkau benarkan mimpi itu. Kami beri ganjaran kepada orang yang berbuat kebajikan. Sesungguhnya ini benar-benar suatu percobaan yang nyata. Dan telah Kami tebus dia (anak itu) dengan seekor sembelihan yang besar. Dan Kami tinggalkan sebutannya pada orang-orang yang datang kemudian. Salam sejahtera atas Ibrahim.”
Jamaah kaum Muslimin yang berbahagia rahimakumullah.
Pengorbanan yang mengharukan dalam kisah keluarga Ibrahim ini pun kekal abadi. Ia menjadi salah satu syariat agama yang terus dilakukan secara turun-temurun. Salah satu pengalaman Ibrahim dan Ismail yang diganggu oleh setan di tengah jalan hendak ke tempat penyembelihan pun diabadikan menjadi bagian dari Manasik Haji, yaitu lempar jumrah di Mina. Pujian yang amat tinggi dari Allah untuk Ibrahim pun adalah niscaya; salaamun alaa ibrahiim. Salam sejahtera atas Ibrahim. Dari sekilas kisah ini, banyak nilai-nilai kehidupan yang dapat kita ambil, renungkan, dan amalkan dalam situasi dan kondisi masing-masing dengan sungguh-sungguh dan mengharap ridha Allah SWT.
Nilai-Nilai Kehidupan
1. Pendidikan dalam keluarga: keluarga Ibrahim adalah salah satu role model (panutan) dalam pembinaan keluarga sakinah, baik dalam aspek pendidikan anak, relasi suami-istri, maupun peran sosok nahkoda yang membawa bahtera dalam mengarungi samudra kehidupan.
2. Musyawarah: coba perhatikan bagaimana cara Ibrahim berkomunikasi dengan anaknya, Ismail, tentang mimpi itu. Bahasa yang digunakan Ibrahim, sapaan seorang ayah kepada anaknya, dan kesempatan bagi anak untuk mengutarakan pendapatnya. Pola komunikasi yang berbasis pada musyawarah ini merupakan bagian dari pendidikan karakter seorang Ibrahim sebagai ayah kepada Ismail sebagai anak. Akhirnya, gayung bersambut, kata berjawab. Maksud sang ayah itu ditangkap dengan sempurna oleh si anak.
3. Sabar: menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridha Allah. Bahkan Ibrahim dan Ismail menunjukan sikap sabar yang di atas rata-rata, yaitu dengan sifat haliim. Sabar sebagai karakter dan jiwa.
4. Tawakal: membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada selain Allah dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada-Nya. Tawakal bukanlah sikap pasrah tanpa usaha. Konsep tawakal dalam Islam meniscayakan ikhtiar dan doa dalam satu tarikan napas. Ibrahim senantiasa berserah diri pada-Nya, tapi ia tak berpangku tangan begitu saja.
5. Cinta: kesadaran diri, perasaan jiwa, dan dorongan hati yang menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada sesuatu dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang. Kecintaan Ibrahim pada Allah membuatnya rela mengorbankan apa saja, termasuk hal yang paling dicintainya di dunia.
6. Ikhlas: beramal semata-mata mengharap ridha Allah. Keterkaitan antara perasaan cinta dan kepasrahan kepada Sang Pencipta, menjadikan Ibrahim beramal dengan sebaik-baiknya. Ibrahim paham betul, bahwa ikhlas bukan hanya faktor hati atau niat saja, tetapi harus dibuktikan dengan amal nyata yang sebaik-baiknya.
7. Khauf dan raja’: Takut kepada Allah dan berharap hanya pada-Nya
Jamaah shalat Idul Adha yang berbahagia rahimakumullah,
Akhirnya, marilah kita berdoa kepada Allah SWT dengan merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan-Nya dan senantiasa mengharapkan keridhaan-Nya.
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَـمِيْنَ، حَمْدَ النَّاعِمِيْنَ، حَمْدَ الشَّاكِرِيْنَ، حَمْدًا يُوَافِي نِعَمَهُ وَ يُكَافِئُ مَزِيْدَهُ، رَبَّـنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلاَلِ وَجْهِكَ وَ عَظِيْمِ سُلْطَانِكَ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَي نَبِيِّكَ وَ رَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ الطَّاهِرِ الزَّكِيِّ وَ عَلَي آلِهِ الطَّيِّبِيْنَ وَ أَصْحَابِهِ الْمُتَّـقِيْنَ (*) اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ، وَ الُمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ، اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَ اْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ، فَيَا قَاضِيَ الْحَاجَاتِ، وَ يَا مُجِيْبَ السَّائِلِيْـنَ (*) رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْـتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُ عَنَّـا وَ اغْفِرْ لَنَا وَ ارْحَمْنَا، أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ (*) رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَ هَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَة،ً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ (*) رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَ هَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا (*) رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صَلاَتَنَا وَ صِيَامَنَا وَ نُسُكَنَا، إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، وَ تُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ (*) رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ (*) سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِـزَّةِ عَمَّا يَصِـفُوْنَ، وَ سَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِـيْنَ، وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (*)
Erik Tauvani Somae, S.H.I., M.H., Dosen AIK Universitas Ahmad Dahlan, Wakil Bendahara MPKSDI PP Muhammadiyah