Oleh: Donny Syofyan
Tak lama lagi, umat Islam di seluruh dunia bakal merayakan Hari Raya Idul Adha atau Idul Kurban. Pada Hari Raya Kurban, umat Islam dianjurkan memperbanyak bacaan takbir, tahmid, tasbih dan tahlil. Gema ini bukan semata-mata untuk bersuka ria dan berpesta pora, tetapi merupakan refleksi ketakjuban seorang hamba akan kemahakuasaan Allah SWT, kekaguman atas kehebatan-Nya, dan penyerahan diri secara total akan kemahakuasaan-Nya. Mereka yang mampu menyembelih hewan kurban, disertai dengan merenungi diri masing-masing (muhasabah bin nafsihi), sudah sejauh mana kita konsekuen dan konsisten dalam pelaksanaan seruan Ilahi.
Kurban adalah bentuk ibadah yang dilakukan dengan cara menyembelih hewan. Tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menurut penelitian para antropolog, selain dalam ajaran Islam, dalam masyarakat tertentu juga dijumpai tradisi berkurban dengan menyembelih hewan. Sejak zaman paleolithik, dalam masyarakat primitif di Asia dan Afrika, bahkan masyarakat maju Jepang pun telah dijumpai praktik berkurban hewan. Dalam masyarakat Yunani kuno juga dikenal istilah Hierieia (ouranic god) dan Shagia (othonic god) yang merupakan persembahan hewan kurban. Di kalangan umat Hindu dikenal juga kurban hewan yang pelaksanaannya diawasi oleh kaum Brahmana.
Tujuan kurban yang dilakukan oleh masyarakat tersebut sangat beragam. Ada yang meyakininya sebagai bentuk suguhan (bribe) atau persembahan (offerings) kepada Tuhan agar Tuhan tidak marah dan murka. Ada juga yang meyakini sebagai tambahan kekuatan yang diperuntukkan bagi dewa dan dirinya.
Pada hemat saya, Hari Raya Kurban meniscayakan sebentuk kearifan simbolis karena salah satu kekuatan Idul Kurban berada pada fungsi legitimasi simbolisnya. Ibadah kurban, seperti halnya ibadah haji, bersifat simbolik. Di dalamnya, terkandung beberapa makna spiritual yang amat dalam.
Pertama, sebagai ungkapan syukur kepada Allah. Kewajiban pelaksanaan ibadah kurban tidak lain dimaksudkan sebagai ungkapan syukur terhadap pelbagai nikmat yang telah diberikan kepada hamba-Nya yang beriman dan berislam (QS Al Kautsar: 1-3). Abdullah Yusuf Ali, seorang otoritas terkemuka dalam ilmu tafsir, menyatakan bahwa sebagai ungkapan syukur maka bacaan takbir ketika menyembelih hewan kurban itu justru lebih penting daripada penyembelihan kurban itu sendiri (The Holy Qur’an: Translation and Commentary, No. 2810).
Kedua, sebagai suguhan cinta kasih dan simpati kepada kaum lemah. Ibadah kurban dalam Islam tidak sama dengan dengan upacara persembahan dalam agama-agama lain. Hewan kurban tidak dibuang dia altar pemujaan dan tidak pula dihanyutkan di air sungai. Daging kurban itu justru untuk dinikmati oleh pelaku kurban itu sendiri dan orang-orang miskin di sekitarnya (QS Al-Hajj: 28). Hanya saja, komitmen sosial terhadap kaum fakir miskin ini seyogianya tidak berlangsung di hari Idul Adha, tapi dimanifestasikan dalam wujud kepedulian dan pemberian terhadap kaum lemah secara tulus.
Namun demikian, kebutuhan fakir miskin tidak hanya sekarat daging yang bersifat santunan (karitatif). Apalagi ibadah kurban itu sendiri adalah bentuk ‘pengurbanan’ yang dilakukan sesaat dan cenderung seremonial. Amat sedikit di negara kita gerakan maksimal orang-orang kaya yang bersedia mengorbankan harta untuk kepentingan pendidikan bagi anak-anak terlantar dan tidak mampu. Tidak sedikit di antara mereka yang berotak jenius dan brilian terpaksa harus menyandang gelar drop out lantaran ketiadaan biaya. Jauh lebih penting, bukan sekadar daging yang mereka butuhkan, tetapi kepedulian, perhatian dan motivasi yang mereka harapkan untuk membangun masa depan yang lebih berarti.
Sikap simpati terhadap kaum lemah ini berperan meneguhkan wujud kesalehan sosial yang memang sangat dibutuhkan pada hari ini. Kesalehan sosial ini pada gilirannya bakal menginternalisasikan format teologi transformatif, di mana kebenaran agama terletak pada komitmennya pada solidaritas kemanusiaan dan emansipasi sosial yang dianut oleh pemeluknya. Lewat segenap hidupnya, Nabi SAW telah menunjukkan bahwa panggilan sebagai nabi dan rasul tidak sekadar kultus dan ritual. Beliau mengajarkan bahwa risalah kenabian yang sebenarnya adalah panggilan keberpihakan dan aksi advokasi kepada manusia yang dipinggirkan oleh sistem yang menindas, mengisap, membutakan dan menulikan masyarakat.
Dr Ahmad Zaki Yamani menjelaskan bahwa nyaris semua ibadah dalam Islam tidak dapat dilepaskan dari efek sosialnya. Sementara Dr. Yusuf Al-Qaradhawi membolehkan bagi yang meninggal berkurban dengan nilai uang, apabila masyarakat bersangkutan tidak lagi membutuhkan daging.
Namun, kendala penguatan efek sosial ibadah kurban tersebut sangat kompleks dan beragam. Ia tidak hanya butuh pemahaman yang benar tapi juga keberanian untuk menentang arus serta kekuatan untuk meluruskannya. Tidak berlebihan dikatakan kiranya bahwa semakin tinggi kedudukan politik dan kemapanan ekonomi seseorang merupakan indikasi semakin kokohnya keimanan seseorang jika kelebihan itu dimanfaatkan untuk memperkuat tali horisontal kemanusiaan. Beragama yang hanya dengan niat dan hati, tanpa kekuatan dan kemampuan untuk meluruskannya, sesungguhnya dikategorikan selemah-lemahnya iman.
Ketiga, sebagai simbol dari kesediaan kita untuk melawan dan mengenyahkan segala sesuatu yang akan menjauhkan diri kita dari jalan Allah, bisa dalam wujud harta, tahta ataupun hal-hal lainnya yang amat kita cintai dan kerap membuat kita tak sanggup berkata benar. Maka, kurban merefleksikan kemerdekaan kita melawan nafsu kita sendiri. Kemerdekaan ini fungsional mengantarkan kita pada kesadaran tauhid dalam menjalani ujian yang amat berat.
Keteladanan Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih putra tercinta Nabi Ismail mengajarkan bahwa keberhasilan untuk mencapai puncak keinsafan tauhid berkorelasi linear dengan kesanggupan seseorang dalam menundukkan kekuatan rasional dan membebaskan diri dari tipuan pengalaman-pengalaman indrawi, baik dalam kapasitasnya sebagai ayah yang harus menyayangi putranya maupun selaku suami yang baru saja menyambut kehadiran Ismail sebagai hadiah terbesar dari istrinya.
Kehidupan modern yang sarat dengan dominasi kekuatan rasional-ilmiah dan kedigdayaan empirik-teknologis seringkali melenakan kita bahwa kemampuan akal itu terbatas dan bahwa kekuatan indrawi itu sewaktu-waktu dapat menipu kita untuk mencapai kebenaran. Pengalaman agama pada kehidupan sehari-hari memperlihatkan bahwa gangguan dua kekuatan itu dirasakan lebih berat melebihi gangguan setan. Keduanya datang dari dalam diri kita sendiri. Kita lupa bahwa akal dan pengalaman empirik yang benar adalah akal dan pengalaman empirik yang beroleh bimbingan ilahi.
Dalam masyarakat, kita menobatkan seseorang menjadi pahlawan karena ada begitu banyak hal yang ia berikan kepada masyarakat. Takdir seorang pahlawan menyebutkan bahwa ia tidak pernah berpikir dan hidup dalam lingkup dirinya sendiri. Ia telah melampaui batas-batas kebutuhan bilogis dan psikologisnya. Batas-batas kebutuhan itu telah hilang bahkan lebur dalam kebutuhan kolektif masyarakatnya di mana segenap pikiran dan jiwanya tercurahkan. Di sinilah pengorbanan menemukan ruang artikulasinya, mendapatkan medium pembiakan yang fertil dan produktif. Sayyid Quthb mengatakan, “Orang yang hidup bagi dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Tetapi, orang yang hidup sebagai orang lain akan hidup sebagai orang besar dan mati selaku orang besar.”
Semoga pemaknaan simbolis Hari Raya Kurban ini makin memperkokoh bangunan solidaritas dan komitmen kita yang tidak sekadar diretorikakan, tetapi betul-betul dilaksanakan guna mendapatkan pertlongan Allah dalam melewati masa-masa sulit. Amin.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas