Idul Adha dan Krisis Lingkungan

Idul Adha dan Krisis Lingkungan

Oleh: Donny Syofyan

Menjelang peringatan Idul Adha ini, salah satu masalah yang terus menggembosi kita adalah krisis lingkungan. Lihatlah suasana kota Jakarta, yang baru-baru ini merayakan hari jadinya yang ke 496 tahun. Dalam beberapa minggu terakhir, Jakarta merangkak ke daftar teratas sebagai kota dengan kualitas udara terburuk. Menurut metrik yang diukur oleh perusahaan teknologi iklim Swiss IQAIR, Jakarta mencatat skor indeks kualitas udara (AQI) sebesar 157, menempatkannya secara tepat pada kategori “tidak sehat”. Awal bulan ini, udara Jakarta dilaporkan mengandung 67 mikrogram per meter kubik (μg/m3) dari PM 2.5 polutan, yang menyebabkan berbagai penyakit pernapasan, 13,4 kali lebih tinggi dari level aman menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

Sejarah ibadah kurban menegaskan bahwa keteladanan Nabi Ibrahim AS melaksanakan perintah Allah SWT untuk menyembelih putra tercinta Nabi Ismail merupakan keberhasilan untuk mencapai puncak keinsafan tauhid. Ini berkorelasi linear dengan kesanggupan seseorang dalam menundukkan kekuatan rasional dan membebaskan diri dari tipuan pengalaman-pengalaman indrawi, baik dalam kapasitasnya sebagai ayah yang harus menyayangi putranya maupun selaku suami yang baru saja menyambut kehadiran Ismail sebagai hadiah terbesar dari istrinya.

Hasrat meraup keuntungan lewat jalan pintas semisal membakar lahan hutan sejatinya menegaskan absennya etos pengorbanan yang menempatkan kesadaran tauhid di atas kekuatan akal dan kebolehan indrawi yang sewaktu-waktu dapat menipu kita untuk mencapai kebenaran. Krisis lingkungan berkorelasi linear dengan redupnya semangat tauhid yang menempatkan alam sebagai ayat-ayat Allah yang harus dihormati.

Kontekstualisasi semangat pengorbanan Ibrahim dan Ismail klasik tersebut bisa diterapkan lewat pendekatan ekokritisisme (ecocriticism) dalam melestarikan alam. Sungguhpun ekokritisisme merupakan kritik sastra yang berbasiskan lingkungan, namun pendekatan kritis ini amat fungsional guna menempatkan alam secara praktis—air, sungai, hutan dan lain-lain—sebagai bagian yang berdiri sejajar dengan manusia, bukan sebagai objek eksploitasi. Allah sendiri dalam Al-Quran mencerca orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” [QS Ar-Rum 41].

Dalam konteks ekokritisisme, menjaga alam sesungguhnya adalah keberlangsungan manusia yang semakin berada dalam keadaan gawat dan mengkhawatirkan ketika alam dan makhluk liar lainnya dirusak oleh kerakusan dan kebodohan, yang bernama kemajuan. Karenanya, gagasan untuk mempertahankan alam liar, hutan belantara atau gurun semula jadi berkorelasi linear dengan upaya untuk mencegah terjadi polusi-polusi peradaban, salah satunya adalah kepemilikan atas lahan-lahan yang sebetulnya dianggap sebagai bagian dari alam liar.  Bagi para pendukung ecocriticism, terutama kalangan the New World environmentalism, keberlangsungan alam liar mensyaratkan tidak adanya kepemilikan tanah secara khusus dan kehadiran manusia secara umum. Dua hal tersebut dianggap bakal merusak tatanan alam semula jadi.

Tak kalah pentingnya, spirit berkorban yang ditandai oleh karakter altruistik—mendahulukan kepentingan pihak lain meskipun diri sendiri amat membutuhkan, juga disebut itsar—juga relevan dalam melestarikan alam liar lewat pendekatan green tourism alih-alih sekadar meraih keuntungan sebesar-besarnya lewat modernisme dan industrialisasi. Dengan model ini, pembangunan wisata ke depan harus menjauhi pola-pola industrialisasi yang justru menguras sumber daya alam, keuangan bahkan teknis.

Dengan perkemahan besar, stasiun yang nyaman, toilet siram, listrik, atau pusat pengunjung, objek wisata alam akan kehilangan pesonanya karena sebagian besar keindahannya terletak sisi liarnya, kesulitan untuk mengakses, dan bahkan unsur bahaya yang dimilikinya. Orang-orang yang berkelana dengan berjalan kaki ke padang gurun akan disambut oleh keindahan dan kedekatan dengan alam. Mobil pariwisata yang memungkinkan pengunjung menikmati pemandangan indah alam liar tak dapat menggantikan atau mensimulasikan perasaan alamiah berada di padang gurun atau hutan, menjadi bagian dari alam dengan mengandalkan kemampuan sendiri.

Edward Abbey (1927-1989), sastrawan Amerika pembela ekokritisisme, menegaskan bahwa hal sentral dalam green tourism adalah keberlangsungan (sustainability), bukan aksesabilitas (accessibility). Upaya untuk menitberatkan aspek keberlanjutan dan perlindungan yang lebih baik bisa diawali, misalnya, dengan larangan penggunaan mobil mesti dijalakan. Biarkan wisayawan berjalan. Bila kita bersepakat untuk tidak melarang mobil memasuki mesjid, katedral, ruang konser, museum seni dan tempat suci lain, kita seyogianya juga bisa perlu memperlakukan taman nasional, hutan liar atau gurun dengan cara yang sama. Mereka juga bagian dari tempat-tempat suci dari kebudayaan kita.

Ekokritisisme menekankan bahwa voluntarisme dan kedekatan dengan lingkungan merupakan gaya hidup manusia yang beradab. Deforestasi yang telah berdampak pada krisis lingkungan berupa kabut asap tahunan di Sumatra dan Kalimantan akan berkurang sepanjang satu langkah kecil dijalankan secara berani untuk membela kelestarian alam dan lingkungan. Bila penyembelihan hewan kurban pada bulan Idul Adha untuk didistribusikan kepada orang fakir miskin, maka ikhtiar untuk menjinakan sisi binatang dalam hati manusia adalah dengan menjaga keasrian lingkungan di Tanah Air ini.

Pecinta lingkungan adalah pahlawan kontemporer yang sejati. Seseorang dinamakan pahlawan karena begitu banyak pengorbanan yang ia berikan kepada masyarakat. Ia tidak pernah berpikir dan hidup dalam lingkup dirinya sendiri. Sayyid Quthb mengatakan, “Orang yang hidup bagi dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Tetapi, orang yang hidup sebagai orang lain akan hidup sebagai orang besar dan mati selaku orang besar.”

Mencintai lingkungan adalah bagian dari tugas kekhalifahan. Al-Quran mengingatkan bahwa Adam AS ditempatkan di bumi sebagai khalifah, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi….” (QS Al Baqarah 30). Sebagai khalifah, artinya Adam AS adalah perwakilan Tuhan. Dengan pengertian ini,  keturunan Adam juga menerima tanggung jawab yang sama; menjaga bumi Allah sebagai bagian dari pengabdian kepada-Nya sekaligus merawatnya demi kemaslahan manusia sendiri.

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Exit mobile version