Oleh: Wahyudi
Syahadat adalah dasar utama bagi seluruh rangkaian ajaran Islam. Keislaman seseorang harus dimulai dengan dua kalimat syahadat sebelum melakukan ketentuan-ketentuan ajaran Islam yang lainnya. Seseorang yang tidak mengakui bahwa tidak Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, maka orang tersebut tidak dapat dianggap sebagai seorang muslim.
Brangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, tiada sekutu bagi-Nya, bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, Nabi Isa adalah hamba Allah, utusan-Nya, kalimah-Nya yang diletakkan dalam diri Maryam, dan Ruh dari-Nya. Juga bersaksi bahwa surge dan neraka adalah hak, maka ia akan dimasukkan ke dalam surga oleh Allah sesuai dengan amal perbuatannya. (HR. Bukhari-Muslim)
Syahadat adalah persaksian. Yaitu persaksian bahwa Allah SwT adalah Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan persaksian atas kerasulan Muhammad SaW. Menurut Sa’id Hawwa persaksian atas ke-Esaan Allah SwT harus mencakup tiga makna. Pertama, persaksian dengan akal dan hati nurani bahwa tidak ada tuhan yang berhak diibadahi melainkan Allah SwT. Kedua, Persaksian tersebut diucapkan dengan lisan. Ketiga, Persaksian tersebut harus tegas, tanpa ada keraguan, sebagaimana ketegasan seseorang saat bersumpah.
Dari ketiga makna di atas Sa’id Hawwa mengatakan bahwa barangsiapa tidak memberi kesaksian dengan lisannya, bahwa tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi melainkan Allah, karena keingkaran dan kesombongan, maka ia dianggap kafir. Barangsiapa tidak memberi kesaksian dengan hati dan akalnya, bahwa tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi melainkan Allah, atau masih ragu-ragu tentangnya, maka ia dianggap munafik, jika memberi kesaksian dengan lisannya. Dan, dianggap kafir, jika tidak memberikan kesaksian dengan lisannya. (Al-Islam 1/45).
Inti dari syahadat Laa ilaha illallah adalah penghambaan diri kepada Allah SwT. Seorang muslim tidak boleh beribadah melainkan hanya kepada Allah SwT. Kalimat la ilaha illallah memiliki dua rukun: yaitu al-itsbat (penetapan) dan an-nafyu (peniadaan). Kata la ilaha berarti peniadaan atau penolakan terhadap segala ilah (yang disembah) selain Allah SwT. Dan kata illallah berarti penetapan bahwa segala bentuk ibadah itu hanya untuk Allah SwT semata. Semua yang disembah selain Allah SwT adalah batil. Manusia hanya wajib beribadah kepada Allah SwT, tidak kepada selain-Nya.
Demikianlah (kebesaran Allah) karena Allah, Dialah (Tuhan) Yang Hak. Dan apa saja yang mereka seru selain Dia, itulah yang batil, dan sungguh Allah, Dialah Yang Mahatinggi, Mahabesar. (Al-hajj [22]: 62)
Kata Ilah dalam kalimat syahadat berarti ma’bud (yang disembah), sesuatu yang dianggap berkuasa dan agung mempunyai nilai yang patut disembah dan ditaati sepenuh hati. Penyembahan kepada Allah SwT ini merupakan tujuan hakiki dari diciptakannya manusia di muka bumi.
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya beribadah kepada-Ku. (Adz Dzariyat [51]: 56)
Mengomentari ayat di atas, Sayyid Quthub menyatakan bahwa ibadah adalah tujuan dari eksistensi manusia, yang sekaligus menjadi tugas utamanya, di mana pengertian ibadah ini lebih luas dan lebih universal daripada sekedar pelaksanaan tata cara ritual. Peran manusia sebagai khalifah pun tercakup di dalamnya.
Ibadah, menurut Sayyid Quthub, memiliki dua pengertian. Pertama, menetapkan makna penghambaan kepada Allah SwT dalam diri manusia, yaitu menanamkan kesadaran bahwasannya ada hamba dan Tuhan, hamba yang menyembah dan Tuhan yang disembah dan tidak ada pihak selainnya. Dalam hal ini tidak ada selain yang disembah dan yang menyembah, satu Tuhan dan yang lainnya adalah hamba. Kedua, menghadapkan aktifitas hati, anggota badan dan seluruh kehidupannya kepada Allah SwT semata, dan melepaskannya dari selain-Nya dari setiap makna penghambaan kepada selain Allah.
Kalimat syahadat laa ilaha illallah merupakan persaksian seorang muslim, bahwa tujuan hidupnya adalah semata-mata untuk beribadah kepada Allah SwT saja. Dengan demikian, ia akan mengarahkan seluruh aktifitas hidupnya, mengubah jalan hidupnya, dan memperbaiki cita-cita hidupnya sehingga selaras dengan tujuan hidupnya, yaitu hanya beribadah kepada Allah SwT. Sehingga tidak disebut seorang muslim, orang yang tidak berkeyakinan atas keesaan Allah SwT dan mendedikasikan seluruh ibadah-ibadahnya untuk selain Allah SwT.
Katakanlah: “Sesungguhnya sembayangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (Al-An’am [16]: 162-163)
Sedangkan kalimat kedua dari syahadat adalah asyhadu anna Muhammadar rasulullah, yaitu sebuah persaksian yang menegaskan bahwa Muhammad adalah rasul Allah yang menyampaikan wahyu Allah SwT, yang akan menjelaskan bagaimana manusia beribadah kepada Allah dalam hidup dan seluruh kehidupannya. Sehingga ia menjadi teladan bagi orang-orang yang beriman, yang mengharapkan ridha Allah dalam hidupnya.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Akhir dan dia banyak menyebut nama Allah. (Al-Ahzab [33]: 21)
Sebagai utusan Allah yang menjadi teladan bagi orang-orang beriman, Nabi Muhammad SaW bukanlah satu-satunya Nabi dan Rasul yang pernah diutus. Sebelum nabi Muhammad SaW, telah ada utusan-utusan Allah SwT yang lain, yang datang silih berganti dalam berbagai kurun zaman (Ali-Imran [3]: 144). Mereka adalah para penyeru kepada keesaan Allah SwT, dan mereka datang kepada setiap umat tanpa terkecuali (Fathir [35]: 24), sehingga satu per satunya tidaklah diketahui dengan pasti. Sebagian ada yang dikisahkan dalam Al-Qur’an, dan sebagian tidak (An-Nisa’ [4]: 164) (Al-Mukmin [40]: 78). Maka, kedatangan nabi Muhammad SaW adalah betugas melengkapi rentetan penyeru keesaan Allah SwT tersebut, sehingga ajaran Nabi Muhammad SaW berfungsi sebagai pendukung dan pelengkap bagi ajaran-ajaran keimanan yang telah ada sebelumnya.
Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan, (Al-Maidah [5]: 48)
Menjadikan Allah SwT sebagai satu-satunya tujuan hidup tidak bisa dilepaskan dari meneladani Nabi Muhammad SaW. Tanpa adanya bimbingan dan tuntunan dari Nabi Muhammad SaW, ibadah sebagai tugas utama hidup manusia mustahil dapat dilakukan dengan benar. Karena itu kalimat wa asyhadu anna muhammadarrasulullah ini sekaligus persaksian seorang muslim untuk menjadikan Nabi Muhammad sebagai teladan hidupnya.
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali-Imran [3]: 31-32)
Ketika menafsirkan ayat di atas Ibnu Katsir menjelaskan bahwa orang yang mengaku cinta kepada Allah tetapi tidak berada di jalan Muhammad (Islam) adalah dusta, sehingga dia mengikuti syariat dan agama Nabi dalam seluruh ucapan dan perbuatannya, sebagaimana hadits Rasul: Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka itu tertolak. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/25)
Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan, “Sebagaimana halnya bahwa setiap amal yang tidak diniatkan karena wajah Allah SwT maka pelakunya tidak mendapatkan pahala, maka demikian pula setiap amalan yang bukan perintah Allah dan Rasul-Nya adalah tertolak atas pelakunya, dan setiap orang yang mengada-ada dalam urusan agama yang tidak diperkenankan Allah dan Rasul-Nya maka itu bukan termasuk agama sedikitpun.”
Meneladani Nabi Muhammad SaW dalam seluruh aspek kehidupan merupakan pilar utama cinta kepada Allah SwT. Cinta kepada Allah SwT bukanlah hanya ucapan dengan lisan, atau siratan di dalam hati semata, tetapi harus ditindaklanjuti dengan mengikuti dan meneladani Rasul SaW. Mengikuti petunjuknya dan mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadi dan sosial. Apabila seseorang telah mengikrarkan tujuan hidupnya untuk Allah semata, maka dia tidak bisa tidak harus menjadikan Nabi Muhammad SaW sebagai teladan hidupnya. Dalam konteks kehidupan saat ini, dimana beliau telah tiada, maka seorang muslim tidaklah cukup menjadikan Al-qur’an semata sebagai pedoman hidupnya, tetapi juga harus menerima sunnah Nabi SaW.
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Al-Hasyr [59]: 7)
Aku tinggalkan pada kalian semua dua perkara, yang kamu tidak akan tersesat selamanya bila kalian berpegang teguh dengan keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnahku. (HR. Hakim)
Ibarat sebuah jalan, maka jalan yang ditempuh oleh Rasulullah SaW dalam kehidupan beliau adalah jalan lurus yang diridhai Allah SwT. Melalui beliau Allah SwT menunjukkan kepada umat manusia jalan yang lurus lengkap dengan segala rambu-rambunya. Siapa yang mematuhinya akan selamat di dunia dan akhirat. Siapa yang tidak mengikutinya akan tersesat di dunia dan akhirat.
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. (Al-An’am [6]: 153)
Demikianlah kedua hakikat dari kalimat syahadat yang akan mendorong seorang muslim untuk menyelaraskan hidupnya dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SaW. Seorang muslim yang benar persaksiannya, senantiasa akan mengoreksi dan memperbaiki diri dan kehidupannya agar selaras dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah, serta meninggalkan hal-hal yang bertentangan dengan keduanya. Wallahu A’lam.
Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta. Tinggal di Timuran, Brontokusuman, Mergangsan Yogyakarta