Ritualisasi Haji

Ritualisasi Haji

Oleh: Donny Syofyan

Ada beberapa aktivitas mendasar yang merupakan bagian dari keseluruhan struktur ibadah haji. Ini dimulai saat para jemaah atau peziarah memasuki suasana sakralitas. Selama dalam suasana tersebut, beberapa hal dilarang dilakukan untuk menunjukkan bahwa Muslim yang tengah yang berhaji benar-benar mendedikasikan dirinya untuk Tuhan dan tampil apa adanya. Misalnya, jemaah tidak boleh memotong kuku pada waktu itu. Ini bukan periode yang lama, tetapi simbolis. Ini ada maknanya.

Sakralitas ini dikenal sebagai suasana ihram. Bagi pria, keadaan itu dilambangkan dengan mengenakan pakaian yang tidak berbentuk yang lazimnya sesuai dengan tubuh manusia. Jadi biasanya dua potong kain besar, seperti dua handuk besar, satu terbungkus di sekitar bagian bawah, atau melilit bagian bawah tubuh, yang lain terbungkus di sekitar bagian atas tubuh. Sementara wanita diizinkan mengenakan pakaian seperti biasa, tetapi mereka masih dalam suasana sakral. Dalam suasana ihram ini jemaah juga dilarang menggunakan parfum. Ini mengajarkan dan mengingatkan bahwa Muslim pada fase ini tidak terlalu peduli dengan hal-hal jasadiyah semisal penampilan. Jemaah pada fase ini juga hanya menggunakan sandal biasa alih-alih sepatu yang lazim dipakai. Jemaah atau peziarah sepenuhnya mendidedikasikan dirinya kepada Tuhan. Mereka tidak begitu peduli dengan semua kemewahan kehidupan. Karenanya, keadaan ihram merupakan sakralisasi ilahiyah di satu sisi dan deprofanisasi di sisi lain—melupakan segenap godaan dan tarikan duniawi.

Hal lain yang harus dilakukan adalah bahwa jemaah akan mengitari Ka`bah. Ini disebut dengan thawaf. Aktivitas ini dilakukan tujuh kali. Itu salah satu ritual utama haji. Saat melantunkan doa thawaf, para jemaah berkeliling Ka’bah tujuh kali yang berlawanan arah jarum jam. Mengapa berlawanan arah jarum jam? Bergerak searah jarum jam adalah bagaimana dunia bekerja dan manusia dibingkai dalam arti absolutnya. Ritual haji melatih peziarah untuk sementara melawan kekuatan dan godaan duniawi. Waktu adalah relatif sementara Tuhan itu mutlak. Sekali dalam hidup Anda, lupakan kesenangan duniawi Anda untuk berkonsentrasi pada Tuhan Allah SWT.

Hal ketiga adalah melakukan sa`i atau berjalan atau berlari kecil antara Shafa dan Marwah, dua bukit yang tidak jauh dari Ka`bah. Dan yang terakhir, tetapi yang paling penting adalah wukuf di Padang Arafah pada hari kesembilan bulan haji. Dan itu sangat penting sehingga disebutkan dalam hadits bahwa “Haji adalah (wukuf) di Arafah. Siapa yang datang (di Arafah) pada hari Nahar malam sebelum fajar terbit, dia terhitung melakukan wukuf” (HR Tirmidzi, Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah). Wukuf adalah puncak dari ibadah haji. Dalam bahasa Arab wukuf artinya berhenti karena dalam pelaksanaannya seluruh jemaah haji akan berhenti dari segala aktivitas dan berkumpul di Padang Arafah sambil memperbanyak memanjatkan doa.

Bagaimana dengan melempar jumrah? Itu juga salah satu aspek dalam pelaksanaan ibadah haji. Ini sejatinya memperingati tindakan Ibraham AS. Dikisahkan pada saat itu Nabi Ibrahim AS diperintah oleh Allah untuk menyembelih putranya, Ismail AS. Namun, di tengah-tengah usaha Nabi Ibrahim AS dalam melaksanakan perintah Allah, datanglah iblis yang berusaha sekuat tenaga untuk mengiming-imingi dan mengganggu Nabi Ibrahim AS agar mengurungkan niatnya menyembelih sang putra. Nabi Ibrahim AS yang teguh pendirian kemudian dengan cepat mengetahui bahwa upaya iblis tersebut ditujukan agar dirinya tergoda dan tidak menaati perintah Allah. Oleh karena itu, ketika iblis kembali mengganggunya, Nabi Ibrahim AS pun mengambil tujuh buah batu dan melemparkannya pada si iblis.

Dalam tradisi Muslim, ini diperingati dengan membangun tiga pilar atau tiang batu pada tempat yang berbeda. Tiang-tiang ini tidak berbentuk seperti apa pun, hanya tiang biasa seperti tiang yang bisa menahan rumah. Dan tiang-tiang ini menandai tempat-tempat di mana Ibraham AS didatangi oleh iblis. Tiga pilar atau tiang yaitu Ula, Wustha, dan Aqabah, di jembatan Jamarat, Mina, Makkah. Jemaah melempar jumrah sebagai simbol perlawanan terhadap iblis, dan bagian dari ritual haji.

Berkurban juga bagian sangat penting dengan ibadah haji. Momen ini disebut Idul Adha atau Idul Kurban, baik bagi jemaah haji maupun bagi Muslim di seluruh dunia. Dan pada hari itu jemaah melempar umrah pada tiang pertama batu yang pertama dari tiga tiang yang ada serta pada saat yang sama melakukan ibadah korban, yang lagi-lagi ini terbuhul dengan kehidupan Ibraham AS. Nabi Ibraham AS diberi seekor domba untuk dikorbankan, bukan putranya Ismail AS. Dia mengorbankan binatang itu karena dan untuk Allah dan Muslim memperingati tindakannya dengan berkorban juga.

Lalu, kenapa Makkah? Haji adalah ritual yang penuh dengan fakta, kebutuhan dan keniscayaan historis. Muslim percaya bahwa Ka’bah adalah bangunan tertua di dunia sebagaimana diceritakan dalam Al-Quran. Sebagai perbandingan, sementara agama-agama lain saat ini tidak mewajibkan penganutnya untuk melakukan ziarah ke tempat tertentu, Islam menjadikan haji secara eksplisit sebagai rukun atau pilar Islam, yaitu ibadah wajib bagi setiap Muslim sekali seumur hidup. Namun, seperti tercatat dalam sejarah, bahwa selama Abad Pertengahan, ziarah adalah praktik umum di Barat, tidak hanya untuk Yerusalem di Israel tetapi juga ke situs sejarah lainnya seperti Canterbury di Inggris. Semangat ziarah ini dapat digunakan sebagai referensi teologis untuk memahami esensi ziarah Muslim ke Makkah saat ini. Sebelum 1967, ketika Yerusalem jatuh ke Israel, ziarah Muslim juga termasuk Yerusalem.

Ibadah haji jelas mengajarkan umat Islam untuk mengembangkan visi global dan kosmopolitan. Ziarah haji adalah pengalaman yang unik, memiliki dimensi spiritual, sosial dan global. Muslim yang melakukan ini menunjukkan pengabdian penuh dan selama mereka menunaikan haji diperlakukan sebagai tamu Allah. Ketika mereka kembali ke Tanah Air, mereka memiliki semangat keagamaan baru. Peran mereka di antara sesama Muslim dan warga negara adalah signifikan. Mereka harus menjadi warga negara model atau teladan, anak bangsa yang patut dicontoh.

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Exit mobile version