Spirit Berhaji dan Berkurban dalam Relasi Kehidupan Sosial

Spirit Berhaji dan Berkurban dalam Relasi Kehidupan Sosial

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Di tengah balutan mega mendung, suasana pelaksanaan Shalat Idul Adha 1444 H dapat diselenggarakan dengan penuh khidmat, Rabu (28/6). Muhammadiyah Jetis menghadirkan Abdur Rauf, SThi., MAg selaku Dosen Al Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta sebagai imam dan khatib Idul Adha yang dipusatkan bertempat di Lapangan Kopertis Bumijo Yogyakarta.

Dalam khutbahnya, Rauf mengatakan bahwa momentum Idul Adha menjadi penting melongok kembali perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim dengan Nabi Ismail selaku putranya terkasih. Menurutnya Nabi Ibrahim AS berjuang untuk menghidupkan agama tauhid dan agama yang hanif. Yakni agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kedamaian dan kemanusiaan universal sebagai pedoman hidup bagi manusia di muka bumi.

“Suatu perjuangan yang maha berat di tengah-tengah masyarakat polytheist yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebendaan dan materialis yang seringkali menjadi sumber konflik yang abadi sepanjang umur manusia,” ujarnya.

Rauf mengetengahkan pada Idul Adha, terjadi dua peristiwa penting yang patut dikontemplasikan bagi jagat umat Islam di penjuru buana. Yakni ibadah haji dan kurban yang keduanya sebagai manifestasi dari ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pada saat bersamaan juga sebagai napak tilas dan rekonstruksi terhadap jejak perjuangan Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sehingga tak pelak di situ terkandung kekayaan hikmah begitu mendalam yang laik dijadikan ibrah bagi umat Islam.

“Dalam ibadah haji dan ibadah kurban tersebut terdapat hikmah yang dalam dan mengandung nilai-nilai kehidupan yang sangat tinggi. Sehingga ini penting diperhatikan secara saksama bagi kita semua,” katanya.

Salah satu kegiatan ibadah haji berupa sa’i yaitu lari-lari kecil dari bukit Shafa dan Marwah. Ini menjadi memoriam tatkala Siti Hajar (istri Nabi Ibrahim) tengah mencari air minum untuk Nabi Ismail yang kehausan. Dirinya berlari-lari di bukit tersebut sampai 7 kali. Sampai kemudian Allah memberikan air segar yang memancar dari celah-celah kedua kaki Nabi Ismail. Menurut Rauf, di sini terdapat hikmah besar berupa pergumulan untuk mencapai keberhasilan.

“Hikmah dan pelajaran dari ibadah sa’i adalah untuk mencapai keberhasilan harus dilakukan melalui perjuangan yang keras dan sungguh-sungguh tanpa henti dengan bertakwa dan senantiasa bertawakal kepada Allah. Pastilah Dia akan memberikan petunjuk jalan keluar dan memberi limpahan rezeki,” terangnya.

Selain itu, ibadah haji sebagai puncaknya wukuf di padang Arafah. Para jamaah haji mengenakkan pakaian yang seragam, selembar kain putih tanpa berjahit, tinggal di tenda yang hanya beratapkan selembar kain terpal. Hampir selama sehari semalam, mereka tinggal di ‘Arafah. Pengalaman beragama dalam bentuk wukuf di ‘Arafah sangat mendalam dan menyentuh seluruh eksistensi dan relung paling dalam keberadaan umat Muslim.

“Pakaian yang seragam itu sebagai simbol kesamaan derajat manusia di sisi Allah SWT. Yang membedakan manusia dalam pandangan Allah bukanlah dari negara mana, ras apa, suku apa, bahkan bukan pula dari sisi kaya dan miskin, bangsawan ataupun rakyat jelata, pimpinan atau karyawan, melainkan ketakwaannya,” tuturnya.

Bagi seseorang yang telah menunaikan ibadah haji, berarti ia telah memperoleh “pencerahan” di dalam dirinya. Ia akan semakin arif dan bijaksana dalam memandang kehidupan, ia akan lebih peduli kepada nasib sesama. Ia akan menempatkan dirinya sebagai pembela dan pengayom orang-orang yang teraniaya. “Maka, terhadap jamaah haji yang demikan, sangat wajar kalau Allah menjanjikan tempat kembalinya nanti adalah Jannatun Na’im,” jelasnya.

Selain itu, Idul Adha juga terjadi peristiwa penyembelihan hewan kurban. Dalam ajaran Islam, kurban mengandung makna spiritual dan sosial. Kurban memiliki fungsi spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan ketakwaan dan mengingat nikmat-Nya. Selain itu, kurban juga memiliki fungsi sosial, yakni menjadi jembatan integrasi dan solidaritas masyarakat dengan membagikan daging qurban kepada orang-orang yang berhak.

“Oleh sebab itu, dalam upaya menggapai ketakwaan kepada Allah, marilah kita lestarikan spirit berkurban sebagai modal dasar dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera, penuh limpahan rahmat, ridha, dan maghfirah-Nya,” tandasnya. (Cris)

Exit mobile version