Oleh: Donny Syofyan
Ketika Nabi Muhammad SAW wafat pada 632 M, Islam tidak berakhir tapi dilanjutkan di bawah kepemimpinan empat orang khalifah yang terkenal, yakni Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Keempatnya dikenal sebagai khulafâ’ur-râsyidûn, secara harfiah bermakna para pemimpin yang mendapatkan petunjuk. Secara bersamaan mereka membentuk model kekhalifahan bahkan ada yang menyebut negara Islam pertama selama lebih kurang tiga puluh tahun. Dalam masa tiga puluh tahun tersebut khulafâ’ur-râsyidûn telah menaklukkan Persia, Mesir, Mesopotamia, jazirah Arab bahkan kawasan yang menjadi bagian kekaisaran Byzantium di Anatolia.
Dalam skala tertentu, model negara ini sangat demokratis mengingat para khalifah dipilih oleh semacam dewan atau kelompok yang merupakan perwakilan banyak kelompok atau masyarakat. Namun transisi kekuasaan antara para khalifah ini tidak selalu berjalan mulus. Tiga puluh tahun kisah kepemimpinan pertama kali direkam secara apik oleh sejarawan, Ibnu Ishaq. Tapi sebagian besar karya-karyanya hilang. Sebelum karya-karya itu hilang, sarjana dan sejarawan mengutip dan meringkasnya. Berita baik bahwa Islam muncul ketika sumber-sumber tulisan jauh relatif lebih baik—sejarawan mencatat, ilmuwan menulis buku bahkan catatan harian, dan hakim menulis artikel-artikel birokratis. Karenanya, abad ke-7 ke atas kita dianugerahi kekayaan catatan dan dokumen. Wajar bila kemudian kita mengetahui banyak rincian sejarah.
Salah seorang sejarawan yang memanfaatkan tulisan Ibnu Ishaq sebagai sumber utamanya adalah sejarawan Persia abad ke-9, Muhammad ibn Jarir al-Tabari. Ia mengumpulkan pelbagai catatan dan Menyusun sebuah kronik berjudul تاريخ الرسل والملوك Târîkh al-Rusul wa al-Mulûk), lebih dikenal sebagai Târîkh al-Thabârî (تاريخ الطبري), yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi The History of the Prophets and Kings. Karya ini merupakan 39 volume kronologi dari tokoh-tokoh yang ada dalam Alkitab, kerajaan-kerajaan kuno serta hingga tokoh-tokoh besar hingga tahun 915 M. Sungguhpun menulis banyak orang dan peristiwa, al-Tabari secara khusus mendedikasikan karyanya ini untuk keseluruhan periode khulafâh ar-râsyidûn yang berawal dengan wafatnya Rasulullah Muhammad SAW.
Mangkatnya Nabi Muhammad SAW meninggalkan pertanyaan penting, siapa pemimpin ummah berikutnya. Soalnya umat Islam tidak memperhatikan masalah ini secara serius sebelum wafatnya beliau. Lalu mereka berhadapan dengan persoalan baru. Mereka sadar bahwa pemimpin umat berikutnya bukanlah seorang ‘santo’ atau orang suci mengingat Nabi Muhammad secara spesifik sudah menegaskan sebagaimana Al Qur’an juga menandaskan bahwa beliau adalah penutup para rasul. Pertanyaan yang tak kalah penting bahwa pemimpin berikutnya bukanlah tipe seorang raja atau kaisar karena umat bukan sekadar negara biasa tapi sebuah komunitas Islam yang memandang diri mereka sebagai pengejawantahan ajaran Islam.
Pada jam-jam awal berpulangnya Rasulullah, Abu Bakar (sahabat dekat nabi yang kala itu berusia 59 tahun) mendengar rumor bahwa kaum Muslimin dari Madinah berkumpul untuk memilih pemimpin mereka sendiri. Abu Bakar lalu mengumpulkan sahabat lainnya dan menginterupsi pertemuan tersebut. Ia memohon kaum Muslimin dari Madinah untuk memikirkan kembali dan memilih hanya satu pemimpin tunggal untuk semua kaum Muslimin. Dalam pidatonya Abu Bakar meminta bahwa kita bukan memilih nabi atau raja, tapi dia meminta satu orang yang bakal memoderatori musyawarah atau memandu diskusi. Dia lalu mengusulkan dua orang sahabat, dan satu di antara dua sahabat itu adalah Umar bin Khattab.
Dalam tradisi masyarakat Badui bukanlah kelaziman melewati orang yang lebih tua sebagai pemimpin. Umar (47 tahun) kemudian mendatangi Abu Bakar sambil menitikkan air mata memohon agar Abu Bakar sudi jadi pemimpin baru umat Islam. Umat Islam yang hadir secara aklamasi sepakat mengangkat Abu Bakar sebagai deputi atau wakil umat Islam pertama yang kemudian dikenal sebagai khalifah pertama. Saat itu tak seorang pun yang tahu apa makna di balik titel khalifah ini maupun kekuasaan yang dipunyainya. Suksesi Abu Bakar diumumkan dan disambut riang gembira. Peristiwa ini terjadi di Saqifah Bani Saadah (سقيفة بني ساعدة) di Madinah
Masalahnya, tidak semua orang termasuk sahabat Nabi, hadir di sana. Salah satu kandidat lain yang tidak hadir dan tidak mendengar kabar pengangkatan Abu Bakar ini adalah sepupu Nabi sendiri, anak dari pamannya sendiri, yakni Ali bin Abi Thalib (33 tahun). Saat diskusi berlangsung dan Abu Bakar ditetapkan sebagai khalifah, Ali masih memandikan jasad Rasulullah. Kita bisa membayangkan bagaimana keadaan di kala itu. Menurut sejumlah sumber Ali menganggap bahwa ia adalah penerus Rasulullah (tapi bukan sebagai Nabi), ia adalah orang yang paling dekat dengan Muhammad. Ayah Ali, yakni Abu Thalib, mengadopsi Muhammad sebagai anaknya, yang pada gilirannya Ali dan Muhammad adalah kakak beradik. Namun Muhammad lebih tua tiga puluh tahun dari Ali. Lagi-lagi dalam masyarakat Arab Badui kala itu, kakak yang jauh lebih tua memegang peranan selaku orang tua bagi adik-adiknya. Lagi pula, Ali hidup dan tumbuh di keluarga Muhammad. Pada dasarnya, Ali sudah dianggap anak sendiri oleh Muhammad. Demikian setidaknya pandangan Syiah.
Tak kalah pentingnya, Ali adalah remaja pertama yang masuk Islam atau membenarkan kerasulan Muhammad. Ia adalah orang yang mempertaruhkan nyawanya mengambil pisau tatkala seorang pembunuh hendak mendekati Muhammad. Ia selalu berada di samping Muhammad dalam setiap pertempuran. Manakala Islam menyebar ke seluruh jazirah Arab dan kaum Muslimin tumbuh dan berkembang, Nabi Muhammad SAW menjadikan Ali sebagai tangan kanannya. Dalam perjalanan pulang dari Haji Wada yang dihadiri umat sebanyak 70.000 hingga 120.000 orang, Rasulullah berhenti di suatu tempat bernama Ghadir al-Khumm dan bersabda, “Barang siapa yang mengangkat aku sebagai maula-nya, Ali adalah maula-nya pula. Ya Allah, jadilah pendukung yang mendukung Ali dan musuh bagi yang menentang Ali.” Kelompok Syiah menerjemahkan hadits ini sebagai penegasan bahwa Rasulullah menunjuk atau menetapkan Ali sebagai pewaris atau penggantinya. Kaum Sunni, bagaimanapun, memahami bahwa dengan hadits ini Rasulullah meminta kaum Muslimin untuk menghormati, menghargai dan menyayangi Ali sebagai sepupu sekaligus menantunya.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas