Abu Bakar Shiddiq: Frontier Tauhid (Bagian Kedua)
Oleh: Donny Syofyan
Agaknya faktor terpenting mengapa Ali dianggap sebagai pewaris atau penerus Nabi Muhammad adalah beliau tidak punya putra. Cucu laki-laki yang dimilikinya hanyalah putra-putra Fathimah yang menikah dengan Ali. Karenanya, putra-putra Ali adalah cucu baginda Rasul. Namun, dalam pemikiran Sunni, suksesi berdasarkan dinasti bukanlah ajaran Islam. Pertautan keluarga Ali dengan Rasulullah bukanlah alasan untuk membenarkan munculnya aristokrasi di kalangan umat pada waktu itu. Karenanya saat Rasulullah berpulang, Ali diabaikan. Ia dianggap bukanlah kandidat bahkan diajak berkonsultasi pun tidak.
Menurut sumber Syiah, butuh waktu enam bulan buat Ali untuk menyetujui keputusan pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah. Sepanjang masa itu, para penyokong Abu Bakar mengancam Ali dan keluarganya hingga suatu insiden menyebabkan Fathimah keguguran. Sumber dari kalangan Sunni menyebut bahwa Ali perlu waktu beberapa hari sebelum menyatakan sumpah setia kepada Abu Bakar. Adapun keguguran yang dialami Fathimah adalah karena kecelakaan. Pertikaian ini tidak bisa diselesaikan bahkan hingga sekarang dan telah melahirkan dua kelompok besar dalam Islam, Sunni dan Syiah.
Terlepas apakah enam bulan atau enam hari Ali akhirnya memutuskan untuk menyetujui dan setia kepada kekhilafan Abu Bakar, yang terjadi berikutnya adalah semua suku dan puak di jazirah Arab menjauhkan diri untuk loyal kepada Abu Bakar dan ibu kota Madinah. Para pemimpin kaum atau puak tersebut berdalih bahwa mereka hanya setia kepada Muhammad, bukan Abu Bakar atau ummah. Oleh sebab itu, kesetiaan mereka batal. Tapi alasan yang paling esensial adalah penolakan atau keengganan mereka membayar zakat kepada bendaharawan di Madinah. Ada yang bahkan mendeklarasikan diri sebagai nabi, yakni Musaylamah. Di sinilah khalifah Abu Bakar memosisikan diri dan jabatannya sebagau frontier tauhid. Dia tidak ingin ajaran Islam lepas sehelai demi sehelai yang dimulai dari keengganan membayar zakat.
Abu Bakar merespons dengan mengutarakan doktrin yang sangat tegas, bahwa bila hanya ada satu Tuhan, maka hanya satu umat. Pemisahan dan kemurtadan dianggap sebagai pemberontakan. Pernyataan ini dianggap logis dan efektif sebagai solusi jangka pendek. Namun deklarasi ini kemudian mentransformasikan Islam bukan sekadar sistem keyakinan tapi juga sebuah sistem sosial-politik. Dengan kata lain, ini adalah akar munculnya politisasi Islam dalam sejarah. Hanya dalam kurun setahun (632-633 M), upaya-upaya pemberontakan mampu diberangus atau dihabisi oleh seorang panglima tempur dan penasihat militer utama Abu Bakar, yakni Khalid bin Walid. Khalid mampu mendapatkan kembali kontrolnya atas keseluruhan jazirah Arab dan mengakhiri perang saudara pertama dalam sejarah Islam, yakni Perang Riddah (perang melawan kemurtadan).
Sepanjang era kekhalifahannya, Abu Bakar juga berhadapan dengan serangkaian provokasi yang dilakukan oleh imperium Persia dan Romawi Timur (Bizantium). Ini berujung dengan perang habis-habisan antara umat Islam dan imperium Persia maupun Romawi Timur. Imperium Persia mencoba menghasut pemberontakan di kawasan utara Arab, sementara imperium Romawi Timur menggerakkan pasukannya ke perbatasan wilayah kekuasaan Islam dengan tujuan untuk menaklukkan wilayah-wilayah Arab yang terpecah-pecah.
Dalam sudut pandang militer, invasi Persia dan Romawi Timur ke kawasan Muslim adalah sebuah keniscayaan dalam jangka panjang. Karenanya, khalifah Abu Bakar mengambil keputusan untuk menyerang terlebih dahulu (preemptive strike) daripada diserang kemudian. Perlu dipahami bahwa di waktu itu jazirah Arab terdiri dari suku-suku dengan otonomi tersendiri. Mereka berdagang rempah-rempah, pakaian dan barang-barang lainnya dari utara ke selatan, timur ke barat. Mereka sangat familiar dengan rute-rute perdagangan utama dan agama-agama besar pada saat itu. Mereka juga paham dengan logistik dan taktik militer dari kekaisaran Persia dan Romawi Timur.
Tapi yang jauh lebih krusial bahwa Abu Bakar sadar betul bahwa baik Persia maupun Romawi Timur sama-sama lelah sebagai konsekuensi peperangan berabad-abad. Dengan demikian, Abu Bakar, para penasihat militer dan komandan tempurnya menjalankan serangkaian kampanye militer alias pertempuran yang pada beberapa dekade berikutnya menggiring terwujudnya salah satu imperium atau wilayah kekuasaan terbesar di bawah kolong langit ini dalam sejarah.
Hingga suatu hari di bulan Agustus 634 M, setelah mandi air hangat Abu Bakar keluar rumah dan diterpa hembusan angin dingin. Malamnya ia demam tinggi dan mafhum bahwa ajalnya sudah dekat. Ia memanggil tokoh-tokoh penting kaum Muslimin dan menominasikan Umar sebagai penggantinya, khalifah berikutnya. Umar adalah juga sahabat dekat Rasulullah, tapi pada saat yang sama ia adalah sosok petinggi militer yang keras dan tegas, berbadan tinggi dan temperamental. Sifat-sifat ini tak jarang mengintimidasi orang-orang di sekitarnya. Jadi, perwakilan umat saat diskusi tak yakin bahwa Umar adalah sosok yang tepat untuk memimpin umat. Pada saat diskusi berlangsung hangat, pada saat-saat kritis itulah Ali tampil ke depan dan meng-endorse Umar. Ucapan Ali, meminjam frase bahasa Inggris, adalah tipping the scales—memberikan pengaruh besar bagi terambilnya keputusan.
Umat akhirnya memilih khalifah kedua. Segera setelah Umat diamanahi sebagai khalifah, ia melanjutkan kampanye militer yang sudah dikerjakan bersama dengan Abu Bakar sebelumnya. Krisis suksesi kepimpinan berakhir. Kini saatnya untuk pertempuran dan penaklukan berikutnya untuk menyebarkan ajaran Islam.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas