Oleh: Suko Wahyudi
Setiap mukmin dalam mengemban tugas hidupnya tidak bisa lepas dari dua kewajiban, yakni kewajiban memelihara hubungan kepada Allah SwT dan memelihara hubungan yang baik dengan sesama manusia. Allah SwT telah menjelaskan bahwa sesungguhnya orang-orang yang memutuskan hubungan kepada Allah maupun kepada sesama manusia hidupnya akan diliputi kehinaan dimana pun mereka berada.
ضُرِبَتۡ عَلَيۡهِمُ الذِّلَّةُ اَيۡنَ مَا ثُقِفُوۡۤا اِلَّا بِحَبۡلٍ مِّنَ اللّٰهِ وَحَبۡلٍ مِّنَ النَّاسِ وَبَآءُوۡ بِغَضَبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَضُرِبَتۡ عَلَيۡهِمُ الۡمَسۡكَنَةُ ؕ ذٰ لِكَ بِاَنَّهُمۡ كَانُوۡا يَكۡفُرُوۡنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَيَقۡتُلُوۡنَ الۡاَنۡۢبِيَآءَ بِغَيۡرِ حَقٍّؕ ذٰ لِكَ بِمَا عَصَوۡا وَّكَانُوۡا يَعۡتَدُوۡنَ
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka (berpegang) pada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia. Mereka mendapat murka dari Allah dan (selalu) diliputi kesengsaraan. Yang demikian itu karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi, tanpa hak (alasan yang benar). Yang demikian itu karena mereka durhaka dan melampaui batas. (Ali Imran [3]: 112)
Berkaitan dengan hubungan dengan sesama manusia Rasulullah SaW telah memberikan tuntunan sebagaimana dalam sabdanya,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sudah menjadi sunnatullah bahwa manusia memiliki kelebihan dan juga kekurangan. Untuk melengkapi dan saling menyempurnakan kekurangan tersebut maka menjalin ukhuwah Islamiyah adalah perkara yang sangat penting yang harus dilakukan dalam kehidupan umat.
Ukhuwah Islamiyah adalah sebuah istilah yang menunjukkan persaudaraan antara sesama muslim di seluruh dunia tanpa melihat perbedaan warna kulit, bahasa, suku, bangsa, dan kewarganegaraan. Yang menjadi pengikat persaudaraan itu adalah kesamaan keyakinan atau keimanan kepada Allah SwT dan Rasul-Nya. Mereka sama-sama bersaksi tiada Tuhan melainkan Allah SwT dan Nabi Muhammad adalah nabi dan utusan-Nya. Ikatan keimanan ini jauh lebih kokoh dan abadi dibandingkan dengan ikatan-ikatan primordial lainnya, bahkan jauh lebih kuat dibandingkan dengan ikatan darah sekalipun.
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُّؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ يُوَاۤدُّوْنَ مَنْ حَاۤدَّ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَوْ كَانُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ اَوْ اَبْنَاۤءَهُمْ اَوْ اِخْوَانَهُمْ اَوْ عَشِيْرَتَهُمْۗاُولٰۤىِٕكَ كَتَبَ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الْاِيْمَانَ وَاَيَّدَهُمْ بِرُوْحٍ مِّنْهُ ۗوَيُدْخِلُهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗرَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُۗ اُولٰۤىِٕكَ حِزْبُ اللّٰهِ ۗ اَلَآ اِنَّ حِزْبَ اللّٰهِ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ (٢٢)
Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya. Mereka itulah orang-orang yang dalam hatinya telah ditanamkan Allah keimanan dan Allah telah menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari Dia. Lalu dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah yang beruntung. (Al-Mujadilah [58]: 22)
Ukhuwah Islamiyah bukanlah sekedar persekutuan di antara sesama umat manusia, tetapi di sisi lain ukhuwah Islamiyah adalah cerminan dari ekspresi ketuhanan secara transendental. Istilah ukhuwah, dengan beberapa bentuk kata jadiannya seperti ikhwah, ukhuwah dan lain sebagainya, digunakan Al-Qur’an sebagai isyarat ajaran yang bersifat horizontal untuk melengkapi sisi ajaran lainnya yang bersifat vertikal.
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ (١٠)
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. (Al-Hujurat [49]: 10)
Di dalam ayat tersebut dengan sangat ramah Al-Qur’an menggandengkan kata mukmin dan ikhwah. Yang pertama tentu saja berkaitan dengan tauhidullah, sementara yang kedua berkaitan dengan sikap Tauhidul ummah. Sebuah perpaduan dua sikap yang pada gilirannya membentuk individu yang utuh sebagai bahan dasar terbentuknya bangunan sosial Islam.
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan ayat di atas, “Semua orang beriman itu bersaudara dalam agama”. Hal senada juga dijelaskan oleh Imam al-Baghawi dalam kitab tafsirnya “Ma’alim At-Tanzil” dan Imam al-Khazin dalam kitab tafsirnya “Lubab at- Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil” bahwa maknanya adalah bersaudara dalam agama dan al-wilayah (perwalian) atau al-walayah (pertolongan). Imam as-Samarqandi dalam tafsirnya “Bahrul ‘Ulum” menjelaskan ayat di atas, “Kaum muslimin seperti saudara dalam kerjasama dan tolong menolong sebab mereka di atas agama yang satu”.
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya “Taysir al-Karim ar-Rahman fii Tafsiir Kalaami al-Mannan” menjelaskan ayat di atas, “Inilah ikatan yang Allah ikatkan di antara kaum mukmin bahwa jika ada pada seseorang di manapun, di timur dan barat bumi, serta ada pada dirinya iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan Hari Akhir, maka sesungguhnya ia adalah saudara untuk kaum mukmin. Persaudaran ini mewajibkan kaum mukmin mencintai untuk saudaranya apa saja yang mereka untuk diri mereka sendiri dan membenci untuk dia apa saja yang mereka benci untuk diri sendiri.”
Dengan demikian, tauhidullah dan ukhuwah merupakan dua ajaran penting dalam Islam yang menjadikan dasar dan semangat yang melekat pada wujud umat dalam melakukan berbagai aktivitas hidupnya. Karena perpaduan kedua ajaran inilah, dalam ajaran Islam, perilaku apapun yang didasarkan pada motivasi pengabdian kepada Allah SwT dapat dikategorikan sebagai ibadah. Ibadah sendiri pada dasarnya mencakup seluruh aktivitas manusia, baik langsung berkaitan dengan transendensi ketuhanan maupun yang dilakukan dalam konteks kehidupan sosial.
Dalam sejarah Islam, sejak masa rintisan pertama di Madinah, Nabi Muhammad SaW berhasil membentuk tatanan masyarakat yang mencerminkan semangat ukhuwah. Seperti yang tercatat di dalam lembaran-lembaran sejarah, bahwa sebelum datangnya Islam bangsa Arab dikenal sebagai bangsa yang terpecah ke dalam suku-suku, yang satu sama lain tidak hanya saling bersaing dan bermusuhan, bahkan tidak jarang terjadi peperangan. Sebelum kedatangan Nabi SaW ke Madinah, tidak ada yang dapat mempersatukan antara suku Aus dan Khajraj. Secara turun temurun kedua suku iru selalu terlibat permusuhan dan peperangan. Tidak ada yang dapat mempersatukan mereka kecuali Islam.
وَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْۗ لَوْاَنْفَقْتَ مَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مَّآ اَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ اَلَّفَ بَيْنَهُمْۗ اِنَّهٗ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ (٦٣)
dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana. (Al-Anfal [8]: 63)
Rasulullah SaW, tidak hanya berhasil mempersatukan Aus dan Khazraj, tetapi juga berhasil mempersatukan dan mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar. Sejarah mencatat dengan tinta emas, betapa indah tulusnya persaudaraan antara Muhajirin dari Makkah dan Anshor di Madinah. Mereka rela berbagi apa saja untuk saudara-saudara seiman. Demikianlah ukhuwah Islamiyah betul-betul merupakan nikmat dari Allah yang harus disyukuri dan dipelihara.
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا ۖوَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَا ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ (١٠٣)
Dan berpegangtegulah kamu semuanya dengan tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lau menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara. Dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, alu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Ali-Imran [3]: 103)
Dari kisah di atas ada beberapa faktor yang memperkuat bangunan ukhuwah, seperti yang diperankan oleh masyarakat Nabi Muhammad SaW. Pertama, ukhuwah pada dasarnya merupakan refleksi sosial dari kekuatan tauhid (iman dan takwa) setiap individu yang tergabung di dalamnya. Sehingga wujud ukhuwah ini otomatis menjadi ukuran kesalihan dan ketakwaan, baik secara individu maupun kolektif. Pesan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa “setiap muslim adalah saudara”, mengisyaratkan kesan bahwa orang-orang beriman itu hanyalah mereka yang memelihara dalam dirinya sikap dan perilaku ukhuwah.
Kedua, ukhuwah merupakan wujud yang mencerminkan terpeliharanya budaya ta’awun (tolong menolong), tasamuh (toleran), dan sejumlah budaya positif lainnya yang bersumber pada sifat-sifat Rahman dan rahin-Nya. Karena itu, Nabi SaW sendiri menggambarkan ukhuwah sebagai satu kesatuan jasad yang senantiasa saling memperkokoh di antara bagian yang satu dengan yang lainnya.
Dari kedua hal di atas, ukhuwah Islamiyah adalah merupakan nikmat dan karunia Allah Allah SwT dalam wujud kesatuan hati dan perasaan yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa (Ali Imran [3]: 103) (Al Anfal [8]: 63). Ukhuwah Islamiyah adalah sesuatu yang menyatu dengan iman dan takwa. Tidak sempurna iman tanpa ukhuwah dan tidak ada ukhuwah yang hakiki tanpa iman. Tidak ada persaudaraan yang abadi tanpa takwa, tidak ada takwa yang sempurna tanpa persaudaraan (Al Hujurat [49]: 10) (Az Zukhruf [43]: 67). Jika ukhuwah Islamiyah kosong dari iman dan takwa, maka yang menjadi ikatan adalah kepentingan sesaat, yang tidak mustahil akan mudah retak dan rapuh jika terjadi perbedaan dalam menyikapi kepentingan tersebut.
Ukhuwah Islamiyah bukan hanya untuk kepentingan dan kemaslahatan pribadi, tetapi ia juga mempunyai tujuan akhir, yaitu menunjang terciptanya kehidupan yang Islami. Ukhuwah memerlukan pilar-pilar untuk menegakkannya. Pilar-pilar tersebut adalah:
1 . Bersikap husnudzon dan menjauhi sikap su’udzon di antara sesama muslim.
اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ (١٢)
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (Al Hujurat [49]: 12)
2. Berpegang pada tali Allah (Islam) secara kaffah dan dalam pergaulan hendaknya berpedoman serta mengacu pada ajaran Islam yang bersumberkan Al-Qur’an dan Sunnah maqbulah.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ (٢٠٨)
Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.(Al Baqarah [2]: 208)
3. Berusaha untuk terus menerus melaksanakan hak-hak sesama muslim.
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْۘا وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ (٢)
Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya. (Al Maidah [5]: 6)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَقُّ اَلْمُسْلِمِ عَلَى اَلْمُسْلِمِ سِتٌّ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ, وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ, وَإِذَا اِسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْهُ, وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اَللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ, وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ . (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Hak muslim kepada muslim yang lain ada enam.” Beliau bersabda, ”Apabila engkau bertemu, ucapkanlah salam kepadanya; Apabila engkau diundang, penuhilah undangannya; Apabila engkau dimintai nasihat, berilah nasihat kepadanya; Apabila dia bersin lalu dia memuji Allah (mengucapkan ’alhamdulillah’), doakanlah dia (dengan mengucapkan ’yarhamukallah’); Apabila dia sakit, jenguklah dia; dan Apabila dia meninggal dunia, iringilah jenazahnya (sampai ke pemakaman).” (HR. Muslim)
Rasulullah bersabda “Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima yaitu: menjawab salam, menengok orang sakit, mengantarkan jenazah, mendatangi undangan, mendoakan orang yang bersin jika mengucapkan Alhamdulillah dengan ucapan yarhamukalloh. (Muttafakun alaih)
4. Menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang akan merusak ukhuwah Islamiyah, seperti menghina, ghibah, memfitnah, menyebarkan aib sesama saudara seiman, saling mencurigai dan lain sebagainya.
إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَتَدَابَرُوا وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللَّهِ إحْوَانًا
Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. (HR. Bukhari-Muslim). Wallahu A’lam
Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta