Mengurai Islamofobia (Bagian ke-2)

Mengurai Islamofobia (Bagian ke-2)

Mengurai Islamofobia (Bagian ke-2)

Oleh: Donny Syofyan

Banyak Muslim ingin tampil lebih vokal. Mereka ingin mengutuk kebijakan luar negeri AS. Tetapi jika mereka melakukannya, mereka akan dicap sebagai ekstremis. Ini akan membahayakan posisi mereka yang sudah rapuh. Mereka menangguhkan aspirasi ini dengan alasan sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakannya. Dengan kata lain, banyak hal yang harus dikorbankan oleh umat Islam dalam pencarian legitimasi, inklusi dan rasa memilki. Banyak yang membenarkan bahwa posisi Muslim di AS cukup kritis sehingga perlu dicegah agar tidak terlibat terlalu jauh dalam kritik politik.

Banyak tokoh Muslim AS merasa terjebak karena tidak kuasa menyampaikan tuntutan yang mereka buat. Mereka dibolehkan berdebat seputar isu-isu inklusi, toleransi dan keragaman, tetapi bukan perubahan politik yang sistemik. Karenanya, Islamophelia, yang menunjukkan bahwa umat Islam adalah patriotik dan pekerja keras di AS, bertumpu pada asumsi bahwa satu-satunya alasan Islamofobia ada karena persepsi orang. Padahal masalah utamanya bukanlah Islamofobia sikap, tetapi Islamofobia sistemik. Islamofobia sistemik ini dibangun di dalam lembaga, didanai oleh pajak rakyat AS dan tidak menyisakan ruang dialog budaya yang bisa mengubah realitas tersebut.

Betapa banyak mahasiswa AS hari ini yang tidak mengetahui tentang hubungan dekat antara AS dengan kelompok-kelompok di Afghanistan selama Perang Dingin, yang sekarang mereka stempel sebagai teroris. Mereka tentu tidak sadar tentang ikatan kuat antara pemerintah AS dan monarki Islam. Mereka tidak mengerti bagaimana konservatisme agama di negara-negara Teluk sebenarnya melindungi kepentingan Barat ini. Begitu hal tersebut dijelaskan kepada mereka, mereka mulai menaruh simpati mendalam kepada umat Islam. Stokely Carmichael (1966) pernah mengatakan seorang menjadi miskin karena satu alasan, yakni tidak punya uang. Nah jika negara-negara mayoritas Muslim berselisih dengan Barat, itu juga karena satu alasan. Tidak ada yang ingin memahami tradisi Ramadhan atau cara Muslim(ah) berpakaian guna menciptakan saling pengertian. Barat hanya memahami Islam dan Muslim lewat lensa kekuatan dan dominasi.

Jadi ketika kelompok Muslim mencurahkan energi membongkar Islamofobia sikap, mereka mengabaikan satu fakta yang sangat penting bahwa negara-negara Barat berperan menciptakan kondisi bagi Islamofobia. Mungkin ada yang ingat dengan Ahmed Mohamed, seorang bocah lelaki berusia empat belas tahun di Texas yang membangun jam dan segera ditangkap karena dicurigai bahwa itu adalah bom. Banyak pihak marah atas prasangka dan diskriminasi atas bocah itu. Sejumlah tokoh dan organisasi Islam akhirnya memuji langkah Gedung Putih karena mengundang bocah itu ke Washington DC sehingga ia bisa menunjukkan penemuannya kepada presiden. Tetapi banyak yang tidak sadar bahwa pendekatan ini sejatinya bagian dari School to Prison Pipeline di mana para siswa kulit berwarna secara rutin diawasi bahkan ditangkap karena pelanggaran disipliner kecil.

Karenanya, Muslim sebaga warga minoritas, semisal di AS dan juga Eropa, harus membuat pilihan untuk terus berupaya mendapatkan posisi di tengah kenyataan pahit dan fakta tidak menyenangkan; cara-cara di mana kelompok tertentu memperkaya dirinya melalui pencurian tanah, ketidaksetaraan rasial, dan imperialisme. Sekadar menjadi Muslim yang baik tidak akan menghilangkan tuduhan klise bahwa menjadi Muslim tidak efektif dan juga tak bakal menghilangkan sentimen anti-Muslim. Toni Morrison mengatakan, “a very serious function of racism is distraction” (fungsi rasisme yang sangat serius adalah gangguan). Artinya, kita dibuat sibuk terus-menerus menjelaskan kenapa berbuat ini dan itu, mengapa harus menjadi seperti ini atau itu.

Kembali mengutip Nazia Kazi, menurutnya sikap pemahaman terbaik tidak akan datang dari upaya memahami budaya atau agama masing-masing par se, melainkan dari upaya untuk memahami sejarah penindasan atas Islam dan Muslim. Sikap ini juga tak akan terbit ketika umat Islam mengingatkan warga Amerika bahwa Muslim juga untuk menyembah Tuhan dalam lingkup Abrahamic religion atau menjelaskan kenapa Muslim sembahyang lima kali sehari. Tapi pemahaman ini bakal timbul dari keputusan-keputusan dengan prinsip yang kokoh, komitmen untuk membangun wajah dunia yang berbeda, sebuah dunia di mana setiap kelompok tidak perlu membuktikan kepada lainnya bahwa mereka juga layak dihitung sebagai manusia seutuhnya—Tamat.

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Exit mobile version