YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir menerima kunjungan rombongan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, di Grha Suara Muhammadiyah (13/7/2023). Kedatangan rombongan PDM dan organisasi otonom yang dipimpin Heli Tohar Hilmy guna menjalin silaturahmi dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pertemuan yang sekaligus menjadi ajang studi banding ini turut didampingi Direktur PT SCM Deni Asy’ari Datuk Marajo.
Haedar Nashir menjelaskan tentang perkembangan Amal Usaha Muhammadiyah di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Haedar juga menjabarkan perkembangan Suara Muhammadiyah sampai akhirnya melahirkan SM Tower yang menjadi tempat menginap para rombongan ini. Bangunan SM Tower yang terletak di Jalan KH Ahmad Dahlan bersebelahan dengan Grha Suara Muhammadiyah dan Gedung Muhammadiyah. “Kita akan bangun lagi Gedung Muhammadiyah di sebelah ini. Nanti lahan ini akan menjadi satu kesatuan, yang itu, menggambarkan perjalanan Muhammadiyah,” ujarnya.
“Muhammadiyah di Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai pusat kelahirannya telah bertumbuh mapan. Tetapi harap diingat, sejak 1922, Muhammadiyah menyebar ke berbagai daerah di tanah air. Jawa Barat ke Bandung, Garut. Hingga ke Jawa Timur, Surabaya, dan lainnya,” ulas Haedar. Dulu Muhammadiyah di Jawa Timur itu minoritas, tetapi Amal Usahanya berkembang maju. Di Jawa Tengah, Muhammadiyah juga tumbuh dinamis.
Adapun di Jawa Barat, Haedar melihat bahwa perkembangan Muhammadiyah terkesan agak melambat, jika dibanding dengan DIY, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. “Kenapa Jawa Barat lambat? Mungkin dulu karena soal kepemimpinan saja. Dulu, saya dari kecil sampai SMA di Bandung.” Sebagai sosiolog, Haedar Nashir lantas memberi catatan khusus tentang Muhammadiyah dan situasi sosial keagamaan di Jawa Barat yang dipandang punya keunikan.
“Di Jawa Barat, urusan agamanya kencang. Lalu urusan dunianya berkurang,” kata Haedar. Gejala ini telah menjadi perhatian Haedar sejak lama. Sebagai orang yang terlahir di Jawa Barat, Haedar melihat fenomena itu dari dekat. “Saya lulusan pondok pesantren di Tasikmalaya. Setelah itu, saya ke Jogja.” Di Jogja, Haedar mengalami lompatan pemikiran dan merefleksikan kembali tentang situasi sosial keagamaan di tanah kelahirannya.
“Saya mengalami pencerahan itu karena belajar Muhammadiyah, belajar tentang perjalanan kiai Dahlan. Kiai Dahlan pulang dari Mekkah itu bukan bikin pesantren atau bikin masjid, tetapi membangun sekolah, panti asuhan, mengajak umat untuk maju.” Kiai Dahlan memiliki cara pandang keagamaan yang maju dan memberi contoh nyata. Perubahan cara pandang keagamaan ini dinilai menjadi kunci perubahan.
Menurutnya, perlu ada keseimbangan antara urusan agama (ad-din) dan urusan duniawi (ad-dunya). Jika terlalu fokus ke salah satu, yang satunya akan tertinggal. “Terlalu agamis, dunia kurang. Terlalu duniawi, agama kurang,” tuturnya. Islam menekankan keseimbangan sebagaimana dinyatakan dalam QS Al Qasas ayat 77, “Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.”
Kesibukan dalam perdebatan fikih telah membuat produktivitas berkurang. “Sibuk bertengkar terus tentang fikih, akhirnya bangun masjid nggak jadi-jadi.” Padahal, perdebatan fikih itu tidak pernah selesai. Cara pandang yang seperti itu dapat merembet ke mana-mana. Misalnya ke urusan politik. Sikap politiknya menjadi keras dan kaku. “Politik repot ketika setiap rezim dianggap musuh.”
Haedar mengingatkan bahwa politik Islam sepanjang sejarah itu penuh dengan tragedi, bahkan terjadi pertumpahan darah di antara sesama muslim. Warga Muhammadiyah harus sadar bahwa politik itu berlangsung dinamis dan bukan hal prinsip dalam Islam seperti halnya urusan akidah. Khittah Muhammadiyah menyatakan bahwa politik itu urusan muamalah dunyawiyah yang prinsipnya lentur.
Paham agama dalam Muhammadiyah itu cukup komprehensif. “Spektrum pemahaman agama itu luas sekali. Muhammadiyah memperkenalkan metode bayani, burhani, irfani,” tutur Haedar Nashir. Pemahaman keagamaan jangan hanya menitikberatkan pada metode bayani dan apalagi terlalu sibuk dalam perdebatan tekstual.
Haedar menyatakan bahwa dalam Islam misalnya diajarkan bahwa setelah salat itu, umat Islam diperintahkan untuk fantasyiru fil ardh. Bertebaran di muka bumi dalam rangka mengurus urusan dunia. Mengurus ekonomi itu juga penting.
Membesarkan Muhammadiyah harus lahir dari inner dinamic di daerah. Kekuatan organisasi mesti lahir dari bawah. Haedar memberi contoh bahwa PP Muhammadiyah bisa saja membangun pusat-pusat keunggulan di Jawa Barat seperti halnya membangun UM Bandung dan RS Muhammadiyah Bandung Selatan. “Kami ingin juga mendorong, membangun, membangun, memback-up, tetapi dinamika dari daerah harus tumbuh.” Haedar mengumpamakan bahwa jika ada anak kecil mengangkat batu, maka orang mau bantu. Tapi kalau orang dewasa mengangkat keranjang, tidak perlu dibantu.
Hal lainnya adalah tentang sinergi. “Kalau kita bersinergi, semua ada jalan. Jawa Barat, potensi untuk berkembangnya Muhammadiyah sangat luar biasa.” Semua pihak mesti menggerakkan AUM menjadi maju, bukan menambah beban. Selain itu, para pengurus juga tidak boleh ribet dan ruwet sendiri.
Dakwahnya dan tablighnya harus sesuai daya tangkap masyarakat, ala uqulihim. Para mubaligh perlu ada pemahaman mendalam dan menjelaskan agama secara sejuk sehingga orang tidak lari. Lisan al hal afsahu min lisan al maqal. Amal perbuatan lebih sahih dari hanya sekadar perkataan. Haedar mencontohkan perkembangan Suara Muhammadiyah, dari awalnya hanya majalah, lalu berkembang menjelma amal usaha ekonomi. (Ribas)