Islam dan Seksualitas

Islam dan Seksualitas

Islam dan Seksualitas

Oleh: Donny Syofyan

Pertemuan komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) se-ASEAN di Jakarta pada pertengahan Juli ini akhirnya batal digelar. Rencana ini mendapatkan kecaman luas dari publik termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI). Penyelenggara Pekan Advokasi Queer ASEAN memutuskan untuk merelokasi tempat pertemuan di luar Indonesia, setelah mendapat serangkaian ancaman keamanan dari berbagai kalangan,” kata penyelenggara Queer Advocacy Week ASEAN Sogie Caucus dalam pernyataannya pada Rabu (12/7/2023).

Wacana publik tentang seksualitas selama beberapa dekade terakhir telah menghadirkan tantangan bagi umat Islam. Saat ini, etika seksual dan gender Islam bertentangan dengan pandangan sosial yang baru-baru ini populer. Ini mau tak mau menyebabkan ketegangan antara keyakinan Islam dan ekspektasi sebagian kecil masyarakat. Pada saat yang sama, penolakan publik terhadap praktik, kepercayaan, dan advokasi LGBTQ semakin berseberangan dengan tuduhan atas Islam sebagai agama yang tidak mempromosikan intoleransi dan tuduhan fanistisme yang tidak beralasan. Bagi yang paham dengan identitas, sejarah dan kiprah Chris Martin dengan Coldplay-nya, misalnya, kita dengan gampang bisa memahami bahwa grup band dan anggotanya adalah representasi sahih kampanye LGBTQ dengan sokongan media Barat.

Yang lebih meresahkan, ada peningkatan dorongan dan tekanan internasional untuk mempromosikan nilai-nilai LGBTQ-sentris melalui undang-undang dan peraturan. Di Amerika Serikat, upaya ini juga mengarah kepada anak-anak di sekolah-sekolah, mengabaikan persetujuan orang tua dan menyangkal keberatan orang tua yang masih punya nurani. Kebijakan semacam itu menumbangkan hak-hak orang tua Muslim untuk mengajar anak-anak mereka tentang etika seksual Islami, melanggar hak konstitusional mereka untuk secara bebas mempraktikkan agama.

Persyaratan paling penting untuk menerima Islam adalah sikap tunduk kepada Allah sepenuhnya, secara sukarela, dan penuh kasih. Allah berfirman, “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka….” (QS Al-Ahzab 36). Dengan tunduk kepada Allah, kita menyatakan bahwa hanya Dia yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan mutlak. Oleh karena itu, ini merupakan konsekuensi dari ketundukan kita kepada-Nya bahwa sumber utama dan dasar moralitas Muslim adalah bimbingan Ilahi, bukan akal atau tren sosial.

Islam menikmati tradisi yurisprudensi yang kaya yang membenarkan beragam perspektif dan mengakomodasi berbagai norma budaya. Namun terhadap prinsip-prinsip tertentu yang secara eksplisit dinyatakan dalam wahyu berupa unsur-unsur Islam yang diperlukan, para ulama dengan suara bulat menegaskan bahwa hal-hal itu tidak berubah dan tidak terbuka untuk direvisi oleh orang atau entitas mana pun, termasuk otoritas agama tertinggi. Seperti yang ditegaskan Allah, “Dan telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur’an) dengan benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui” (QS Al-An`am 115).

Lewat Kitabullah, hubungan seksual diizinkan lewat pernikahan, dan pernikahan hanya dapat terjadi antara pria dan wanita. Dalam Al-Quran, Allah secara eksplisit mengutuk hubungan seksual sesama jenis (QS An-Nisa 16, Al-A`raf 80–83, dan An-Naml 55–58). Selain itu, tindakan seksual pranikah dan di luar nikah dilarang dalam Islam, seperti yang Allah jelaskan, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” (QS Al-Isra 32). Ajaran-ajaran Islam ini secara jelas ditegaskan dalam Al-Quran, hadits, dan rantai tradisi ilmiah yang membentang sepanjang empat belas abad. Akibatnya, umat Islam telah memperoleh status konsensus agama (ijma) dan diakui sebagai komponen integral dari keimanan dalam kesatuan tubuh umat Islam.

Tuhan mendefinisikan bahwa manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan dan menyatakan bahwa Dia menciptakan manusia dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan mereka menjadi banyak suku dan bangsa sehingga dapat saling mengenal satu sama lain (QS Al-Hujurat 13; lihat juga An-Najm 45). Islam menegaskan bahwa pria dan wanita secara spiritual setara di hadapan Tuhan, meskipun masing-masing memiliki karakteristik dan peran yang berbeda. Nabi Muhammad SAW menyebut perempuan sebagai rekan pria yang setara. Namun, beliau secara tegas mengutuk mereka yang meniru penampilan gender yang berlawanan. Lebih lanjut, Tuhan menyerukan umat manusia untuk menghormati kebijaksanaan-Nya dalam penciptaan (QS An-Nisa 119). Dengan demikian, sebagai aturan umum, Islam secara ketat melarang prosedur medis yang dimaksudkan untuk mengubah jenis kelamin individu yang sehat, terlepas dari apakah prosedur tersebut disebut “menegaskan” atau “mengkonfirmasi” gender tertentu yang diinginkan. Untuk individu yang lahir dengan ambiguitas biologis, seperti gangguan perkembangan seksual, Islam mengizinkan mereka untuk mencari perawatan medis karena alasan-alasan korektif.

Islam membedakan antara perasaan, tindakan, dan identitas. Tuhan meminta pertanggungjawaban tiap pribadi atas kata-kata dan tindakan masing-masing, bukan karena pikiran dan perasaan yang tidak disengaja. Seperti yang dikatakan Nabi SAW, “Allah telah mengampuni setiap Muslim atas apa yang ia pikirkan, selama ia tidak membicarakan atau menindaklanjutinya” (HR Bukhari). Dalam Islam, perbuatan dosa seseorang tidak boleh mendikte identitasnya. Dengan demikian, tidak diizinkan bagi umat Islam untuk bangga mengidentifikasi orang lain dengan label yang untuk mengkategorikan mereka berdasarkan dosa-dosa mereka. Penting untuk dicatat bahwa sikap Islam tentang hubungan seksual yang terlarang berjalan seiring dengan perlindungan dan promosi hak individu atas privasi. Islam melarang mengintip kehidupan pribadi orang lain dan mencegah pengungkapan publik tentang perilaku seksual (QS Al-Hujurat 12 & An-Nur 19).

Kita menyadari bahwa ada sejumlah kelompok agama yang menafsirkan kembali atau merevisi doktrin agama demi melegitimasi ideologi LGBTQ. Umat Islam pun tidak kebal terhadap tekanan seperti itu. Memang, beberapa telah berusaha untuk menafsirkan kembali teks-teks Islam yang mendukung penegasan LGBTQ. Kita dengan tegas menolak upaya-upaya yang secara teologis tidak dapat dipertahankan karena aspek-aspek etika seksual ini masuk dalam kategori prinsip yang tidak dapat diubah dan karenanya tidak dapat direvisi.

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Exit mobile version