Oleh: Renci
Secara normatif-tekstual, IMM telah menyatakan dirinya sebagai organisasi gerakan mahasiswa Islam yang berbasis pada gerakan intelektualitas, dengan kata lain prinsip intelektual merupakan jantung dari esensi dan eksistensi kader IMM. Hal ini sebagaimana dinarasikan oleh Amirullah dalam buku berjudul IMM Untuk Kemanusiaan; Dari Nalar ke Aksi, gerakan IMM adalah gerakan keilmuan, sebagaimana hal ini tercantum pada Sistem Perkaderan Ikatan bahwa salah satu kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh kader IMM adalah kompetensi intelektual.
Intelektual merujuk pada mereka yang memiliki wawasan yang luas dan menyeluruh terhadap segala aspek masalah melalui pendidikan formal atau interaksi dengan lingkungan sekitar. Abdul Halim Sani, selaku tokoh IMM yang memiliki karya fenomenal berjudul Manifesto Gerakan Intelektual Profetik menyebutkan bahwa seorang cendekiawan (intelektual) adalah penafsir jalan hidup. Intelektual pada dasarnya adalah seseorang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, menggagas, menyial dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan berdasarkan nilai-nilai sakral dan humanisme universal, mereka berupaya mengembangkan budaya yang lebih beradab yang dapat memenuhi kebutuhan zaman.
Sebagai gerakan intelektual yang menyandarkan diri pada basis keilmuan, riset, dan objektivitas (dimensi ilmiah) dan aksi atau pengamalan dalam bentuk dakwah dan transformasi sosial (dimensi amaliah), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) memiliki tanggung jawab moral yang cukup besar, khususnya dalam menciptakan tatanan masyarakat yang harmonis. Sebagaimana yang disampaikan oleh Edward W. Said, seorang intelektual dengan ketajaman nalarnya ia harus merepresentasikan dan mengartikulasikan ide emansipatoris, mencerahkan orang lain, dan harus selalu aktif berbuat dan bergerak.
Tanggung jawab intelektual yang diemban oleh kader IMM harus mampu menjadikan intelektualitas sebagai identitas. Gerakan IMM harus menjadi ‘Centre of Excellent’, pusat-pusat keunggulan terutama sisi intelektual, sehingganya mampu menjadi sumber ide-ide baru dan segar dalam pembaharuan. Yanuardi dalam narasinya menyampaikan bahwa ciri utama gerakan intelektual adalah pada keseriusannya memproduksi gagasan-gagasan yang verdas dan solutif guna menyelesaikan persoalan yang ada pada masyarakatnya. Selain itu, gerakan intelektual juga dicirikan pada upaya menjadikan gagasan-gagasan tersebut sebagai landasan dalam melakukan aktivitasnya.
Peran tersebut yang kemudian harus dipahami oleh kader IMM untuk terus memasifkan gerakan intelektual. Ali Syariati dalam kutipan di buku Negeri Statistik menyebutkan bahwa pemuda sebagai intelektual yang tercerahkan, di mana perannya harus konsisten berpihak pada kebenaran dan memperjuangkan ayat Allah dan hak masyarakat. Dari penegasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa gerakan intelektual kader IMM harus berpihak pada kebenaran, dengan tujuan untuk berdakwah. Sehingga, gerakan intelektual sebagai ciri dan identitas kader IMM perlu diarahkan pada ideologi IMM itu sendiri, yaitu Islam. Sebagai organisasi yang berafiliasi pada organisasi Muhammadiyah, tentu nilai-nilai yang dipegang oleh kader IMM adalah untuk memperjuangkan kemurnian Islam. Sehingga, gerakan intelektual dalam tubuh IMM juga harus bernafaskan Islam.
Orientasi Gerakan Ilmu
Buya Hamka dalam karyanya berjudul Pribadi Hebat menyampaikan bahwa tidak ada orang yang sampai dengan tiba-tiba pada suatu tempat. Kutipan tersebut menegaskan bahwa untuk mencapai identitas intelektual dalam tubuh kader IMM, maka perlu adanya gerakan ilmu.
Dinamisasi zaman yang terjadi hari ini, tentu menggeser banyak tatanan dalam masyarakat, termasuk perkembangan keilmuan. sebagaimana Eric Weiner menyampaikan dalam The Geography of Genius; Menjelajahi Sumber Ide Kreatif para Genius dari Athena Kuno hingga Silicon Valley, pemuda intelektual kita hari ini menghadapi tantangan yang tidak dihadapi intelektual di masa lalu.
Dalam Risalah untuk Kaum Muslimin, Prof al-Attas menyatakan bahwa dalam Islam. semua ilmu harus memimpin dan memandu ke arah keinsafan hakikat ketuhanan-Nya yang tunggal dan keyakinan terhadap-Nya serta kerelaan berama; ibadah untuk-Nya. Dari pernyataan tersebut, maka orientasi gerakan keilmuan adalah untuk mengarahkan para kader memiliki bingkai intelektual dalam dirinya untuk kemudian diejawantahkan dalam gerakan-gerakan membumikan dakwah.
Nalar intelektual dalam islam menjadi bangunan fundamental dari akar keimanan, ibadah dan juga muamalah. Untuk itu, hal yang perlu dilakukan dalam tubuh IMM adalah melakukan kerja-kerja intelektual sebagai orientasi dari gerakan ilmu dengan tetap menjadikan nilai-nilai Islam sebagai landasannya. Diskusi-diskusi yang berkembang di kalangan kader IMM mengenai wacana intelektual kader itu sesungguhnya terbilang ramai, tapi diskusi-diskusi tersebut terkadang tidak membekas dalam bentuk tulisan, sehingga wacana-wacana tersebut tidak bisa dikembangkan dalam wacana lebih lanjut dalam mencari model intelektualisme IMM atau menemukan wajah intelektual kader IMM yang kemudian terjabarkan dengan baik, sistematis, dan terlembaga.
Miftahul Huda, dalam gagasannya menyampaikan, untuk mempedalam nalar intelektual, IMM dapat memperluas dan menyediakan ruang-ruang pengembangan basis nalar intelektual. Ruang baca dibuka lebar, ruang pikir disemarakkan, dan ruang tulis dibudayakan, serta disokong oleh sistem kaderisasi yang kuat. Sementara bagi Mukhaer Prakkana, model intelektual IMM harus berbasis pada kekuatan ideologis dan tidak bebas nilai.
Pemaparan tokoh di atas menjadi kekuatan orientasi keilmuan IMM adalah perlu adanya kekuatan literasi (baca-tulis) yang sistematis. Nilai-nilai budaya keilmuan yang ada di IMM sudah menjadi pijakan yang semestinya tidak ada hentinya bagi kader ikatan dalam menjalankan tugas sebagai pelengkap dakwah Muhammadiyah. Dalam ranah inilah kemudian IMM perlu memasifkan budaya keilmuan yang perlu diangkat secara mendalam untuk membumikan budaya literasi, maka budaya ini yang merupakan sisi untuk mempermudah pergerakan IMM.
Tradisi Intelektualisme Islam
Kegiatan mahasiswa tidak dapat dilepaskan dari kegiatan membaca dan menulis. Kegiatan membaca dan menulis merupakan indikator dalam gerakan literasi. Jika Halim Sani menggunakan istilah intelektual profetik (intelektual kenabian) yang dimaksudkan bagi mereka yang memiliki kesadaran akan diri, alam, dan Tuhan. Intelektual yang dijiwai dengan transedensi dalam perjuangannya sebagai perwujudan khalifah di muka bumi. Bahwa hal yang perlu kita pahami adalah, gerakan kenabian diawali dengan gerakan literasi. Firman Allah yang pertama turun justru adalah perintah untuk membaca. Maka, untuk mewujudkan gerakan intelektual profetik, perlu kembalinya kita pada lembaran kenabian yang juga menunjukkan betapa perhatian Allah SWT terhadap kebutuhan intelektual bagi umat manusia.
Semangat Iqra dan Qolam dalam wahyu pertama menunjukkan bahwa salah satu tugas kenabian adalah risalah keilmuan. Gerakan literasi inilah yang mendorong terciptanya peradaban Islam berabad-abad lamanya. Bahkan ketika Barat dalam keadaan gelap dan terbelakang, para ilmuan Islam hadir menghidupkan kembali tradisi intelektual di Barat yang sempat tenggelam. Gerakan ini yang kemudian harus menjadi semangat para kader IMM sebagai ijtihad keilmuan gerakan IMM. Spirit intelektualisme yang merupakan doktrin Alquran serta fakta historis inilah yang kemudian harus kembali digalakkan oleh pemuda Islam, khususnya IMM sebagai kelompok yang mengusung pena sebagai simbol untuk terus berkarya lewat membaca (tekstual-kontekstual) dan menulis, sebab intelektualitas adalah jiwa/nafas kader IMM dalam membangun kehidupan yang beradab sebagai cikal bakal lahirnya masyarakat yang sebenar-benarnya untuk kemanusiaan universal.
Skema gerakan intelektual IMM dengan merujuk pada surah Al-Alaq sebagai risalah keilmuan yang diwahyukan Allah pada hamba-Nya melalui Rasul-Nya adalah dengan membedah ayat-ayatnya sebagai pondasi gerakan keilmuan dalam tubuh IMM. Jika Muhammadiyah besar dengan semangat teologi Al-Maun, bisa menjadi terobosan jika IMM juga membumikan gerakan intelektual melalui teologi Al-Alaq. Pertama, dalam ayat pertama surah Al-Alaq, Allah menyebutkan kata Iqra’, bacalah. Bahkan dalam sejarahnya, kata ini diulang sampai tiga kali. Terkait objek Iqra’, terdapat beragam pemaknaan. Ada yang menyebutkan objek yang dibaca adalah apa yang difirmankan oleh Allah, ada juga yang berpendapat bahwa objek yang dibaca adalah Al-Quran. Beragam pendapat terkait objek yang dibaca, pada dasarnya objek yang dapat dibaca itu adalah apa yang dapat diindra oleh manusia, artinya manusia dapat membaca segala yang ada di alam ini atau dengan kata lain apa yang diciptakan oleh Allah. Maka, kader IMM perlu menjadi individu yang terbiasa dengan kegiatan membaca, baik bacaan tekstual maupun kontekstual.
Kedua, kader IMM harus menciptakan budaya menulis. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam surah Al-Alaq ayat 4. Zubdatutu Tafsir Min Fathil Qadir menafsirkan dalam ayat ini bahwa Allah mengawali dakwah Islam dengan seruan dan ajakan untuk membaca dan menulis, karena di dalamnya terkandung manfaat yang sangat besar. Ketiga, kader IMM sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat kelima, bahwa perlu mengajarkan terhadap apa yang tidak diketahui manusia. Ketiga elemen ini yang kemudian harusnya terbentuk menjadi pilar tradisi literasi dalam gerakan IMM untuk menajamkan identitas intelektual kader IMM. Membaca, menulis, menebarkannya (berdakwah).
Jika teologi Al-Alaq dijadikan semangat untuk membentuk gerakan literasi dalam tubuh IMM, maka ijtihad gerakan keilmuan dalam tubuh IMM akan bisa dicapai oleh para kadernya. Hal ini juga sebagai ikhtiar untuk tetap menjaga salah satu identitas kader IMM. Gerakan tersebut kemudian diharapkan mampu menjadikan istilah akademisi Islam dalam tujuan IMM yang dicetuskan oleh founding fathers IMM mampu dihidupkan untuk melahirkan para anggota atau kader IMM yang berkualitas, memiliki kekuatan keilmuan, mendasari gerakannya pada kajian akademik-ilmiah, dan pada intinya cita-cita para pendiri IMM adalah ingin melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas melalui perkumpulan IMM.