Kaidah-Kaidah Berpolitik bagi Muslim (Bagian ke-1)

Kaidah-Kaidah Berpolitik bagi Muslim (Bagian ke-1)

Oleh: Donny Syofyan

Bagi banyak orang, politik dianggap kotor. Ini gampang dimengerti. Sebagai skenario terbaik, politik sering kali membutuhkan kompromi. Sebaliknya sebagai skenario paling buruk, politik membingungkan banyak orang. Tetapi politik tidak bisa dihindari. Politik menegosiasikan banyak kepentingan lewat bahasa kekuasaan, mulai dari retorika halus dan emosi yang menggerakkan sampai ke realitas kekerasan yang menggelegar dan tidak selalu sinematik. Dalam konteks masyarakat yang beragam, politik adalah ranah yang mengidentifikasi kesamaan dan upaya menangani perbedaan. Umat Islam di Tanah Air membutuhkan instrumen yang canggih untuk memahami keterlibatan politik dan ketidaksepakatan dalam masyarakat kita. Dalam upaya untuk memahami ini, ada sejumlah kaidah (qawâ`id) sebagai panduan bagi Muslim, yang sebetulnya menjadi alat yang telah digunakan oleh para sarjana Muslim sepanang sejarah sebagai pemandu dalam membangun prioritas.

Pertama, لا بأس بالقرب من السلطان إذا وجِّه بالحق و تجاوز ما توقّع من المصالح العامّة ما توقّع من مفاسد — Tidak ada yang salah dengan kedekatan dengan kekuasaan (sultan) jika dilakukan dengan kebenaran dan apabila kebaikan umum yang diharapkan dari padanya melebihi kerugian yang ada.

Keraguan para sarjana Muslim untuk terlibat dengan para penguasa atau sultan sudah menjadi pengetahuan umum. Thabari, seorang mufasir terkenal, ahli hukum dan sejarawan (wafat 870) diusir dari kota kelahirannya Bukhara karena menolak menjadi guru bagi putra sultan. Di sisi lain, juga banyak para sarjana Muslim dengan sukarela bekerja sama dengan para penguasa dan melayani di setiap tingkat pemerintahan. Tahawi (w. 932), seorang ahli hadits dan hakim bermadzhab Hanafi menjabat sebagai notaris di pengadilan di Fustat, kemudian Kairo. Tak terhitung para sarjana terkemuka yang berkerja sebagai hakim. Salah satu studi terbaik tentang keragaman pendapat di antara madzhab Sunni ditulis oleh Ibn Hubayra (w. 1165), seorang wazir agung dari dinasti Abbasiyah. Seperti yang dicatat oleh Syaukani (w. 1824) bahwa sukar uuntuk memastikan jumlah sarjana dan intelektual yang memilih terlibat dengan para penguasa hanya dalam rentang satu abad, apalagi dalam beberapa abad di seluruh dunia. Dari zaman para sahabat dan selanjutnya, Muslim terpelajar dan saleh sudah bergabung dengan para penguasa sebagai gubernur dan hakim. Tidak sedikit yang menjadi penguasa, termasuk kaum wanita yang bekerja dengan sistem kontrak yang memberikan layanan kepada negara, pembayar pajak dan terkadang penerima tunjangan.

Ini tidak berarti bahwa semua sarjana Muslim menemukan politik sebagai bidang yang menarik. Sebagian besar menilai kekuasaan sebagai lonceng korupsi dan tangan yang menindas. Tetapi negara adalah sebuah keniscayaan. Ia diperlukan untuk memberikan kepastian hukum dan ketertiban dasar. Tanpanya kehidupan tidak mungkin tegak penuh aturan. Negara mengorganisir infrastruktur penting bagi rakyat seumur hidup sesuai syariah, seperti pengadilan dan administrasi perwalian. Dengan demikian mustahil bagi banyak sarjana Muslim untuk menghindari diri berinteraksi dengan dunia kekuasaan.

Secara keseluruhan, posisi para sarjana Muslim mengenai interaksi dengan penguasa berlangsung sefleksibel mungkin, minimal membatasi diri. Ibn al-Amir al-San’ani (w. 1768) menulis, “Satu-satunya hal yang dilarang oleh kesepakatan dan konsensus adalah bercampur dengan penindas untuk membantu mereka melakukan kezaliman,” yang dilakukan lewat lidah, pena atau hanya dengan penegasan diam-diam atas kelaliman penguasa. Dalam Musnad Ahmad Ibn Hanbal (w. 855), Nabi menyatakan, “Kamu akan memiliki penguasa atas kamu, tetapi jangan membantu mereka dalam ketidakadilan atau memercayai kebohongan mereka. Barangsiapa yang membantu mereka dalam ketidakadilan atau percaya kepada kebohongan mereka, maka mereka tidak akan menemuiku di hari pembalasan” San’ani menekankan risiko yang dihadapi oleh para sarjana Muslim ketika mendekati penguasa. Ia menceritakan bagaimana ia melihat banyak cendekiawan pergi ke istana dengan niat mulia untuk menasihati penguasa dan berbicara kebenaran, yang berakhir menjadi alat pemerintahan yang menindas. Karena itu, ia menjelaskan bahwa generasi salâfus sâlih lazimnya belajar bagaimana menghindari ambang batas penguasa seperti mereka belajar surah dalam Al-Qur’an.

Ada unsur yang kuat tentang pembiasaan moral dan spiritual dalam peringatan San’ani. Ini mengingatkan kita tentang apa yang selalu diketahui dan diajarkan oleh banyak ulama: bahwa kita adalah apa yang biasa kita lakukan, bahwa perilaku yang baik harus dipelajari melalui praktik, dan paparan terhadap korupsi akhirnya merusak kita. “Ilmu,” kata Nabi SAW, “hanya datang melalui proses pembelajaran. Dan kehati-hatian hanya datang melalui keterlibatan dalam perilaku yang bijaksana (HR Thabrani).

Manifestasi modern dari fenomena ini adalah sebuah alarm dari dalam jiwa kita, “Saya akan mengubah banyak hal dari dalam.” Jika saya bergabung dengan x, maka saya dapat mengerjakan berbagai hal dari dalam. Sekarang saya bagian dari x, saya akan tutup mulut sampai saya memiliki posisi lebih tinggi lagi, baru saya benar-benar akan dapat mengubah banyak hal. Sekarang saya punya kuasa lebih tinggi, tetapi jika saya sampai di puncak, saya benar-benar akan dapat mengubah banyak hal”. Masalahnya adalah setelah Anda tetap diam dan berkompromi begitu lama, ia akan menjadi diri Anda. Anda bukan lagi orang yang ingin mengatakan yang sebenarnya, Anda adalah roda gigi yang dikompromikan dalam sistem yang pertama kali Anda harapkan untuk berubah—bersambung.

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Exit mobile version