Kaidah-Kaidah Berpolitik bagi Muslim (Bagian ke-2)

Kaidah-Kaidah Berpolitik bagi Muslim (Bagian ke-2)

Oleh: Donny Syofyan

Pada tulisan sebelumnya kita sudah membahas kaidah pertama berpolitik bagi Muslim bahwa tidak ada yang salah dengan kedekatan dengan kekuasaan (sultan) jika dilakukan dengan kebenaran dan apabila kebaikan umum yang diharapkan dari padanya melebihi kerugian yang ada. Kini kita lanjutkan dengan dua kaidah selanjutnya.

Kedua, الأصل أن مجرَّد المجالسة لا تستلزم الموافقة إلا إذا سُبقت بدعوى خاصّ. – Prinsip dasarnya adalah bahwa keterlibatan/kehadiran tidak memerlukan persetujuan kecuali didahului oleh klaim tertentu. Kita mengetahui dari Al-Qur’an bahwa Nabi Yusuf AS bekerja sebagai bendahara Fir’aun di Mesir, dan ini tidak mensyaratkan bahwa ia mendukung semua kebijakan atau kepercayaan agama Fir’aun (QS 12:55). Khalifah Ali bin Abi Talib setuju untuk bernegosiasi dengan pihak Mu’awiyah dalam Perang Sipil Pertama, dan itu adalah kesimpulan sesat dari orang-orang Khawarij bahwa ini berarti bahwa Ali menduga-duga masalah yang telah ditetapkan oleh Tuhan (yaitu bahwa Ali adalah penguasa yang sah).

Ada prinsip yang mapan dalam kredo Sunni bahwa diperbolehkan untuk shalat di belakang seorang pemimpin Muslim, terlepas ia benar atau salah dan menindas. Karenanya, jika bekerja, bernegosiasi atau shalat di belakang figur yang berdosa atau tercela tidak berarti bahwa kita menyetujui perilaku atau kepercayaannya, maka demikian juga dengan berpartisipasi dalam ruang kekuasaan.

Salah satu karakteristik arif dari tradisi Sunni adalah adanya pengakuan bahwa dunia kita adalah satu di antara yang banyak, beragam warna, bukan hitam dan putih. Baik ide maupun individu bukanlah bilangan bulat matematika, dan hubungan yang terwujud bukanlah tanda-tanda yang sama. Hanya karena orang-orang melakukan dosa tidak berarti mereka tidak percaya pada Tuhan. Bersikeras bahwa orang berdosa sama saja tidak percaya pada Tuhan adalah keyakinan Khawarij. Hanya karena seseorang salah pada satu titik bukan berarti ia sepenuhnya keliru di semua titik. Dan hanya karena Anda memiliki perselisihan yang ‘berdarah-darah’ dengan seseorang tidak berarti Anda juga tidak bisa shalat di samping atau di belakangnya saat shalat Jumat.

Dengan pemahaman ini, ada keyakinan bahwa kehadiran atau partisipasi tidak memerlukan kesepakatan. Jika bertemu dengan siapa pun, muncul di depan umum dengan mereka, terlihat bersama mereka, atau ikut menandatangani petisi dengan mereka artinya bahwa Anda setuju dengan mereka, maka tidak ada orang yang bisa berinteraksi tanpa tanggung jawab. Komunikasi dasar dan kehidupan publik akan menjadi tidak terkendali.

Ini tidak berarti bahwa partisipasi atau kehadiran tidak pernah menunjukkan dukungan atau kesepakatan. Tanpa indikasi yang jelas bahwa partisipasi menunjukkan dukungan, tuduhan bekerja sama dengan kezaliman harus ditolak. Dalam beberapa hal, kaidah ini sebenarnya merupakan bagian dari kaidah pertama di atas. Karenanya, dengan argumentasi bahwa partisipasi belaka tidak serta merta menunjukkan persetujuan berarti bisa dipahami bahwa keterlibatan dengan kekuasaan bukanlah sebuah kerugian sepanjang bahaya yang muncul bisa ditekan dan kedekatan dengan kekuasaan jauh lebih bermanfaat.

Ketiga, لا بأس بقلّة الحماسة لمهمّة أو التوقّف فيها ما لم يضُرّاها — Tidak ada yang salah dengan kurangnya antusiasme untuk tugas atau perbuatan atau berhenti kecuali mendatangkan bahaya.

Kaidah ini berasal dari alam sebagai ayat kauniyah, bukan dari Kitabullah. Manusia tidak memiliki kapasitas untuk mencurahkan energi atau konsentrasi yang sama untuk masalah yang tak terbatas. Oleh karena itu, memilih untuk tidak melibatkan diri dalam tujuan tertentu tidak boleh dianggap sebagai ketidaklayakan dan penyimpangan. Ada beberapa preseden untuk ini dalam sunnah Nabi. Seperti yang ditunjukkan dalam hadits Bukhari, Nabi mengizinkan suku-suku Badui yang masuk Islam untuk terus tinggal di daerah leluhur mereka dan tidak pindah ke Madinah untuk bergabung dalam pertempuran atau jihad. Mereka tetap menjadi Muslim dengan reputasi baik, meskipun mereka juga tidak akan menerima bagian dari rampasan perang lantaran tidak ikut berjihad—Tamat.

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Exit mobile version