Oleh: Suko Wahyudi
Ikhlas adalah petunjuk yang menerangi yang menunjukkan kepada jalan-jalan ketaatan hakiki dan ibadah yang tulus kepada Allah SwT. Allah SwT memerintahkan manusia untuk beribadah kepadan-Nya dengan penuh keikhlasan dan beramal semata-mata mengharapkan ridha-Nya. Karena hanya dengan keikhlasanlah semua amal ibadah akan diterima.
وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ (٥)
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Al-Bayyinah [98]: 5)
قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ (١٦٢)
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am [6]: 162)
Ikhlas adalah beramal tanpa pamrih semata-mata hanya mengharapkan ridha Allah SwT. Secara bahasa ikhlas berarti bersih, murni, dan jernih. Dan sesuatu yang ikhlas (bersih dan murni) adalah yang tidak bercampur dan dicemari selainnya. Allah SwT menggambarkan susu sebagai sesuatu yang bersih murni, sebab ia benar-benar keluar dari perut binatang ternak, yang tidak dicampuri dengan darah, kotoran, atau apapun.
وَاِنَّ لَكُمْ فِى الْاَنْعَامِ لَعِبْرَةً ۚ نُسْقِيْكُمْ مِّمَّا فِيْ بُطُوْنِهٖ مِنْۢ بَيْنِ فَرْثٍ وَّدَمٍ لَّبَنًا خَالِصًا سَاۤىِٕغًا لِّلشّٰرِبِيْنَ (٦٦)
Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagimu. Kami memberimu minum dari apa yang ada dalam perutnya (berupa) susu, yang bersih dari (campuran) antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. (An-Nahl [16]: 66)
Menurut Buya Hamka Ikhlas artinya adalah suci bersih terhadap Tuhan. Menurut Sayyid Sabiq ikhlas adalah seseorang berkata, beramal dan berjihad mencari ridha Allah SwT, tanpa mempertimbangkan harta, pangkat, status, popularitas, kemajuan atau kemunduran; supaya dia dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan amal dan kerendahan akhlaqnya serta dapat berhubungan langsung dengan Allah SwT.
Dengan kata lain ikhlas adalah kondisi ruhani manusia yang melahirkan niat tulus dalam berbuat semata-mata karena Allah SwT, tidak karena motif dan kepentingan lainnya. Dengan niat dan tujuan hanya karena Allah, maka baik ringan maupun berat setiap orang yang melakukannya akan akan dengan senang hati. Bukan hanya dalam berbuat kebaikan, bahkan dalam menjauhi keburukan dan menghadapi musibah atau masalah yang berat sekalipun, akan dihadapi dengan lapang hati. Orang yang ikhlas telah menyerahkan sepenuh jiwa raga dan nasibnya kepada Allah SwT, setelah berusaha dan berdoa. Orang yang ikhlas akan terpancar dalam dirinya keteduhan, ketenangan, kedamaian, dan cahaya lahir maupun batin.
Lawan dari ikhlas adalah riya’. Yaitu melakukan sesuatu bukan karena Allah SwT, tapi karena ingin dipuji atau karena pamrih lainnya. Riya’ yang merupakan lawan dari ikhlas ini sangatlah berbahaya karena sifatnya yang sangat samar laksana semut hitam yang berjalan di atas batu gelap di tengah malam buta. Artinya, tidak seorang pun yang merasakannya dan sadar bahwa dia sebenarnya melakukan perbuatannya. Padahal dalam kondisi demikian, riya’ bagaikan rayap yang menggerogoti kayu hingga membuatnya rusak dan tidak bisa dipakai lagi tanpa disadari pemiliknya. Dari sinilah terdapat bahayanya riya’ dan pentingnya ikhlas.
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Al-Hakim, dan Abu Na’im, bahwa Rasulullah SaW bersabda, Syirik (riya’) pada umatku lebih samar daripada seekor semut kecil di atas batu hitam pada tengah malam gulita. Syirik yang paling rendah adalah menyukai keburukan meskipun rasa suka itu hanya sedikit, atau membenci keadilan meskipun kebencian itu hanya sedikit.
Dalam hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Ahmad, Rasulullah SaW bersabda, Hal yang paling aku takuti di antara hal-hal yang aku khawatirkan terjadi pada kalian adalah syirik kecil, yaitu riya’. Saat Allah membalas amal manusia pada hari kiamat, Dia berkata kepada orang yang riya’, “Pergilah kalian kepada orang-orang yang dulu kalian berbuat riya’ demi mereka. Lihatlah, apakah kalian menemukan balasan dari mereka?”
Terkadang, banyak orang yang sering sekali melakukan amal kebaikan. Mereka shalat, membayar zakat, membaca Al-Qur’an, dan mengajarkan agama kepada orang-orang, kemudian mereka datang pada hari kiamat tanpa membawa amal kebaikan! Allah SwT berkata kepada mereka, “Pergilah kalian pada orang-orang yang kalian berbuat riya’ kepada mereka di dunia?!” Pada saat itulah mereka menyesali perbuatannya tanpa ada kesempatan lagi beramal shalih. Itu semua disebabkan amal perbuatan mereka bukan karena Allah, melainkan karena mencari muka di hadapan manusia.
Al-Fudhail mengatakan, “Amal yang lebih baik adalah amal yang baik dan ditujukan hanya untuk Allah semata. Jika suatu amal dikerjakan dengan ikhlas tapi amal itu buruk, maka tidak akan diterima. Sebaliknya, jika amal itu bagus tapi tidak dikerjakan dengan ikhlas, tidak akan diterima. Harus ada unsur baik dan ikhlas, baru suatu amalan akan diterima di sisi Allah SwT.”
Jika suatu amal kebaikan dilakukan karena Allah SwT dan karena manusia dalam satu waktu, seperti orang yang shalat hendak mencari keridhaan Allah SwT tetapi juga ingin dilihat manusia agar dia dipuji, atau orang bersedekah lillahi Ta’ala namun dia juga ingin dikatakan sebagai orang dermawan, atau orang yang berjuang di jalan Allah tetapi ingin dikatakan sebagai orang yang pemberani, maka yang seperti ini tertolak amalannya dan tidak diterima Allah SwT. Rasulullah SaW mengabarkan bahwa mereka di akhirat kelak akan dicap oleh Allah SwT sebagai pendusta. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Al-Hakim, dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah SaW bersabda,
Pada hari kiamat, Allah turun untuk menemui hamba-Nya guna mengadili mereka. Mereka semua dalam posisi berlutut. Pertamakali yang dipanggil oleh Allah adalah orang yang menghafal Al-qur’an, lalu yang terbunuh saat perang di jalan Allah, lalu orang yang banyak harta. Kepada penghafal (Qari’) Allah berkata, “Bukankah Aku telah mengajarkanmu apa yang diturunkan kepada Rasul-Ku?” Ia menjawab, “Betul Tuhanku.” Allah bertanya, “Lalu apa yang kamu lakukan dengan apa yang sudah kamu ketahui?” Ia menjawab, “Aku selalu beribadah pada malam dan siang hari.” Allah berkata kepadanya, “Kamu bohong. Kamu melakukan hanya ingin dianggap sebagai orang yang mengerti Al-Qur’an, dan kamu telah dianggap demikian.”
Kemudian pemilik harta didatangkan. Allah berkata, “Bukankah Aku telah memberimu kemudahan sehingga kamu tidak membutuhkan orang lain?” Ia menjawab, “Betul Tuhanku.” Allah bertanya, “Lalu apa yang kamu lakukan dengan pemberian-Ku?” Ia menjawab, “Aku gunakan untuk mengikat tali silaturahmi dan dan bersedekah.” Allah berkata, “Kamu bohong. Kamu melakukan itu hanya ingin dianggap sebagai orang yang dermawan, dan kamu telah dianggap demikian.”
Kemudian orang yang terbunuh di medan perang didatangkan. Allah berkata, “Dalam kejadian apa kamu dibunuh?” Ia menjawab, “Aku diperintahkan untuk berjihad di jalan-Mu, maka aku berperang, hingga kemudian aku terbunuh.” Allah berkata, “Kamu bohong. Kamu melakukan itu hanya ingin dianggap sebagai pemberani, dan kamu telah dianggap demikian.”
Rasulullah berkata kepada Abu Hurairah, “Hai Abu Hurairah, ketiga orang tersebut adalah makhluk pertama yang digunakan untuk menyalakan api neraka pada hari kiamat.
Ikhlas dalam melakukan setiap amal kebaikan, baik itu shalat, puasa, sedekah, dan lain-lain, maupun kebaikan yang berhubungan debgab sesama manusia, seperti menolong orang, dan semua kebaikan lainnya, haruslah karena dan untuk Allah SwT semata. Jika itu yang dilakukan, maka pelakunya tidak akan mengalami kekecewaan. Sebab Allah yang dituju dalam setiap amal seorang hamba, tidak akan mengecewakan hamba-Nya. Setiap kebaikan sekecil apapun, pasti akan dibalas oleh Allah SwT (Al-Zalzalah [99]: 7-8). Keikhlasan merupakan landasan keimanan dan syarat utama sahnya amalan. Selain itu, keikhlasan juga merupakan penyelamat seorang hamba dari jerat-jerat dan tipuan Iblis.
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَ (٨٢) اِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ (٨٣)
(Iblis) menjawab, “Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka.” (Shad [38]: 82-83)
Dalam Surat Al-Baqarah ayat 264 dan 265 Allah SwT membandingkan amalan karena riya’ dan amalan yang ikhlas mencari ridha Allah SwT dengan dua buah perumpamaan. Pertama, amalan shaleh seseorang diumpamakan dengan tanah yang dilekatkan kepada sebuah batu licin. Sedikit demi sedikit tanah itu melekat hingga menutupi seluruh batu. Lalu datanglah hujan lebat yang sebentar saja meluruhkan tanah-tanah yang melekat itu, sehingga batu kembali menjadi licin. Hujan lebat itulah perumpamaan riya’. Kedua, amal shaleh yang dilakukan dengan niat ikhlas ibarat sebuah kebun terletak di daratan tinggi yang memang pada asalnya sudah subur, sehingga apabila disirami hujan lebat ia akan bertambah subur. Bahkan dengan hujan gerimispun dia akan tetap subur.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقٰتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذٰىۙ كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَالَهٗ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَهٗ وَابِلٌ فَتَرَكَهٗ صَلْدًا ۗ لَا يَقْدِرُوْنَ عَلٰى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوْا ۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ (٢٦٤) وَمَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ وَتَثْبِيْتًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍۢ بِرَبْوَةٍ اَصَابَهَا وَابِلٌ فَاٰتَتْ اُكُلَهَا ضِعْفَيْنِۚ فَاِنْ لَّمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ ۗوَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ (٢٦٥)
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena ria (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir. Dan perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya untuk mencari rida Allah dan untuk memperteguh jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buah-buahan dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka embun (pun memadai). Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah [2]: 264-265)
Amal yang ikhlas adalah amal yang diniatkan karena Allah SwT. Niat ikhlas adalah niat yang tulus, yang jernih sebagaimana akar katanya khalasha. Niat yang tidak tercampur oleh yang kotor-kotor, apalagi oleh tindakan menghalalkan segala cara dan penuh kepentingan duniawi yang berlawanan dengan kebenaran. Termasuk tidak tergoda oleh kepentingan posisi jabatan dan kepentingan pribadi yang menyeruak secara tersembunyi maupun terang-terangan. Tidak terkotori oleh riya’ dan segala hal yang membelokkan niat dan tujuan yang bersih. Persis sebagaimana uswah hasanah Nabi yang menolak mentah-mentah ketika ditawari kedudukan, kekuasaan, perlidungan istimewa, dan hak-hak special asalkan mau meninggalkan misi dakwah Islam. Nabi Muhammad SaW adalah teladan terbaik yang kata-katanya sejalan dengan lakunya, lisannya konsisten dengan tindakannya.
Dikisahkan bahwa salah satu utusan kaum Quraisy, Uthbah bin Rabiah, menghadap Rasulullah SaW untuk memberikan perhiasan dunia asalkan Rasulullah SaW berhenti menjalankan dakwahnya.
Uthbah berkata, “Wahai keponakanku, sungguh engkau mempunyai kedudukan terhormat dalam keluarga dan terpuji dan keturunan. Engkau datang kepada kaummu membawa suatu ajaran yang luar biasa, yang menyebabkan mereka terpecah belah, menganggap mereka jahil, menghina tuhan-tuhan dan agama mereka, serta menganggap kufur perlakuan-perlakuan nenek moyang mereka. Karena itu, aku akan menawarkan sesuatu yang mungkin engkau harapkan. Mudah-mudahan engkau menerimanya.”
Rasul SaW menjawab, “Lanjutkan pembicaraanmu wahai Abu Al-Walid! Aku akan mendengarkan.” Uthbah pun melanjutkan, “Wahai keponakanku, jika engkau mendambakan harta, akan kami kumpulkan harta dan kami serahkan seluruhnya kepadamu. Jika menginginkan kedudukan, kami akan berikan kepadamu, dan jika engkau mengharapkan kerajaan, maka kami akan serahkan kerajaan kepadamu.”
Mendengar tawaran itu semua, Rasulullah SaW berkata, “Wahai Abu Al-Walid, masih adakah yang perlu engkau sampaikan?” Kemudian Rasulullah SaW membacakan Surat Fussilat ayat 1-5
حٰمۤ ۚ (١) تَنْزِيْلٌ مِّنَ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ۚ (٢) كِتٰبٌ فُصِّلَتْ اٰيٰتُهٗ قُرْاٰنًا عَرَبِيًّا لِّقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَۙ (٣) بَشِيْرًا وَّنَذِيْرًاۚ فَاَعْرَضَ اَكْثَرُهُمْ فَهُمْ لَا يَسْمَعُوْنَ (٤) وَقَالُوْا قُلُوْبُنَا فِيْٓ اَكِنَّةٍ مِّمَّا تَدْعُوْنَآ اِلَيْهِ وَفِيْٓ اٰذَانِنَا وَقْرٌ وَّمِنْۢ بَيْنِنَا وَبَيْنِكَ حِجَابٌ فَاعْمَلْ اِنَّنَا عٰمِلُوْنَ (٥)
Ha Mim. (Al-Qur’an ini) diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan, bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (darinya) serta tidak mendengarkan. Dan mereka berkata, “Hati kami sudah tertutup dari apa yang engkau seru kami kepadanya dan telinga kami sudah tersumbat, dan di antara kami dan engkau ada dinding, karena itu lakukanlah (sesuai kehendakmu), sesungguhnya kami akan melakukan (sesuai kehendak kami). (Fussilat [41]: 1-5)
Mendengarkan Rasulullah SaW membacakan ayat-ayat tersebut, seketika itu Uthbah berubah. Rasulullah SaW meneruskan membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan pada akhirnya Uthbah bersujud saat dibacakan Surah Sajdah. Lalu Rasulullah SaW berkata, “Wahai Abu Al-Walid, bukankah engkau sudah jelas mendengan jawabanku?” Setelah itu Uthbah bangkit dan menutup mulut Rasul seraya berkata, “Jangan teruskan pembicaraanmu!”
Dari kisah tersebut, terlihat betapa kuatnya keikhlasan Rasulullah SaW dalam menegakkan agama, sehingga iming-iming dunia tidak menggoyahkan hati beliau. Justru Uthbah yang pada awalnya meminta Rasulullah supaya menghentikan dakwahnya, berubah haluan. Uthbah membenarkan risalah Rasulullah SaW.
Ikhlas adalah amalan hati yang tidak mudah untuk melakukannya. Sebab, tidak ada balasan dan keuntungan dari sisi duniawi untuk ikhlas ini. Dari sinilah letak berat dan sulitnya membuat diri menjadi ikhlas. Karena hal ini merupakan sikap mengalah demi masa yang akan datang dengan mengalahkan masa sekarang. Mengalah demi mendapatkan balasan dari sisi Allah kelak pada hari kiamat dengan mengorbankan hal-hal yang bersifat duniawi seperti ketenaran, kedudukan, nafsu syahwat, dan lain sebagainya. Wallahu A’lam.
Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta