Umar bin Khattab dan Ekspansionisme (Bagian ke-2)

Umar bin Khattab dan Ekspansionisme (Bagian ke-2)

Umar bin Khattab dan Ekspansionisme (Bagian ke-2)

Oleh: Donny Syofyan

Lazimnya dalam peperangan, tentara diizinkan melakukan aksi penjarahan daerah yang ditaklukkan. Tapi semasa kekhalifahan Umar, pasukan Muslim tak dibolehkan merampas hak milik atau properti khalayak di kawasan yang ditaklukkan. Pasukan Muslim memang mendapatkan harta rampasan perang dan 4/5 dari perbendaharaan kerajaan yang ditaklukkan. Harta rampasan dibagi rata bagi segenap pasukan. Tak ada perbedaan antara komandan tempur dan pasukan di lapangan. Sisa 1/5 dikembalikan ke ibukota Madinah untuk kemudian didistribusikan kepada kaum yang kurang beruntung lewat sistem jaminan sosial bernama Bayt al-Mâl. Lembaga keuangan ini memberikan tunjangan kepada orang miskin, anak yatim, para janda, kaum difabel bahkan tunjangan anak dan pensiun bagi lansia baik Muslim atau non-Muslim yang berada di wilayah kekhalifahan. Sistem ini tak pernah terdengar sebelumnya. Umar meletakkan tonggak pertama sistem negara kesejahteraan di dunia.

Permata mahkota dari segenap penaklukkan oleh pasukan Muslim semasa kekhalifahan Umar bin Khattab adalah kota Yerusalem, yang menjadi kota suci ketiga bagi umat Islam. Sebetulnya salah satu kisah Umar paling terkenal terjadi setelah penaklukan kota Yerusalem. Umar mengadakan perjalanan pribadi (bukan kenegaraan) ke Yerusalem untuk menerima penyerahan kota ini kepada kekhalifahan Islam. Umar berjalan dengan asistennya, tapi mereka hanya punya satu ekor keledai sehingga mereka harus bergantian naik keledai. Ketika mencapai tembok dan gerbang kota kebetulan yang mengendarai keledai adalah pembantunya, sedangkan Umar berjalan kaki. Penduduk Yerusalem salah menduga bahwa khalifah adalah yang di atas keledai. Mereka buru-buru memberi hormat kepada asisten Umar dan mengeluarkan sumpah serapah kepada yang berjalan, yakni Umar sendiri. Kerumunan itu akhirnya diberitahu bahwa yang seharusnya mereka kasih takzim adalah yang berjalan. Anekdot ini sangat terkenal di seantero kekhalifahan dan sekaligus menegaskan sikap kerendahhatian seorang khalifah Umar bin Khattab.

Apa yang terjadi berikutnya juga tak kalah pentingnya. Ketika Umar memasuki Yerusalem, komunitas Kristen menduga bahwa Umar akan melakukan salat di gereja paling suci di Yerusalem sebagai simbol kemenangan pasukan Muslim. Tapi Umar menolak melakukannya. Umar menyatakan bahwa bila ia salat di gereja, maka para penguasa Muslim di kemudian hari akan mengubah gereja itu menjadi masjid, dan bukan itu yang dikehendaki Islam. Umar juga mengatakan bahwa warga lokal bebas hidup dan beribadah sesuai cara mereka. Mulai saat itu, masyarakat Muslim juga hidup berdampingan dengan mereka dengan sistem keyakinan Islam dan memberikan keteladanan. Bagi non-Muslim yang tertarik dengan apa dan bagaimana kaum Muslimin, mereka boleh bergabung. Tapi tak ada paksaan dalam Islam.

Ini kemudian memberikan pola hubungan antara Muslim dan penduduk lain yang mereka taklukkan. Warga Kristen dan Yahudi di Yerusalem dan di seluruh kekhalifahan mendapati bahwa sebagai non-Muslim mereka wajib membayar jizyah (pajak bagi non-Muslim), tapi jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan pajak yang harus mereka setor kepada penguasa Bizantium sebelumnya. Berbeda dengan penguasa Bizantium yang turut campur terhadap praktik-praktik agama Kristen dan Yahudi, penguasa Muslim tidak campur tangan dengan kepelbagaian sekte pada kedua agama tersebut. Warga tempatan dalam kekhalifahan memiliki hukum dan hakim sendiri serta menikmati kebebasan melebihi masa pemerintahan Bizantium.

Dalam sudut pandang masyarakat lokal, kekhalifahan menawarkan kesepakatan yang saling menguntungkan. Banyak warga Kristen dan Yahudi bergabung dengan pasukan Muslim dalam melakukan penaklukan untuk memperluas wilayah kekhalifahan. Ketika negara-negara baru bergabung dengan kekhalifahan Islam, warga Kristen dan Yahudi ini menikmati perdagangan bebas dengan daerah-daerah lain yang berada di bawah kekhalifahan. Sebelumnya penguasa Bizantium dan Sasaniyah memberlakukan pajak yang tinggi bagi warga Kristen dan Yahudi. Bedanya adalah bahwa kekhalifahan tidak memberlakukan pajak bagi perdagangan. Yang kena pajak adalah kekayaan. Dari perspektif keuangan, baik warga Muslim maupun Kristen-Yahudi sama-sama beroleh benefit lewat meluasnya wilayah kekhalifahan.

Dalam beberapa tahun kemudian, kekhalifahan Islam tampil sebagai sebuah imperium yang tak ada tandingannya di dunia. Guna mempertahankan kekuasaan dan menjaga pengawasan di seantero kekhalifahan, maka reformasi digelar. Dalam segi pemerintahan, reformasi ini diperbuat khalifah Umar dengan menciptakan struktur administrasi yang terinspirasi dari pemerintahan Sasaniyah. Ia menciptakan pemerintahan yang sentralistis dengan posisi khalifah sebagai pemegang otoritas politik tertinggi yang berdaulat dan membagi berbagai daerah menjadi provinsi-provinsi yang dipimpin oleh gubernur. Ia menunjuk langsung para gubernur berdasarkan kemampuan, merit system dan kesalehannya. Bila seorang gubernur berbuat lancung, Umar langsung menggantinya.

Setiap provinsi terbagi atas berbagai distrik, yang dipimpin oleh seorang gubernur junior yang disebut amir. Terkadang Umar langsung menunjuk siapa yang menjadi gubernur junior, tapi lain masa gubernur yang memilih amir. Hingga akhir pemerintahan Umar, ada 13 provinsi dan lebih 100 distrik. Provinsi dan distrik yang kaya memiliki tentara sendiri dengan gubernur bertindak sebagai panglima militer. Penting digarisbawahi bahwa khalifah Umar tidak pernah mengangkat seseorang untuk sebuah jabatan yang memiliki kedekatan dengannya atau keluarganya. Tidak peduli sehebat apa pun orang tersebut. Ia berdalih bahwa ia perlu menjauhkan diri dan keluarganya dari menabur benih-benih korupsi di wilayah kekhalifahan Islam—(Bersambung).

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Exit mobile version