Etika Muslim Terhadap Masyarakat (Bagian ke-1)
Oleh: Donny Syofyan
Berbicara tentang etika menjadi Muslim dalam masyarakat, ada satu istilah yang muncul dalam pikiran saya. Istilah ini sebetulnya berasal dari kaum Mu`tazilah pada periode abad pertengahan, yaitu ahlul `adl wat tauhîd—masyarakat yang menegakkan keadilan dan tauhid. Ini menunjukkan dua konsep tentang bagaimana seharusnya umat Islam hidup dalam masyarakat menyangkut keadilan dan tauhid. Mari kita mulai dengan tauhid, yang tentu saja sangat sentral dalam pandangan dunia (worldview) umat Islam. Salah satu kewajiban utama yang diperbuat oleh kaum Muslimin kepada Allah dan masyarakat ini adalah mengingatkan umat akan Allah dan kehidupan akhirat.
Tidak banyak orang memandang pengorbanan di dunia untuk kepentingan akhirat dalam masyarakat kita. Saat Anda berbicara tentang kebijakan tertentu dari negara atau pemerintah, yang dinilai apakah kebijakan ini akan meningkatkan kehidupan material masyarakat atau tidak, bukan apakah kebijakan itu meningkatkan kehidupan moral masyarakat atau memuliakan kedudukan manusia di mata Tuhan. Saya pernah berdiskusi dan berdebat dengan seseorang yang membaca sebuah buku yang mengkritik umat Islam karena mereka tidak mengembangkan kapitalisme, seperti kapitalisme Eropa. Salah satu premis mendasar dari kapitalisme Eropa bahwa pelestarian dan peningkatan modal adalah kebaikan pamungkas. Jadi tidak ada yang layak dikorbankan bila tidak memaksimalkan pertumbuhan. Maka memaksimalkan pertumbuhan, pelestarian, dan peningkatan modal adalah kebaikan tertinggi.
Bagi umat Islam hal itu tidak layak. Ada banyak hal yang tidak akan dilakukan seorang Muslim, termasuk melestarikan dan meningkatkan modal dengan cara-cara haram. Seorang Muslim tidak akan terlibat dalam harga spekulasi dan eksploitasi tertentu. Seorang Muslim tidak akan melanggar dan mengorbankan hubungan mulia hanya demi profit. Kita kerap dibombardir terus-menerus oleh media bahwa untuk meraih kemenangan maka boleh membenarkan cara apa pun dan untuk menjadi kaya cara apa pun dibenarkan. Kaum Muslimin perlu menjadi pengingat bagi masyarakat bahwa kepercayaan kepada Allah dan kehidupan setelah kematian adalah khairun wa abqâ (lebih baik dan abadi). Di akhirat semua pengorbanan kita dalam hidup ini akan dibayar berlipat ganda, sebab kebaikan yang kita perbuat merupakah qardhan hasanan (pinjaman yang baik) untuk Allah yang bakal diganjar-Nya berkali-kali di akhirat.
Kemampuan untuk berkorban di dunia adalah pengingat aktif (tadzkir) agar masyarakat tidak mengabaikan bahkan melupakan Allah dan kehidupan akhirat. Sebagai seorang ayah dengan dua orang anak, terkadang saya merasa malu dan bodoh ketika mengingat bagaimana Nabi SAW merasakan dan bersikap saat kehilangan putra-putranya ketika mereka masih kecil. Banyak yang tidak tahu tentang apa itu rasa kehilangan dan bagaimana menghadapinya. Namun seorang Muslim diberkati dengan indahnya iman. Mengapa? Karena salah satu hadiah yang dirasakan ketika menjadi Muslim adalah bahwa kita tidak pernah mempertanyakan mengapa sesuatu terjadi pada kita, seperti ketika kita kehilangan orang tua atau anak anak kita. Banyak yang mengeluh mengapa ini terjadi, bagaimana itu bisa terjadi, mengapa Tuhan mengambil orang ini, mengapa dia mati? Kalau saja ia melakukan ini? Jika Anda Muslim, ini tidak pernah masuk ke hati Anda. Tentu kita merindukan orang tua atau anak-anak kita, tetapi keimanan kepada Allah membuat dada kita lapang. Dan itu adalah karunia iman, karunia ketika mempercayai pemeliharaan Tuhan.
Saya teringat dengan sebait lagu Maroko yang mengatakan “bahwa apa yang ditulis di dahi seseorang oleh Tuhan adalah yang tertinggi.” Artinya inilah takdir seseorang. Untuk alasan tertentu, lagu ini membuat hati saya nyaman, bahwa Allah sudah menggariskan akhir hidup seseorang. Salah satu karakteristik masyarakat materialistis adalah bahwa hubungan Anda dengan keluarga dan orang-orang yang Anda cintai sepenuhnya terikat dengan dunia par se. Jadi rasa kehilangan orang yang dicintai semisal keluarga sungguh menyayat hati layaknya kehilangan uang. Namun demikian, rasa kehilangan yang bernilai jutaan melebihi uang itu tetap saja dalam lingkup kerugian duniawi. Tidak ada jawaban dan obat untuk kehilangan itu karena tidak ada keyakinan tentang kehidupan setelah mati dalam pikiran orang-orang materialistik itu. Tidak ada kerangka yang lebih besar bagaimana kehilangan itu berlaku.
Ketika membaca ayat berikut, terasa lebih berarti bagi saya sebagai orang tua, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah pahala yang besar” (QS 64:15). Sebetulnya sangat menggelikan ketika banyak orang mengaggap fitnah sebagai sesuatu hal yang buruk. Banyak hal dapat berfungsi dengan cara yang buruk, tetapi apa yang kita anggap buruk berguna untuk menguji kita. Kekayaan dan anak-anak kita adalah ujian bagi kita, bukan hanya karena anak-anak terkadang membuat kita pusing tapi memang karena kehilangan mereka adalah ujian. Hilangnya harta atau kekayaan juga ujian. Sesuatu yang telah diberikan oleh Tuhan dapat kembali diambil-Nya kapan dan di mana saja, dan itu lagi-lagi adalah untuk menguji kita. Allah tidak pernah menzalimi tapi menguji hamba-Nya. Kita bisa memilih bersyukur atau berpaling dari-Nya.
Kita juga bisa mengingatkan masyarakat tentang tauhid dengan menegaskan bahwa agama dan Tuhan adalah bagian dari kehidupan. Keduanya tidak terpisah dari kehidupan, bukan satu bagian dari kehidupan. Keduanya adalah bagian dari semua aspek kehidupan. Agama bukanlah sesuatu yang kita lakukan satu hari dalam seminggu. Agama bukan pula sesuatu yang kita lakukan di tempat tertentu. Sebaliknya agama adalah sesuatu yang kita lakukan sepanjang waktu. Muslim selalu mengingat Allah dan perlu mengingatkan orang lain tentang Tuhan. Kita selalu melakukan amar ma`rûf nahî munkar. Kita selalu berdoa di mana pun kita berada. Kita memberi tahu orang lain bahwa keindahan dan kekuatan puasa itu mendorong kita mengendalikan hawa nafsu. (Bersambung).
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas