Oleh: Dr. Mahli Zainuddin Tago, M.Si
Beberapa anak muda duduk menghadap laptop di sebuah kafe. Kafe ini berada di lantai 8. Suasananya sangat nyaman. Angin sore bertiup lembut diiringi temaram cahaya sang surya yang akan berlabuh di ufuk barat. Dari tempat duduk yang nyaman jendela terbuka menghadirkan pemandangan luar biasa. Ke arah selatan terhampar suasana kampung tengah kota.
Tampak dekat sebuah kompleks Ndalem yang luas dan asri. Juga gedung sekolah berlantai tiga. Agak jauh terlihat beberapa gedung tinggi yang banyak bermunculan di Jogja dekade terakhir. Kafe ini berbeda dengan yang kini tumbuh bak jamur di musim hujan di Jogja. Ini Kafe milik Muhammadiyah. Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah Islam Amar Ma’ruf Nahi Munkar mendirikan kafe? Iya. Pada sore ini aku kali mencobanya. Sambil menulis beberapa paragraf tentangnya. Tentu juga menikmati kopi susu gula aren dan seporsi Tahumu.
Cerita dimulai seabad yang lalu. Salah satu gebrakan dahsyat KHA Dahlan pendiri Muhammadiyah adalah menyampaikan ide-ide pembaharuannya melalui tulisan. Untuk itu diterbitkan majalah Soeara Moehammadijah (SM). Majalah ini sebagaimana Muhammadiyah induk organisasinya bertahan bahkan berkembang memasuki abad kedua. Ketika tsunami media online menghantam maka banyak media massa cetak gulung tikar.
Setidaknya hidup segan mati tak mau. Tetapi SM tetap bertahan. Oplahnya masih bertahan di atas angka 20.000 per dua minggu. Memang SM memiliki pasar khsusu ideolgis. Tetapi esksistensi SM juga didukung oleh berbagai inovasi yang dijalankannya. Salah satunya adalah mendirikan perusahaan SYARIKAT CAHAYA MEDIA. Perusahaan ini memiliki banyak divisi usaha. Salah satunya gedung berlantai delapan, SM Tower.
SM Tower berdiri gagah di pusat kota Jogja. Penuh percaya diri di antara sedikit gedung tinggi lain di kawasan strategis. Lokasinya di Jalan KHA Dahlan yang tidak jauh dari Malioboro. Ini jalan penuh kenangan. Terutama bagi banyak aktivis Persyarikatan yang lama tinggal di Jogja. Berdampingan dengan Gedoeng Moehammadijah yang bersejarah.
SM Tower menjadi simbol dari transformasi Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). SM Tower mempunyai diferensiasi dari hotel-hotel yang sudah ada. Brandnya adalah Living Muslim Hotel. Ini tidak berarti hanya orang Islam yang bisa menginap. Ini lebih kepada core values (nilai-nilai) kehidupan muslim yang dijalankan. Maka kebersihan, kerapian, keramahan, harga yang kompetitif, dan kehadiran sebuah tempat shalat yang nyaman menjadi sebuah keniscayaan.
Sebagai convention hotel SM Tower memiliki kelengkapan yang memadai. Ruangan ballroomnya bisa menampung 300 orang. Dilengkapi videotron LED display/LCD projector, standart sound system, dan internet access. Lalu ada 3 meeting room: Darwis, H Fachrodin, dan Buya A Syafii Maarif. Ketiga meeting room ini berkapasitas mulai 20 sampai 100 orang.
Selain itu, SM Tower memiliki ruang ruang khusus bagi pengunjung untuk menyantap hidangan khas dari para koki profesional. Fasilitas lain adalah SM Garden (taman terbuka) di lantai 4. Lalu ada area parkir dan basement yang dapat menampung sekitar 50 mobil. Hal yang tidak kalah menarik bagiku adalah sebuah kafe, bernama SoewaraMoe Café & Longue. Lokasinya di rooftop, lantai paling atas atau lantai 8. Disini pengunjung disuguhi pemandangan kota Yogyakarta sejauh mata memandang.
Bertemu dalam suasana akrab adalah kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial. Apalagi bagi para aktivis organisasi seperti Muhammadiyah. Mereka berkumpul dalam rapat atau acara resmi lainnya. Di tingkat Pusat maupun di bawahnya. Pada masanya dulu para tokoh Muhammadiyah juga rajin saling mengunjungi. Ketika ke daerah lain mereka sering menginap di rumah pengurus setempat.
Pada suatu waktu penulis bertemu Kyai Zahid, tokoh Muhammadiyah Wonosobo. Beliau bercerita tentang Pak AR yang legendaris itu. Setiap ke Wonosobo Pak AR lebih sering menginap di rumah Kyai Zahid. Kebiasaan ini membuat persahabatan mereka tak lekang diterpa panas dan tak lapuk diterpa hujan. Bahkan sampai ketika mereka tidak lagi menjadi pengurus. Pak Zahid yang sudah sepuh dengan bangga menunjukkan surat bertulis tangan Pak AR untuk beliau. Ini bukti nyata persahabatan dekat mereka. Tentu dengan berbagai cerita menarik di belakangnya.
Sebagian acara-acara Persyarikatan juga diselenggarakan di lingkungan AUM. Rihah Dakwah Majelis Tabligh dulu, misalnya. Tempatnya di masjid atau di ruang kelas. Para peserta dan pembicara dari Pusat menginap di rumah tokoh Persyarikatan setempat. Atau ikut tidur bersama peserta, bergeletakan di ruang kelas atau di masjid. Tentu suasana hangat dan dekat sangat terasa. Sebelum subuh peserta bersama pembicara bangun shalat lail berjamaah.
Pada suatu Rihlah Dakwah di Masjid Taqwa Lahat Sumsel aku pernah menemani Ustadz Suprapto Ibnu Juraimi tidur di kamar sederhana sebelah pengimaman masjid. Kami menemani peserta yang datang dari PDM, PCM, PRM, Ortom, dan jamaah Muhammadiyah setempat. Pada Rihlah yang sama di Rimbo Bujang, para Bapak menyebelih sapi. Lalu para ibu memasaknya di sekitar masjid. Kami kemudian makan bersama sebagai bagian dari Raihlah Dakwah. Maka suasananya sungguh sangat hangat.
Seiring dengan perjalanan waktu masyarakat mengalami perubahan. Demikian juga Muhammadiyah. Pada era modern hubungan personal emosional banyak diganti hubungan fungsional profesional. Acara rapat dan pertemuan diselenggarakan di hotel-hotel. Tentu lebih nyaman dan efektif. Panitia bisa lebih fokus pada acara inti. Tidak direpoti urusan tetek bengek akomodasi dan konsumsi. Selesai acara di ruang sidang para peserta dan pembicara masuk kamar masing-masing. Mereka rehat nyaman penuh privasi. Tetapi kebersamaan dan kedekatan personal emosional tentu berkurang. Belakangan masyarakat kembali berubah. Pada era posmo, manusia kembali rindu pada suasana lama penuh kehangatan. Fungsi-fungsi profesional tetap jalan tetapi suasana hangat informal juga bisa dirasakan. Kebutuhan inilah yang bisa tersalurkan dengan duduk di kafe atau ruang-ruang sosial sejenis.
Pada sisi lain tejadi pergeseran makna dari kafe. Dulu kafe berkonotasi tempat nongkrong yang remang-remang. Kini kafe masih tempat nongkrong tetapi sekaligus tempat bekerja yang terang dan nyaman. Tentu masih bisa ngopi dan makan. Karena tempat bekerja maka kafe dilengkapi jaringan internet yang kuat. Maka kafe kini menjadi alternatif bagi banyak aktivis dan pekerja profesional. Demikian juga bagi mahasiswa, dosen, dan pekerja profesional lainnya. Banyak mahasiswa mengikuti kuliah online dari kafe saja. Padahal dosen mereka sudah berada di kelas. Atau bisa jadi dosennya juga mengajar sambil menikmati secangkir kopi pahit di pojok lain kafe yang sama. Meeting dan bekerja sambil nongkrong di kafe kini sudah menjadi hal biasa.
Sesungguhnya bagi sebagian penekun Persyarikatan nongkrong di kafe sudah tidak asing. Khususnya bagi generasi milenial. Mereka terbiasa menyiapkan konsep-konsep penting dalam suasana hangat dan nyaman sambil menikmati kopi di kafe. Di kantor PP Muhammadiyah Jakarta, misalnya, banyak rapat berjalan di kantor resmi Menara 62. Tetapi setelah itu meeting berlangsung di kafe sebelah kantor.
Di lantai dasar apartemen Frazer, atau di kawasan Cikini. Ketika di Majelis Tabligh sebelumnya, kami sesekali rapat di luar. Di rumah makan atau di rumah pengurus. Tentu suasananya berbeda dengan di kafe. Aku ingat beberapa kali rapat sambil menikmati ketela pohon dan jagung rebus di rumah Pak Pri, panggilan akrab Pak Ir. Ahmad Supriyadi, MM, seniorku bendahara majelis ini. Rumah yang kini atapnya terlihat jelas dari SoewaraMoe Café & Longue.
SM Tower dengan kafenya lalu menjadi titik kumpul antar generasi dalam Persyarikatan. Ketika launching sebulan sebelumnya aku tidak bisa bergabung. Tidak masuk daftar undangan. Kebetulan juga sedang momong cucu di Norwegia. Pada Rabu 20 Juli 2023 aku nongrong di kafe ini sejak sebelum asar. Bersamaku bergabung Mas Adim, sahabat rasa kerabat, yang kini menjadi pengurus MPI PPM.
Menjelang magrib seorang pengunjung mendekat. Rupanya mantan pengurus Lazismu Sulsel. Bersama empat teman beliau akan berkunjung ke UMY dan UAD. Mereka tidak lagi menginap di hotel-hotel seputar Malioboro. Lalu masuk rombongan tiga bapak dan tiga ibu. Mereka dipimpin seorang bapak umur 70-an. Namanya Pak Didi Hilman, jamaah Muhammadiyah dari Bogor. Beliau sengaja datang dari jauh karena ingin merasakan menginap di SM Tower. Ternyata beliau alumni SMA Muha angkatan 1977. Sebagai orang yang pernah kos di Kauman era 1970-an, menginap di SM Tower mengobati rindu beliau pada Jogja. Terutama pada kawasan seputar Jalan Ngabean yang kini lebih dikenal sebagai Jalan KHA Dahlan.
SM Tower, Senin 30 Juli 2023
Pukul sepuluh malam suasana kafe SoewaraMoe masih sangat hidup. Aku dan istri masih bincang-bincang santai bersama Bu Fitni. Beliau sahabat istriku sesama pengurus Majelis PAUD Dasmen PPA dan selesai mengikuti Rakernas Majelis Dikdasmen PNF PPM. Di sisi lain kafe Buya Amirsyah Tambunan ketua MPW PPM dimana aku menjadi salah satu wakilnya sedang Zoom meeting sambil menjamu dua tamu. Di bagian lain kafe dua mahasiswi asik menghadap laptop. Satu jam kemudian kami perlahan menuju Stasiun Tugu mengantar Bu Fitni yang akan pulang ke Jakarta naik KA Manahan. Kamipun lewat depan Gedoeng Moehamadiyah. Gedung tua ini nampak terlelap dalam gelap. Titik kumpul lintas warga dan aktivis Persyarikatan sudah beralih ke SM Tower. Tetapi tidak lama lagi dua kompleks bangunan bersejarah Muhammadiyah ini akan bersatu. Maka masa lalu, masa kini, dan masa depan Persyarikatan banyak dibincangkan disini.
Lantai-8 SM Tower, 01 Agustus 2023
Dr. Mahli Zainuddin Tago, M.Si, Dosen UMY, Wakil Ketua V Majelis Pendayagunaan Wakaf PP Muhammadiyah