Election Contestants Threshold Bukan Presidential Threshold

Dr Rahmat Muhajir

Foto Istimewa

Election Contestants Threshold Bukan Presidential Threshold

Oleh: Dr. Rahmat Muhajir Nugroho, S.H., M.H

Ambang batas pencalonan Presiden atau sering disebut dengan istilah Presidential Threshold (PT) kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi. Kali ini Partai Buruh yang mengajukan permohonan agar Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dibatalkan oleh MK, sehingga Partai peserta Pemilu 2024 tersebut memiliki hak untuk mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden baik secara mandiri atau bergabaung. Partai Buruh dan partai-partai baru lainnya secara otomatis kehilangan hak konstitusionalnya (constitutional right) dalam pencalonan Presiden karena terganjal persyaratan ambang batas pencalonan yakni perolehan kursi 20% di DPR atau suara 25% hasil Pemilu 2019 yang lalu. Oleh karena itu wajar jika Partai Buruh merasa terdiskiriminasi sebagai peserta Pemilu 2024, karena tidak berada pada garis start yang sama dengan peserta Pemilu lainnya dan berharap agar MK kali ini membuat keputusan yang berbeda dengan mengabulkan gugatan mereka.

Setidaknya sudah 31 kali ketentuan ambang batas pencalonan Presiden ini digugat di MK, yakni 9 kali terhadap UU No. 42 tahun 2008 dan 22 kali terhadap UU No. 7 tahun 2017, dengan beragam pendapat dan argumentasinya, namun belum mampu menggoyahkan keyakinan Hakim Konstitusi bahwa ketentuan ambang batas pencalonan Presiden tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi. Secara garis besar, dalam berbagai putusan alasan/pertimbangan hukum yang digunakan oleh MK untuk menolak argumentasi pemohon tentang ketentuan ambang batas/PT antara lain sebagai berikut. Pertama, ambang batas/PT termasuk kategori kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Kedua, ambang batas/PT merupakan syarat dukungan awal, sedangkan dukungan yang sesungguhnya akan ditentukan oleh hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga, ambang batas/PT sebagai penguatan sistem Presidensial yang menjadi desain konstitutional UUD 1945. Keempat, ambang batas/PT sebagai sarana Penyederhanaan Partai Politik. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, MK menyatakan bahwa ambang batas pencalonan Presiden tidak bertentangan dengan konstitusi.

Penulis akan lebih fokus melihat apakah ada pertentangan norma (conflict of norm) dalam ketentuan ambang batas/PT yang diatur dalam UU Pemilu dengan mekanisme pencalonan Presiden sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945. Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 berbunyi “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya” Sedangkan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.

Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 tersebut sebenarnya sudah mengandung ambang batas/threshold, tanpa perlu ditambah dengan ketentuan lain dalam Undang-Undang Pemilu, yaitu pada kalimat “….diusulkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu”. Pada frasa “partai politik peserta Pemilu” secara substansi telah mengandung persyaratan, karena tidak semua Partai Politik yang berbadan hukum dapat lolos menjadi peserta Pemilu. Sejumlah persyaratan bagi Partai Politik untuk menjadi peserta Pemilu merujuk pada Pasal 173 UU No. 7 Tahun 2017. Salah satu persyaratan Partai Politik untuk menjadi peserta pemilu adalah Pasal 173 ayat (1) UU No. 7 tahun 2017 yang berbunyi, “Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU”. Artinya seluruh partai politik yang lolos sebagai peserta pemilu berhak untuk mengikuti seluruh jenis Pemilu yang digelar di tahun 2024 termasuk dalam pengajuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Apalagi Pemilu dilakukan secara serentak. Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden dilaksanakan dalam satu waktu yang sama.

Dengan demikian konstitusi (UUD NRI 1945) mengenal ambang batas pencalonan Presiden, namun dalam pengertian yang berbeda, sebagaimana dipahami selama ini. Ambang batas yang diatur dalam konstitusi adalah ambang batas partai politik peserta Pemilu, atau istilah penulis Election Contestants Threshold bukan Presidential Threshold, karena persyaratan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 hanya menetapkan Partai Politik peserta Pemilu, tidak ada “embel-embel” yang lain. Apabila kedua aturan tersebut dibandingkan, penerapan antara Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 222 UU 7/2017 memiliki konsekuensi yang berbeda terhadap status partai politik. Penerapan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 akan menghasilkan 2 status Partai Politik dalam penyelenggaraan Pemilu yaitu Partai Politik yang lolos sebagai peserta pemilu dan partai politik yang tidak lolos sebagai peserta pemilu. Sedangkan penerapan Pasal 222 UU 7/2017 akan berakibat pada Partai Politik peserta pemilu yang dapat mencalonkan Presiden dan Partai politik peserta pemilu yang tidak dapat mencalonkan Presiden.

Kalaupun ketentuan ambang batas/PT tetap “dipaksakan” untuk dikatakan sebagai kebijakan hukum terbuka/KHT (open legal policy), maka sebenarnya bukan terletak pada frasa “Partai Politik Peserta Pemilu “, tetapi lebih tepatnya pada besaran angka ambang batas 20% kursi atau 25% suara sah nasional. Besaran angka itulah yang masuk ranah perdebatan antar fraksi di DPR, sehingga dapat dinaikkan atau diturunkan sesuai kesepakatan pembentuk Undang-Undang. Keyakinan penulis atas hal tersebut, terkonfirmasi pada putusan MK Nomor 73/PUU-XX/2022, yang menyatakan pada pokoknya MK mengapresiasi apapun bentuk kajian ilmiah yang akan digunakan oleh pembentuk undang-undang dalam menentukan besaran angka Ambang batas/PT oleh partai politik dan gabungan partai politik. Namun demikian, hal tersebut bukan ranah kewenangan Mahkamah untuk memutusnya. Dengan demikian dapat dimaknai, bahwa ketentuan yang termasuk kategori KHT secara implisit oleh MK adalah besaran angka threshold, bukan persyaratan Partai Politik peserta pemilu.

Oleh karena itu, pengaturan ambang batas pencalonan Presiden dalam Pasal 222 UU 7/2017 telah menyimpang dari maksud yang dikandung dalam konstitusi khususnya Pasal 6A ayat (2). Pertentangan norma tersebut semakin terlihat pada akibat hukum berikutnya, yaitu jika Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 diterapkan secara murni, akan memberikan kesempatan kepada seluruh partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan penerapan Pasal 222 UU 7/2017 telah berakibat pada tidak seluruh partai politik peserta pemilu dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, baik secara mandiri maupun berkoalisi.

MK lebih dari cukup memiliki otoritas untuk menentukan suatu ketentuan dalam Undang-Undang bertentangan atau tidak bertentangan dengan konstitusi. Keenganan MK untuk mencampuri ranah pembentuk Undang-Undang tidak dapat diterima secara nalar, karena sebenarnya norma Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 sudah secara jelas dan tegas mengatur, dan tidak membuka penafsiran yang lain untuk menambahkan persyaratan tertentu dalam pencalonan Presiden. Oleh karenanya seharusnya Pasal 222 UU 7/2017 dibatalkan oleh MK dalam judicial review atau pengujian undang-undang kali ini.

Dr. Rahmat Muhajir Nugroho, S.H., M.H, Alumnus Universitas Brawijaya dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan

Exit mobile version