Etika Muslim terhadap Masyarakat (Bagian ke-2)
Oleh: Donny Syofyan
Hal kedua adalah persoalan keadilan. Kita mengimani bahwa Allah itu esa tapi manusia jamak. Manusia adalah poliglot, memilki keragaman warna kulit, bahasa, dan kebiasaan. Di banyak masyarakat ada keyakinan tertentu bahwa cara dan kebiasan mereka melakukan sesuatu adalah satu-satunya cara untuk hidup. Banyak yang tidak menyadari bahwa manusia diciptakan atau dirancang dengan sengaja oleh Tuhan menjadi makhluk pluralistik. Ada banyak bahasa, budaya, nilai-nilai, cara berpakaian, cara memperlakukan satu sama, cara berpikir tentang apa yang baik dan apa yang buruk dalam situasi apa pun, atau berbagai jenis makanan. Menjadi berbeda harus mengingatkan orang bahwa perbedaan atau pluralitas adalah ciri khas manusia. Mereka yang bersikeras memaksakan keseragaman berarti tidak mengetahui hakikat keindahan perbedaan. Manusia berbilang tapi Tuhan adalah satu.
Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan” (QS 5: 8). Di lain surah dengan penekanan yang tak jauh berbeda, Allah mengingatkan, “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu….” (QS 4: 135).
Allah memerintahkan kita untuk menjadi saksi membela Tuhan dan sebagai saksi untuk keadilan. Kata qisth (keadilan) awalnya berasal dari bahasa Yunani. Jalaluddin as-Suyuthi dan banyak sarjana lainnya mengatakan kata ini berasal dari kata qistas dari bahasa Yunani yang berarti keadilan. Kata ini menyeimbangkan sesuatu atau menimbang hal-hal dengan benar. Umat Islam harus membicarakan dan memperjuangkan kebaikan dan keadilan meskipun jika hal itu bertentangan dengan diri sendiri.
Tegak membela keadilan berarti kita mendukung keadilan, tidak peduli siapa yang kita hadapi. Nabi SAW dengan tegas mengatakan bahkan sekiranya putrinya mencuri, maka akan dipotong tanganya alias dihukum, seperti yang lainnya. Ada kisah hebat lainnya di Sahih Bukhari tentang seorang sahabat Rasul Asy’ats bin Qais yang terlibat sengketa tanah dengan seorang Yahudi di Madinah. Rasul kembali bertanya, “hal-’laka bayyinah” (Apakah kamu punya bukti). Ia menjawab, “Tidak.” Rasul memutuskan berpihak kepada si Yahudi. Si sahabat protes, “Bagaimana Engkau berpihak kepada orang yang tidak percaya kepada si Yahudi ketimbang saya sahabatmu sebagai orang yang meyakini Allah dan Rasul-Nya?” Nabi menjawab, “Engkau tidak punya bukti.” Islam tidak hirau Anda Muslim atau Kristen. Yang dilihat adalah apa yang ditunjukkan oleh bukti. Para ilmuwan Muslim, seperti Abu Yusuf dalam Kitâbul Kharâj, bahwa tak boleh hak milik diambil atau darah ditumpahkan tanpa adanya bayyinah dan haq ma`lûm.
Dalam Sunan Abû Dâwûd, juga ada kisah menarik tentang seseorang dari Hadhratul Maut dan seseorang dari suku Kindi yang terlibat persengketaan tentang tanah/lahan (نزاع على الأرض). Lelaki dari Hadhratul Maut menuduh lelaki Kindi ini merampas tanahnya. Rasul bertanya kepada lelaki Hadramaut ini, “hal-’laka bayyinah,” Ia menjawab, “Tidak ada. Tapi orang Kindi ini jahat.” Rasul menjelaskan bahwa dalam Islam bila seseorang melemparkan tuduhan mesti dibarengi bukti. BIla tidak, pihak tertuduh harus bersumpah ia tak bersalah. Maka si Kindi bersumpah ia tak bersalah dan Rasul memenangkannya. Lelaki Hadratul itu berujar,”Orang ini adalah pendosa tak peduli dengan sumpah yang diucapkannya.” Nabi menjawab, “Tidak masalah.” Artinya, seseorang yang tertuduh merampas lahan namun si empunya tak punya bukti, maka seseorang yang tertuduh bebas tanpa adanya ‘bayyinah’ terlepas ia bukan orang saleh atau non-Muslim.
Kesediaan untuk berkorban membuat Anda kuat. Generasi Muslim awal (salâfus shâlih) tidak kuat karena mereka mengejar kekuatan duniawi. Mereka kuat karena mereka tidak peduli dengan kekuatan duniawi. Anda menjadi kuat saat Anda tidak peduli tentang kehilangan. Anda menjadi kuat saat Anda tidak peduli dengan rasa sakit dan penderitaan di dunia ini. Anda menjadi kuat saat Anda bukan budak dirham dan dinar. Nabi SAW mengatakan bahwa seburuk-buruk hamba adalah hamba dinar dan dirham. Ketika Anda tidak takut kehilangan maka Anda adalah orang yang sangat kuat. Karenanya, mengingatkan orang lain akan Allah dan kehidupan setelah kematian akan memperkuatnya, bukan melemahkannya. Begitu halnya dengan keadilan. Keseimbangan dan kesetaraan saat membela orang-orang meskipun Anda tidak setuju dengan mereka adalah tindakan orang yang peduli dengan keadilan. Jika umat Islam tegak membela keadilan di negara ini, maka mereka akan benar-benar dihargai, kita akan betul-betul diharga—(Tamat).
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas