Keraguan dan Kepastian Pemilih

Keraguan dan Kepastian Pemilih

Oleh: Sobirin Malian

Pemilu dan Pilkada makin dekat, tentu konstalasi politik makin terus memanas hingga tensinya akan mencapai titik kulminasi. Konstalasi demikian jika tidak diantisipasi melalui tanggungjawab politik dari kekuatan yang bertarung, baik di gelanggang Pilkada Serentak 2024 maupun Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden 2024, akan menimbulkan kerentanan daya tahan demokrasi Indonesia baik saat ini maupun masa yang akan datang.

Isu Pemilu

Hingga sekitar delapan bulan menjelang Pemilu narasi yang berkembang lebih banyak diisi dengan tiga isu utama yang sebenarnya sangat elitis. Pertama, seputar tema/modal dasar elektoral calon kepala daerah dan wakilnya. Dalam kaitan ini hasil survei tentang popularitas, akseptabilitas serta elektabilitas menjadi ragam dalam media offline dan online.  Bahkan yang unik, ada saja elitis lembaga survei “tak dikenal” yang tiba-tiba muncul dan “diviralkan” oleh para pengikutnya. Inilah yang dikatakan Ketua Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi) Philip J Vermonte sebagai lembaga survei abal-abal meramaikan kedatangan Pemilu 2024 (https//www.kompas, 3 Maret 2023). Maraknya kehadiran lembaga survei ini tidak lepas dari keinginan politisi yang mencari jalan pintas agar dikenal publik.

Berita dan viral rilis hasil survey sejatinya bukan tanpa masalah. Hasil survey itu banyak yang tanpa pengkajian dan telaah mendalam. Bahkan hasil survey itu tanpa disertai dengan pendapat (second opinion) pihak lain sebagai penyeimbang terutama dari ahli yang bisa mengelaborasi makna data, kelebihan dan kekurangan survey dari sudut metodologi dan hasil, serta yang lebih penting konteks situasi saat survei dilakukan hingga dipublikasikan.

Sebagai catatan penting, lembaga survey, media online/media offline dan asosiasi profesi survey opini publik di Indonesia seharusnya ikut bertanggungjawab menaikkan kualitas pemilu melalui literasi politik dan survey yang dipublikasikannya. Jadi, lembaga survei jangan hanya fokus pada bandwagon effect untuk melambungkan posisi kliennya.

Hasil survei jangan sekadar diposisikan sebagai komoditi yang sama-sama menguntungkan antara lembaga survei yang merangkap “tukang pemenangan” dan media yang butuh “dongkrak” untuk mengangkat citranya (news framing). Saat survei sekadar menjadi komoditi, jangan heran jika produknya tak lagi berfaedah dalam menguatkan konsolidasi demokrasi.

Kedua, narasi tentang perburuan kuasa melalui tindakan persuasif pemasar politik. Gary A Mauser dalam bukunya, Political Marketing an Approach to Campaign Strategy (1983)”, mendefinisikan pemasaran politik sebagai upaya mempengaruhi perilaku massa dalam situasi yang kompetitif. Ukuran kesuksesan diukur  dari dua indikator yakni (1) perolehan suara (vote); dan (2) efektivitas kuasa (power).

Hal yang patut disayangkan, langkah untuk mencapai kedua hal tersebut sering mendistorsi hakikat komunikasi persuasif berbasis nilai atau etos demokrasi menjadi pragmatism yang menghalalkan segala cara (Gun Gun Heryanto, Kompas 2018). Sebagai contoh, tak jarang pendukung partai tertentu menyerang (attackingcampaign) tak sekadar melakukan hal-hal destruktif, melainkan juga tak segan-segan menyebar hoaks, fitnah, berita palsu (fakenews) dan pembunuhan karakter lainnya.

Dalam berbagai perbincangan warga di grup Whatssap (WAG) saat ini telah dibanjiri hal di atas sebagai fenomena politik yang tak terelakkan dan tidak sedikit yang berbayar seperti buzzer. Penelitian Christiany Juditha,berjudul Buzzer di Media Sosial pada Pilkada dan Pemilu Indonesia  (2019) membuktikan, para buzzer sejatinya lebih banyak menjadi alat propaganda ketimbang benar-benar mengangkat citra calon yang didukung. Adanya polarisasi politik saat ini tak lepas dari peran buzzer itu, tulis Christiany dalam kesimpulan penelitiannya.

Cognitive Dissonance

Menyambut Pemilu atau Pilkada 2024 mendatang, salah satu magnet penting dan signifikan pengaruhnya dalam menggerakkan pemilih adalah harapan akan adanya perubahan atau perbaikan dari bakal calon. Seiring habisnya masa jabatan Presiden Jokowi yang sudah dua periode__maka “cawe-cawe” Presiden beberapa waktu lalu menggambarkan keinginannya untuk menyinambungkan berbagai program kepada penggantinya apakah Prabowo atau Ganjar.  Pertanyaan publik yang muncul apakah ada harapan untuk melanjutkan pembangunan dengan model kepemimpinan Jokowi yang akhir-akhir ini diramaikan oleh kritikus Rocky Gerung__sebagai telah gagal membawa Indonesia lebih baik.

Sementara itu kandidat lain Anies Baswedan sebagai penantang (garis Jokowi), selalu menyebar program yang memang mengusung perspektif berbeda. Magnet paling besar pada kandidat Anies Baswedan di samping program yang ditawarkan__justru sosoknya sendiri yang dianggap bersih, tidak tersandera oleh politik masa lalu dan pribadi cerdas yang santun. Tampaknya, pertarungan politik ini akan mirip dengan apa yang dulu pernah terjadi di  Malaysia, saat harapan menjelma menjadi keyakinan pemilih untuk perubahan. Koalisi Barisan Nasional (BN) yang telah berkuasa selama 60 tahun, tumbang dikalahkan oleh koalisi pimpinan Mahathir Mohammad. Pada pengumuman final Komisi Pemilihan Malaysia ( Bahasa Melayu : Suruhanjaya Pilihan Raya Malaysia ) , disingkat SPR atau EC, mengumumkan, koalisi oposisi Pakatan Harapan meraih 113 kursi dari total 222 kursi Dewan Rakyat atau parlemen federal yang diperebutkan. Sementara koalisi Barisan Nasional (BN) pimpinan Najib hanya meraih 79 kursi kala itu.

Fenomena politik di Malaysia kala itu menggambarkan bahwa tidak ada yang tidak mungkin dalam politik. Sang penantang yang tak diperhitungkan justru meluluhlantakkan arogansi kekuasaan. Sebuah pelajaran penting terkait dengan penyebab utama kekalahan Barisan Nasional di Malaysia. Fenomena itu seperti dinarasikan oleh Leon Festinger (1957), peristiwa politik itu adalah cognitive dissonance. Dalam buku klasiknya, A Theory of Cognitive Dissonance, Festinger memaknainya sebagai perasaan ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan perilaku yang tidak konsisten sehingga memotivasi seseorang untuk mengambil langkah-langkah demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut. Disonansi kognitif adalah situasi yang mengacu pada konflik mental, yang terjadi ketika keyakinan, sikap, dan perilaku seseorang tidak selaras. Sebagai contoh, seorang perokok tetap merokok meski tahu bahwa rokok berbahaya bagi kesehatannya. Situasi tersebut dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman pada seseorang.

Salah satu hal yang bisa menyebabkan disonansi adalah inkonsistensi logis yaitu logika berfikir yang mengingkari logika berfikir lain. Misalnya, dulu saat “kandidat” memprogram kemandirian pangan, rakyat meyakini itu akan terwujud dalam waktu yang tidak terlalu lama mengingat semua sarana, prasarana, perangkat keras dan perangkat lunaknya sudah lengkap. Tetapi dalam waktu bersamaan ternyata program menuju ke arah kemandirian pangan itu makin jauh panggang dari api. Apa yang terjadi, ternyata semua program itu kandas bak dihembus angin semua perangkat yang tersedia ternyata hanyalah omong kosong. Ada inkonsistensi di sini, muspro.  Munculnya inkonsistensi logis inilah yang membuat pemilih “balik kucing” mencari cara mengurani ketidakpastian guna menciptakan solusi sesuai hati nuraninya. Tawaran perubahan sesungguhnya cara pemilih mencari kenyamanan atas inkonsistensi logis tersebut.

Inti yang ingin disampaikan di sini, pada pemilu dan pilkada 2024 mendatang hendaknya para kandidat (partai dan Timses) jangan pernah abai pada sikap pemilih. Disonansi kognitif yang muncul sejatinya akibat pengabaian pemilih ini. Disonansi di satu sisi bisa menjadi faktor perusak, tapi di sisi lain bisa juga menjadi peluang kemenangan. Untuk mewujudkan kemenangan tentu butuh kerja keras (dan cerdas) yang nyata dirasakan untuk mengarah kepada perubahan dan perbaikan.

Exit mobile version