Shalat untuk Menjemput Rahmat (19)
Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Nifʻan Nazudi
Makin intensif dipelajari dan diamalkan, makin banyak keutamaan yang kita dapatkan dari shalat berjamaah. Memang begitulah keutamaan ibadah di dalam Islam.
Hal sangat penting yang perlu lebih kita pahami lagi adalah makin khusyuk kita lakukan ibadah apa pun, makin kita rasakan manfaat berlipat ganda. Shalat berjamaah di masjid/musala jika kita lakukan dengan khusyuk, dan dengan kekhusyukan itu makin kita rasakan manfaatnya, membuat kita merasa rugi yang luar biasa besarnya jika tidak mengerjakannya.
Orang yang telah merasakan kenikmatan shalat berjamaah di masjid/musala, baginya udara dingin atau panas atau medan cukup berat karena jalan naik-turun dan cukup jauh, bukan kendala untuk tetap shalat berjamaah di masjid. Bahkan, bagi mereka, semua itu mendatangkan kenikmatan tersendiri. Mengapa?
Mereka makin menyadari bahwa kenikmatan dari Allah Subḥānu wa Taʻāla sangat banyak sehingga tidak dapat menghitungnya sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subḥānu wa Taʻāla di dalam al-Qurʻan surat Ibrahim (14): 34,
وَاٰتٰٮكُمۡ مِّنۡ كُلِّ مَا سَاَلۡـتُمُوۡهُ ؕ وَاِنۡ تَعُدُّوۡا نِعۡمَتَ اللّٰهِ لَا تُحۡصُوۡهَا ؕ اِنَّ الۡاِنۡسَانَ لَـظَلُوۡمٌ كَفَّارٌ
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya, manusia itu, sangat ẓalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).”
Mereka makin menyadari bahwa dirinya sering berbuat ẓalim dan belum bersyukur secara maksimal, sedangkan Allah Subḥānu wa Taʻāla tidak pernah ingkar janji sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qurʻan surat Ali ‘Imran (3): 194,
رَبَّنَا وَاٰتِنَا مَا وَعَدتَّنَا عَلٰى رُسُلِكَ وَلَا تُخۡزِنَا يَوۡمَ الۡقِيٰمَةِ ؕ اِنَّكَ لَا تُخۡلِفُ الۡمِيۡعَادَ
“Ya, Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari kiamat. Sesungguhnya, Engkau tidak menyalahi janji.”
Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (19) ini dikemukakan lagi keutamaan shalat berjamaah di masjid/musala. Shalat berjamaah dapat menjadi media pendidikan akhlak, baik bagi imam maupun bagi makmum.
Orang Buta Boleh Menjadi Imam Shalat
Di antara orang yang mempunyai kekurangan fisik, tetapi boleh menjadi imam shalat adalah orang buta. Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam pernah mengangkat orang buta untuk menjadi imam shalat berjamaah di Madinah, yakni Ibnu Ummi Maktum.
Hal itu disebutkan di dalam hadis dari Anas bin Malik, dia berkata, yang artinya
“Sesungguhnya, Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam mengangkat Ibnu Ummi Maktum untuk menjadi imam bagi masyarakat, padahal dia buta.” (HR. Abu Dawud)
Rasūlullāh shallallāhu ʻalaihi wasallam memilih Ibnu Ummi Maktum karena faktor senioritas. Dia termasuk jajaran sahabat muhajirin awal. Di samping itu, dia penghafal al-Qurʻān dan kapasitas keilmuannya sesuai dengan standar ketetapan Nabi shallallāhu ʻalaihi wasallam.
Ternyata kepemimpinan Ibnu Ummi Maktum ini tidak hanya terbatas pada kepemimpinan shalat, tetapi juga kepemimpinan secara umum. Dia berhak berfatwa, memutuskan perkara dan mengatur urusan semua penduduk Madinah saat Rasūlullāh shallallāhu ʻalaihi wasallam bepergian.
Hal itu dijelaskan di dalam HR aṭ-Ṭabārani dari Aṭāʻ dari Ibnu Abbās, yang artinya
“Bahwasanya Nabi shallallāhu ʻalaihi wasallam pernah menjadikan Ibnu Ummi Maktum sebagai imam shalat dan pemimpin yang mengatur urusan penduduk Madinah.”
Perempuan Boleh Menjadi Imam Shalat
Ada perbuatan para sahabat (atsar) yang berkenaan dengan perempuan menjadi imam shalat. Di dalam atsar yang diriwayatkan oleh Ibn Hazm dijelaskan, yang artinya
“Dari Tamimah binti Salamah, ia berkata, Sesungguhnya, ‘Aisyah mengimami para perempuan pada shalat magrib, berdiri di tengah-tengah jamaah dan mengerjakan qiraʻah (mengeraskan bacaan).”
Berdasarkan atsar tersebut, perempuan pun dapat menjadi imam shalat. Dalam hubungannya dengan perempuan menjadi imam shalat, MUI menerbitkan fatwa 21 Jumadil Akhir 1426 H yang bertepatan dengan 28 Juli 2005 M, yakni perempuan menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah. Namun, perempuan yang menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya perempuan, hukumnya mubah.”
Anak yang Mumayyiz Boleh Menjadi Imam Shalat
Anak yang mumayyiz adalah anak yang sudah dapat membedakan sesuatu yang baik dan yang buruk. Di samping itu, dia sudah merasa malu ketika tidak menutup aurat; mengerti bahwa shalat harus serius, dan yang menunjukkan fungsi akalnya normal. Umumnya, anak menjadi mumayyiz ketika berusia 7 atau 8 tahun.
Anak yang mumayyiz dapat menjadi imam shalat bagi orang dewasa. Hal itu kita ketahui dari HR al-Bukhari dan Abū Dawud, dari Amr bin Salamah raḍiyallahu ‘anhuma, dia menceritakan, yang artinya:
“Kami tinggal di kampung yang dilewati para sahabat ketika mereka hendak bertemu dengan Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam di Madinah. Sepulang mereka dari Madinah, mereka melewati kampung kami. Mereka mengabarkan bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda demikian dan demikian. Ketika itu, saya adalah seorang anak yang cepat menghafal sehingga aku bisa menghafal banyak ayat al-Qurʻan dari para sahabat yang lewat. Sampai akhirnya, ayahku datang menghadap Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam bersama masyarakatnya, dan beliau mengajari mereka tata cara shalat. Beliau bersabda, Yang menjadi imam adalah yang paling banyak hafalan Qurʻan-nya. Sementara Aku (Amr bin Salamah) adalah orang yang paling banyak hafalannya karena aku sering menghafal sehingga mereka menyuruhku untuk menjadi imam. Aku pun mengimami mereka dengan memakai pakaian kecil milikku yang berwarna kuning…, aku mengimami mereka ketika aku berusia 7 tahun atau 8 tahun.”
Imam Ratib (Tetap) Ditunjuk, Tidak Asal Maju
Kita tahu bahwa Rasūlullāh shallallāhu ʻalaihi wasallam pernah menunjuk Abū Bakar dan Ibnu Ummi Maktum menjadi imam. Kita tahu juga nama sebagian imam Masjid Haram dan Masjid Istiqlal di Jakarta.
Imam ratib ditunjuk, tidak asal maju. Yang menunjuk adalah penguasa umat atau Takmir Masjid yang menjadi representasi dari pelayanan umat Islam dalam urusan masjid.
Hal itu dapat kita ketahui dari HR al-Bukhari dari sahabat Anas bin Malik bahwa Rasūlullāh shallallāhu ʻalaihi wasallam bersabda, yang artinya
“Sesungguhnya, imam diadakan (ditunjuk) untuk diikuti.”
Demikian juga sabda beliau, yang diriwayatkan oleh Muslim, yang artinya:
“Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya.”
Berdasarkan hadis dan atsar sebagaimana telah dikutip artinya, pemahaman kita makin kuat bahwa sangat banyak nilai pendidikan akhlak yang kita peroleh dari syarat menjadi imam shalat. Kita peroleh bukti lagi bahwa Islam memuliakan orang berdasarkan ketakwaannya pada Allah Subḥānu wa Taʻāla. Dari contoh imam shalat, syarat substansial bukanlah keturunan, pangkat, atau jabatan.
Pendidikan Akhlak Bagi Imam Shalat
Di dalam HR Ahmad dan Muslim dijelaskan, yang artinya
˝Diimami suatu kaum oleh yang lebih banyak (pandai dan baik) bacaannya terhadap Kitabullah. Jika mereka sama dalam hal mengerti isi kitab itu, hendaklah diimami oleh yang terpandai dalam urusan as-Sunnah. Jika dalam urusan as-Sunnah sama pula, hendaklah diimami yang lebih dahulu hijrah. Jika dalam hal berhijrah itu sama juga, hendaklah diimami yang lebih tua. Dan janganlah seseorang menjadi imam bagi orang lain dalam kekuasaan yang diimami itu, dan janganlah ia duduk di rumah orang di atas kemuliaannya (tempat yang tertentu untuk tuan rumah), melainkan dengan izinnya˝.
Dalam hubungan dengan syarat imam, hal-hal berikut ini juga sangat penting bagi imam:
- berakidah benar; (2) berakhlak baik (termasuk akhlak berpakaian); (3) dapat beribadah dengan benar; (4) berkesehatan fisik baik (terutama alat ucap berfungsi normal; sikap tubuh, anggota tubuh, dan gerakan anggota tubuh normal; tidak mempunyai kebiasaan buruk (Jawa: saradan) misalnya menggaruk-garuk kepala, padahal tidak gatal; sebentar-sebentar dehem, menggeleng-gelengkan kepala, atau yang lain lagi)
Perlu kita pahami dengan sebaik-baiknya tentang akhlaqul karimah (akhlak yang mulia) bagi imam. Imam yang berakhlak mulia dapat menimbulkan keterikatan hati makmumnya.
Di dalam kenyataan, ada orang yang merasa lebih pandai dan lebih baik bacaan al-Qurʻannya daripada orang lain. Dia memosisikan dirinya sebagai “imam utama”. Karena menilai dirinya lebih baik daripada orang lain, dia merasa tidak perlu diberi masukan berupa saran apalagi kritik. Jika diberi masukan, dia tersinggung.
Pada keadaan yang sebenarnya, ada orang lain yang justru lebih pandai dan lebih baik bacaannya. Jika menjadi imam, karena “imam utama” beralangan, ia membaca al-Qurʻan dengan benar, baik makhraj naupun tajwidnya. Makmum pun mengetahui hal itu. Di samping itu, ia melakukan gerakan shalat sesuai dengan tuntunan Rasulūllāh shallāhu ‘alaihi wasallam.
Dari sisi lain kita ketahui pula bahwa imam shalat yang berakhlak mulia sangat penting karena mengondisikan suasana hati makmum tenteram. Hal ini sangat bermanfaat bagi kekhusyukan shalatnya. Boleh jadi, meskipun imam membaca surat panjang, makmum tetap dapat dengan khusyuk mengerjakan shalat.
Imam yang berakhlak mulia, dapat pula menjadi teladan di dalam kehidupan di luar shalat. Orang non-Islam pun pasti menghormatinya. Dengan demikian, imam yang berakhlak mulia mempunyai nilai dakwah yang sangat tinggi.
Masih ada lagi keutamaan imam yang berakhlak mulia. Dia menyadari keterbatasannya sebagai manusia biasa sehingga suatu ketika dapat saja lupa atau keliru. Kesadaran yang demikian mengondisikan dirinya berjiwa besar. Dia dengan ikhlas jika diingatkan oleh makmum, baik ketika lupa pada rakaat maupun lupa pada ayat. Dia pun dengan ikhlas menerima masukan (kritik) dari jamaah tentang bacaan dan gerakan shalatnya.
Imam yang berakhlak mulia selalu tampil dengan pakaian sesuai dengan standar syar’i dan bagus. Tampilannya yang demikian menambah rasa percaya dirinya dan menimbulkan kemantapan makmum. Hal ini pun mengondisikan kekhusyukan shalat.
Pakaian yang bagus untuk shalat tidak hanya terbatas pada model yang biasa dipakai oleh orang Arab. Dapat saja imam menggunakan model lain, tetapi yang penting model itu tidak “aneh-aneh” yang dapat mengganggu kekhusyukan shalat.
Pakaian shalat yang dilengkapi dengan aksesori berlebihan dapat mengalihkan perhatian makmum. Di masjid-masjid tertentu ada imam shalat yang mengalungkan kain di lehernya dan pada saat akan rukuk hampir selalu membetulkan kain tersebut. Agar tidak melakukan gerakan tersebut, apakah tidak lebih baik jika tidak memakainya?
Larangan Pendosa Dijadikan Imam
Kadang-kadang Takmir Masjid dalam menunjuk imam hanya fokus pada bacaan al-Qurʻan terutama pada kemerduan suaranya tanpa memperhatian akhlaknya. Seharusnya, kemuliaan akhlaknya juga diperhatikan. Jamaah-tetap yang mengetahui akhlak imam yang tidak membaik, menjadi tidak nyaman berjamaah. Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam menyebutkan, yang artinya
“Janganlah sekali-kali wanita dan orang yang berdosa menjadi imam bagi orang beriman, kecuali jika ia mamaksa dengan kekuasaaan atau cambuknya dan pedangnya yang ditakuti.” (HR. Ibnu Majah)
Pendidikan Akhlak bagi Makmum
Pada shalat berjamaah, makmum dididik sekurang-kurangnya dalam hal disiplin. Mereka harus menempatkan diri pada ṣaf- ṣaf dengan rapi. Di samping itu, mereka dididik taat melaksanakan aba-aba imam sesuai dengan tuntunan Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam. Hal lain yang penting kita pahami adalah cara makmum mengingatkan imam jika imam lupa.
Makmum Mengingatkan Imam yang Lupa pada Gerakan
Berikut ini dikemukakan HR al-Bukhari tentang cara makmum mengingatkan imam dalam hal gerakan, yang artinya,
“Dari Sahal bin Saʻd As Saʻidi, bahwa suatu hari Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam pergi menemui Bani ʻAmru bin ʻAuf untuk menyelesaikan masalah di antara mereka. Kemudian, tiba waktu shalat, lalu ada seorang muazin menemui Abu Bakar seraya berkata, Apakah engkau mau memimpin shalat berjamaah sehingga aku bacakan iqamatnya? Abū Bakar menjawab, Ya, maka Abū Bakar memimpin shalat. Tak lama kemudian datang Rasulūllāh shallāhu ‘alaihi wasallam, sedangkan orang-orang sedang melaksanakan shalat. Lalu, beliau bergabung dan masuk ke dalam ṣaf. Orang-orang kemudian memberikan isyarat dengan bertepuk tangan, tetapi Abu Bakar tidak bereaksi dan tetap meneruskan shalatnya. Ketika suara tepukan makin banyak, Abu Bakar menoleh dan ternyata dia melihat ada Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam. Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam memberi isyarat yang maksudnya, Tetaplah kamu pada posisimu. Abu Bakar mengangkat kedua tangannya lalu memuji Allah atas perintah Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam tersebut. Kemudian, Abu Bakar mundur dan masuk dalam barisan ṣaf lalu Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam maju dan melanjutkan shalat. Setelah shalat selesai, beliau bersabda, Wahai Abū Bakar, apa yang mengalangimu ketika aku perintahkan agar kamu tetap pada posisimu? Abū Bakar menjawab, Tidaklah patut bagi anak Abu Qahafah untuk memimpin shalat di depan Rasūlullāh, maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda, Mengapa kalian tadi banyak bertepuk tangan?Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) menolehnya, sedangkan tepukan untuk perempuan.”
Dari kutipan tersebut kita ketahui bahwa ketika imam lupa gerakan, makmum laki-laki mengingatkannya dengan cara membaca tasbih. Makmum perempuan mengingatkannya dengan tepukan.
Makmum Mengingatkan Imam yang Lupa pada Ayat
Cara makmum mengingatkan imam yang lupa pada ayat dijelaskan di dalam HR Abū Dawud, yang artinya sebagai berikut.
“Dari al-Musawwir bin Yazid al-Asadi al-Maliki bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam -Yahya mengatakan, Dan sepertinya Musawwir mengatakan, Aku menyaksikan Rasulūllāh shallallāhu ‘alaihi wasallam membaca surat al-Qurʻan dalam shalat. Kemudian, beliau meninggalkan suatu ayat, dan tidak dibacanya, maka ada seseorang berkata kepada beliau, Wahai Rasūlullāh, Anda telah meninggalkan ayat ini dan ini. Lantas Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda, Mengapa kamu tidak mengingatkan aku tentang ayat itu? Sulaiman berkata dalam hadisnya, Pendapatku bahwa ayat tersebut telah dinasakh (dihapus).”
Sementara itu, cara makmum mengingatkan imam yang lupa pada ayat, kita ketahui pula melalui HR Abū Dawud, yang artinya sebagai berikut.
“Dari Abdullah bin ʻUmar bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam sallam mengerjakan shalat dan membaca (beberapa ayat al-Qurʻan) dalam shalatnya, dan beliau terbalik-balik dalam bacaannya, seusai shalat beliau bersabda kepada Ubay, Apakah kamu tadi ikut shalat bersama kami? Ubay menjawab, Ya. Sabda beliau, Apa yang mencegahmu (untuk tidak membetulkan ayat tadi)?”
Berdasarkan hadis-hadis tersebut, cara makmum mengingatkan imam yang lupa pada ayat adalah membaca ayat yang tidak diingat oleh imam.
Dari tuntunan yang diberikan oleh Rasūlullāh hallallāhu ‘alaihi wasallam tentang cara makmum mengingatkan imam yang lupa pada gerakan (juga rakaat) atau pada ayat, kita ketahui bahwa di dalam shalat berjamaah ada tata krama makmum mengingatkan imam. Semestinya, muslim dalam mengingatkan pemimpin menggunakan tata krama juga, baik dalam hal cara maupun penggunaan kata agar suasana kehidupan bermasyarakat dan bernegara “sedamai” shalat berjamaah.
Allahu aʻlam.
Mohammad Fakhruddin, warga Muhammadiyah yang tinggal di Magelang Kota
Nif’an Nazudi, Dosen Al-Islam dan Kemuhammadiyahan dari Universitas Muhammadiyah Purworejo