Pacaran Islami Tidak Dibenarkan
Oleh: Bilal Al Baihaqi
Akhir-akhir ini marak di kalangan remaja dan pemuda muncul kabar-kabar duka yang berawal dari sebuah hubungan asmara, berlatar belakang sakit hati karena sang pujaan pergi memilih bersama lainnya atau saling beri janji manis berujung tragis, yang pada akhirnya para orang tua pun tak menau harus menyalahkan siapa. Nasi terlanjur menjadi bubur, itulah kata yang pantas untuk mereka yang pada akhirnya menyesali perbuatannya dan serba-serbi kisah itu berawal dari trend di kalangan mereka, yang seringkali diibaratkan dengan sebuah ikatan di mana mereka bisa saling memberi kasih sayang, saling melindungi, saling menyemangati dan saling mengasihi semua itu tertuai dalam satu kata yaitu “pacaran”.
Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa pacaran merupakan hal yang biasa dan tak perlu diwaspadai jika terlanjur menjerat putra-putrinya dan sebagian masyarakat lain sadar dan menganggap bahwa pacaran adalah ikatan yang salah, tak memiliki faedah bagi putra putri mereka.
Sebagian dari para kaum remaja dan pemuda menganggap bahwa selama dalam proses berpacaran mereka tidak melakukan hubungan intim, maka tidak masalah, padahal Allah juga melarang kita untuk melakukan perbuatan yang berpotensi untuk mendekatkan diri kepada perbuatan zina tersebut, sebagaimana Allah firmankan dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 32 yang berbunyi :
وَلَا تَقْرَبُوْا ٱلزِّنَىٰٓ اِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَآءَ سَبِيْلًا
Artinya : “Dan janganlah kamu dekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.”
Di sisi lain para kaum remaja mulai tenggelam dalam buaian manis pacaran yang bersifat fana, dan yang lainnya mulai sadar akan marabahaya di dalamnya. Para Da’i sering memberikan penjelasan tentang bahayanya pacaran, namun alih-alih sadar mereka malah membuat trend baru, yaitu pacaran dibalut dengan nama agama yaitu “pacaran islami” di mana mereka berpacaran dengan mencampurkan pacaran dengan kebaikan dan kebenaran, ada yang saling mengingatkan sholat, ada yang saling mengajak tadarusan bersama dan ada pula yang saling bertukar senandung sholawat, dengan alasan “dengan berpacaran bisa meningkatkan semangat dalam peribadahan” padahal sudah jelas Allah firmankan dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 42:
وَلَا تَلْبِسُوْا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوْا الْحَقَّ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Artinya : “Dan janganlah kamu mencampuradukkan kebenaran dengan kebathilan, sedangkan kamu mengetahuinya.”
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah melarang kita untuk mencampurkan urusan yang haq (kebenaran) dengan urusan yang bathil (keburukan). Sedangkan mengingatkan sholat, mengajak tadarus Al-Qur’an, mengajak sholawat dan perbuatan semisalnya merupakan sesuatu yang haq, di sisi lain ikatan pacaran yang dilakukan tanpa didahuli ikatan pernikahan merupakan perbuatan bathil, maka tidak bisa keduanya saling dipadukan.
Dari dalil tersebut dapat kita pahami bahwa istilah pacaran islami sendiri tidak dapat dibenarkan dalam Islam, namun jika kita mengambil konteks utama dari berpacaran adalah saling kasih sayang, tentu diperbolehkan setelah melalui akad pernikahan. Pada dasarnya setiap manusia pasti memiliki rasa kasih sayang terhadap pasangannya, sebagaimana telah Allah terangkan dalam firmannya Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi:
وَمِنْ آيَاتِهِ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَّرَحْمَةً اِنَّ فِي ذلِكَ لَآيِاتٍ لِقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.”
Sebagaimana ayat di atas bahwa di antara tujuan diciptakannya pasangan adalah pertama, مَوَدَّةٌ yang dapat kita artikan sebagai cinta, kasih sayang dan kedua, رَحْمَةٌ dapat kita artikan rahmat, kasih sayang, belas kasih, maka selain cinta di antara pasangan perlu pula tercapainya kasih sayang. Sedangkan pacaran pada umumnya dilakukan oleh para kaum remaja dan pemuda dikarenakan syahwat yang sedang memuncak, maka cara untuk meredam syahwat yaitu dengan menikah jika telah mampu, baik dari aspek materi maupun rohani, namun jika belum didapati adanya kemampuan untuk menikah, maka dengan berpuasa sebagaimana telah Rasulullah ﷺ jelaskan dalam sabda-Nya di dalam sebuah hadits yang berbunyi:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسَوُلُ اللهِ ﷺ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ, مَنِ السْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ, وَاَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ, فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya : “Abdullah bin Mas’ud r.a menuturkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda “Wahai para pemuda barangsiapa di antara kalian yang telah mampu menikah, hendaknya ia menikah karena dengan pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, barangsiapa yang tidak mampu, maka hendakmya ia berpuasa, karena hal itu bisa meredam syahwat.”
Dari landasan-landasan diatas maka jelas bahwa istilah pacaran islami tidak dibenarkan dalam Islam, namun jika kita mengaplikasikan konteks utama dari berpacaran yaitu saling berkasih sayang, maka diperbolehkan setelah terjalinnya akad pernikahan.
Bilal Al Baihaqi, Thalabah Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta