Oleh: Suko Wahyudi
Dalam khazanah filasafat, epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji sumber ilmu pengetahuan dan cara memperoleh ilmu pengetahuan. Istilah epistemology berasal dari bahasa Yunani: episteme, yang berarti pengetahuan. Logy berarti theory, dengan demikian epistemologi diartikan teori pengetahuan.
Epistemologi mengkaji teori dan metode atau landasan pengetahuan, asas-asas, kelemahan dan keterbatasan pengetahuan manusia. Dari pendekatan epistemologi akan melahirkan pandangan serba pengalaman dan kritik asal-usul pengetahuan, dan bila membahas hakikat pengetahuan akan melahirkan serba cita dan nyata, dan metode pembentukan pengetahuan dijawab oleh logika, dialektika dan ijtihad.
Dalam dunia epistemologi sampai saat ini masih terjadi polemik di antara para filosof tentang cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan. Dari polemik yang berkepanjangan hingga saat ini lahirlah madzab-madzab epistemologi seperti empirisme, rasionalisme, dan intuisisme.
Empirisme berasal dari bahasa Yunani yang artinya pengalaman. Menurut madzab ini, manusia memperoleh pengetahuan melalui indranya. Manusia pada awal kelahirannya tidak memiliki pengetahuan apapun, kemudian seiring pertumbuhannya pengalamannyalah yang mengajarkan pengetahuan. Namun, fungsi dan peran indra sebagai sarana untuk memperoleh ilmu pengetahuan sangatlah terbatas sehingga memiliki banyak kelemahan. Oleh karena itu, kebenaran pengetahuan yang dihasilkan berdasarkan empirisme sangat relatif dan tidak bisa diterima oleh para filosof madzab rasionalisme.
Kemudian sebagai akibat dari penolakan terhadap empirisme lahirlah madzab rasionalisme yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar hanya dapat diperoleh melalui media akal. Meskipun demikian, bukan berarti rasionalisme adanya peran indra dalam proses menemukan ilmu penegtahuan. Pengalaman indra diperlukan untuk merangsang akal agar dapat bekerja secara aktif. Gabungan antara kedua madzab ini, empirisme dan rasionalisme telah melahirkan metode sains dan pengetahuan ilmiah.
Berbeda dengan dua madzab tersebut intuisisme memandang bahwa indra dan akal sangat terbatas perannya dalam proses menemukan pengetahuan, sebab realitas yang ditangkap, baik oleh indra maupun akal bisa berubah-ubah sehingga pengetahuan yang dihasilkannya pun tidak pasti. Indra dan akal hanya dapat memahami suatu obyek bila mengonsentrasikan dirinya pada sebuah obyek, namun indra dan akal tidak dapat mengetahuinya secara menyeluruh. Adanya ketebatasan inilah yang mendorong para filosof untuk menemukan kemampuan tingkat tinggi yang melebihi kemampuan indra dan akal yaitu intuisi. Dengan intuisi, manusia dapat memahami kebenaran secara utuh dan menyeluruh tanpa melalui pemikiran yang panjang.
Urgensi Ilmu dalam Islam
Epistemologi membahas tentang sumber ilmu dan cara manusia memperoleh ilmu. Sementara itu ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Terlebih lagi dalam Islam, ilmu merupakan pondasi utama dalam seluruh rangkaian ajarannya. Tidak ada satupun ajaran Islam yang tidak didasari oleh ilmu. Kaum muslimin diwajibkan beriman dan beramal dengan ilmu.
Karena begitu pentingnya ilmu ini maka agama Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan. Rasulullah SaW bersabda,
Barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Sesunnguhnya malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang ia lakukan. Sesungguhnya seorang penuntut ilmu itu akan dimintakan ampunan oleh semua makhluk yang ada di langit dan bumi, sampai ikan-ikan yang ada dalam air sekalipun. Dan sesungguhnya keutamaan orang berilmu atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para nabi. Karena sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, melainkan ilmu. maka siapa yang mengambilnya, sungguh ia telah mengambil bagian yang banyak. (HR. Ibnu Majah hadits no. 223)
Bahkan bila merujuk kepada wahyu Al-Quran hal yang pertama kali diajarkan kepada Nabi Adam sebagai manusia pertama adalah ilmu pengetahuan.
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: ”Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!“ (Al-Baqarah [2]: 31)
Demikian juga wahyu yang diterima oleh Rasulullah Muhammad SaW untuk pertama kalinya adalah perintah membaca dan menulis yang disimbolkan dengan iqro` dan qalam.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Al-Alaq [96]: 1-5)
Ayat ini Allah SwT menegaskan bahwasannya ilmu itu bersumber dari-Nya. Dialah yang telah mengajarkan kepada manusia apa yang semula tidak diketahuinya. Hal ini berarti bahwa setiap yang berasal dari Allah SwT apakah itu tertuang dalam Al-Quran maupun Sunnah, adalah ilmu yang bermanfaat bagi manusia. Ibnu Katsir ketika mengomentari ayat ini beliau mengatakan:
“Dalam ayat-ayat ini terdapat peringatan bahwasannya manusia diciptakan dari segumpal darah. Dan di antara bentuk anugerah Allah Ta`ala adalah mengajarkan manusia apa yang semula tidak diketahuinya. Maka kemuliaan dan keagungan manusia terletak pada ilmu. Dan, inilah kemampuan yang membuat bapak manusia, Adam lebih istimewa daripada malaikat. ”
Pentingya ilmu dalam Islam ini dapat terlihat juga dari kedudukan orang-orang yang mencari, memiliki, mengajarkan dan mengamalkan ilmu. Al-Quran menegaskan bahwa orang yang memiliki ilmu pengetahuan berbeda sekali dengan orang yang tidak memiliki pengetahuan. Dan di sisi Allah SwT mereka memiliki derajat yang sangat terhormat.
Katakanlah: “ Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? ” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Az-Zumar [39]: 9)
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “ Berlapang-lapanglah dalam majlis, ” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberikan kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mujadilah [58]: 11)
Ilmu adalah pilar segala kebaikan. Semua kebaikan dan keberkahan berawal dari ilmu, dan sebaliknya keburukan juga diawali dari ketiadaan ilmu. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad SaW:
“Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan kepadanya maka ia akan dipahamkan dalam ilmu agama. ” (HR. Muslim)
Karena kedudukannya yang sangat mulia ilmu dalam Islam juga memiliki tujuan yang mulia. Dalam Islam, tujuan utama dari ilmu adalah mengenal Allah SwT untuk kebaikan di dunia dan akhirat. Al-Quran menyejajarkan kedudukan orang-orang berilmu dengan para malaikat karena dengan ilmunya mereka mampu memahami bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.
Allah menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Ali-Imran [3]:18)
Sumber-Sumber Ilmu Pengetahuan
Terlepas dari polemik yang terjadi di antara filosof tentang sumber-sumber ilmu pengetahuan, epistemologi Islam menjadikan Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SaW sebagai sumber ilmu yang primer. Karena itu sumber ilmu dalam epistemologi Islam ditekankan kepada dua hal, pertama, kalam Allah berupa Al-Quran dan, kedua, hadits Nabi Muhammad SaW. Meskipun demikian, epistemologi Islam yang bersumber pada Al-Quran dan hadits juga mengafirmasi sumber ilmu lainnya yaitu akal (aql) dan hati (qalb) serta indra-indra yang terdapat dalam diri manusia.
Al-Quran dan Hadits
Keduanya merupakan sumber pertama ilmu pengetahuan dan sebuah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Al-Quran adalah wahyu Allah SwT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SaW melalui perantara Malaikat Jibril dan membacanya merupakan ibadah. Al-Quran sebagai sumber ilmu, dijelaskan melalui ayat-ayat yang menyatakan bahwa Al-Quran merupakan petunjuk bagi manusia dan alam semesta (Al-Furqon [25]: 1) (Al-Baqarah [2]: 185). Selain itu di dalam ayat lainnya Allah SwT menegaskan bahwa Dialah yang mengajarkan kepada manusia manusia apa-apa yang tidak diketahuinya. Sehinnga seluruh ilmu di dunia ini berasal dari Allah SwT yang kekuasaan-Nya meliputi langit dan bumi.
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar? ” (Al-Baqarah [2]: 31)
Kami berfirman: “Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (Al-Baqarah [2]: 39)
Adapun Hadits ia adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SaW, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Hadits dalam kaitannya dengan Al-Quran merupakan penjelas bagi ayat-ayat Al-Quran. Al-Quran telah menyeru manusia untuk menjadikan Rasul SaW sebagai suri tauladan dalam seluruh aspek kehidupan.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Al-Ahzab [33]: 21)
Nabi Muhammad SaW merupakan teladan yang baik kapanpun dan dimanapun. Selain memiliki keteladan yang baik Nabi Muhammad SaW di sisi lain adalah sumber ilmu pengetahuan dimana beliau mengajarkan Al-Kitab dan Hikmah kepada umat manusia. Hal ini sebagaimana ditegaskan Allah SwT melalui firman-Nya:
Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Al-Baqarah [2]: 151)
Akal (Aql) dan Kalbu (Qalb)
Sumber ilmu selain wahyu dalam epistemologi Islam adalah akal (aql) dan kalbu (qalb). Aql dan qalb merupakan satu kesatuan yang berfungsi sebagai alat untuk memahami kebenaran. Aql adalah potensi ruhaniah yang dapat membedakan mana hak dan mana yang batil, mana yang benar dan mana yang salah. Dalam pandangan Islam aql bukanlah otak, tetapi merupakan daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia, yang membedakan antara manusia dengan binatang yang dengannya pula manusia siap menerima berbagai macam ilmu pengetahuan.
Sedangkan qalb merupakan suatu anugerah Allah SwT yang diberikan kepada manusia yang mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat penting dan utama, sebab qalb berfungsi sebagai penggerak dan pengontrol anggota tubuh lainnya.
Peran qalb sangat penting sekali dalam mengawal potensi yang ada dalam diri manusia. Termasuk potensi untuk mengarahkan manusia ke arah kebaikan. Dalam pandangan Al-Ghazali bahwa manusia dengan nalar qalb-nya pada dasarnya dapat membenarkan wahyu Allah SwT meski daya rasionalnya menolak. Dengan demikian, adanya potensi qalb sangat dimungkinkan memiliki fungsi menuntun seseorang ke arah kesalihan tingkah laku lahiriah sesuai yang digariskan wahyu yang bersifat transendental. Menurut Al-Ghazali, aql dan qalb merupakan entitas yang sama dan berkedudukan di hati. Qalb diibaratkan sebagai istananya dan aql sebagai rajanya.
Dari pandangan Al-Ghazali tersebut maka bisa difahami bahwa antara aql dan qalb tidak terdapat pertentangan, bahkan saling melengkapi. Aql digunakan untuk melihat sisi luar pada dimensi fisik melalui analisis dan pengujian fakta-fakta. Sementara qalb untuk melihat sisi pada dimensi yang terdalam dan sifatnya spiritual. Mekanisme kesatuan antara keduanya dapat dilihat lebih jauh dalam keterangan Al-Quran yang menggambarkan kesatuan pikir (aqal) dan dzikir (qalb).
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. ” (Ali-Imran [3]: 190-191)
Indra
Indra merupakan bagian tubuh manusia yang berfungsi menerima rangsangan dan respon dari luar. Dengan indra yang dimilikinya manusia memperoleh pengetahuan seperti adanya gelap-terang, panas-dingin, manis-pahit, dan segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra.
Indra sebgaimana dikatakan Al-Ghazali merupakan sarana penangkap pertama yang muncul dari dalam diri manusia. Manusia terlahir ke dunia dalam kondisi tidak mengetahui apapun. Tidak lama kemudian indranya mulai berfungsi, dimana ia dapat merasa atas apa yang terjadi padanya dari pengaruh-pengaruh eksternal yang baru dan mengandung perasaan-persaan yang berbeda sifatnya. Itulah dasar yang membentuk persepsi dan pengetahuannya terhadap dunia dunia luar.
Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati supaya kalian bersyukur (An-Nahl [16]: 78)
Kemudian Dia menyempurnakan serta meniupkan ke dalamnya roh-Nya, dan Dia menjadikan bagi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati. Sedikit sekali yang kalian syukuri. (As-Sajdah [32]: 9)
Pengetahuan indrawi adalah jenis pengetahuan yang didasarkan atas indra atau pengalaman manusia setiap hari. Pengetahuan indrawi menyatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan perantara indra, sedangkan pengetahuan rasional menyatakan bahwa pengetahuan diperoleh melalui akal. Meskipun demikian antara indra dan akal tidak dapat dipisahkan. Al-Quran mengajak manusia untuk menggunakan indra dan akal sekaligus.
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Al-A`raf [7]: 179)
Walaupun indra memiliki keterbatasan dalam memperoleh pengetahuan, namun kedudukannya sebagai sumber untuk memperoleh pengetahuan tetap diakui dan tidak bertentangan dengan Al-Quran.
Uraian tersebut, merupakan epistemologi ilmu pengetahuan atau langkah dan cara memperoleh ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam. Epistemologi ilmu dalam perspektif Islam ini bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya diperoleh melalui realitas fisik tapi juga melalui hal-hal yang metafisik seperti Al-Quran dan Hadits Nabi SaW. Sumber-sumber epistemologi Islam tersebut terdiri dari: (1) Al-Quran dan hadits, (2) akal (aql) dan kalbu (qalb), dan (3) indra. Dalam struktur epistemologi Islam, wahyu Allah SwT yang termaktub dalam Al-Quran dan hadits merupakan sumber ilmu tertinggi sehingga nilai keilmiahannya tidak boleh diceraikan dari sains atau ilmu pengetahuan. Wallahu A`lam
Penulis: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta