Shalat untuk Menjemput Rahmat (20)

Shalat untuk Menjemput Rahmat (20)

Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Nifʻan Nazudi

Banyak sekali keutamaan shalat berjamaah yang telah kita ketahui. Sungguh sangat rugi jika sudah mengetahui, tetapi kita tidak mengamalkannya. Perlu kita pahami bahwa shalat berjamaah merupakan salah satu cara memakmurkan masjid.  Di dalam al-Qurʻan surat at-Taubah (9): 18,  Allah Subḥānahu wa Taʻāla berfirman,

اِنَّمَا يَعْمُرُ مَسٰجِدَ اللّٰهِ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ وَلَمْ يَخْشَ اِلَّا اللّٰهَ ۗفَعَسٰٓى اُولٰۤىِٕكَ اَنْ يَّكُوْنُوْا مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ

Sesungguhnya, yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta (tetap) melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada apa pun), kecuali kepada Allah, maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Berdasarkan ayat tersebut, kita pahami bahwa memakmurkan masjid merupakan salah satu amalan yang menjadi penanda bahwa kita orang beriman pada Allah Subḥānahu wa Taʻāla dan hari akhir. Jadi, jika tidak memakmurkan masjid, berarti kita tidak termasuk orang-orang yang beriman kepada Allah Subḥānahu wa Taʻāla dan hari akhir secara utuh. Sementara itu, di dalam  HR at-Tirmizi dijelaskan, yang artinya

Dari Ibnu Abbas raḍiyallāhu ‘anhu, Sesungguhnya beliau telah ditanya tentang seseorang yang berpuasa pada siang hari; berdiri (shalat) pada malam hari, tetapi ia tidak mendirikan shalat berjamaah, dan tidak menyertai shalat Jumat, Ibnu Abbas menjawab, Ia berada di dalam neraka.”  

Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (20) ini diuraikan beberapa hal lagi tentang shalat berjamaah.

Penanda Masuk Waktu Shalat dan Seruan untuk Shalat 

Allah Subḥānahu wa Taʻāla berfirman di dalam al-Qurʻan surat an-Nisa’  (3): 103,

فَاِذَا قَضَيۡتُمُ الصَّلٰوةَ فَاذۡكُرُوا اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوۡدًا وَّعَلٰى جُنُوۡبِكُمۡ ۚؕ فَاِذَا اطۡمَاۡنَنۡتُمۡ فَاَقِيۡمُوا الصَّلٰوةَ‌ ۚ اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتۡ عَلَى الۡمُؤۡمِنِيۡنَ كِتٰبًا مَّوۡقُوۡتًا

Apabila kamu telah selesai shalat, maka ingatlah kepada Allah sewaktu berdiri, duduk dan berbaring. Kemudian, kalau sudah aman tenteram, maka kerjakanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya, shalat itu diwajibkan kepada orang-orang mukmin dengan tertentu waktunya.”

Pada zaman modern yang makin canggih, kita dengan mudah mengetahui masuknya waktu shalat. Kita dapat mengetahuinya dengan melihat atau mendengar alarm pada gawai atau jam. Sudah tentu pengaruh bunyi alarm tersebut tidak sampai menyentuh atau menggetarkan jiwa. Berbeda halnya suara azan. Bagi orang nonmuslim pun suara itu dapat menggetarkan jiwanya. Bahkan, orang nonmuslim yang pada mulanya merasa terganggu dengan suara itu, atas hidayah Allah Subḥānahu wa Taʻāla, tergetar jiwanya dan akhirnya dia masuk Islam.

Di dalam HR al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’ī, Ahmad Ibn Hanbal dan ad-Darimī dari Malik Ibn Huwairis dijelaskan, yang artinya, “Nabi Shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda, Apabila tiba waktu shalat, hendaklah berazanlah seseorang di antara kamu, kemudian hendaklah yang tertua di antara kamu menjadi imam.”

Fungsi azan tidak hanya menyeru umat Islam agar melaksanakan shalat berjamaah, tetapi juga mensyiarkan Islam. Oleh karena itu, sangat ideal jika muazin bersuara bagus dan dapat mengumandangkan azan dengan lagu yang bagus pula.

Banyak keutamaan azan. Azan dapat mengusir syetan. Hal itu dijelaskan di dalam hadis Muttafaq ‘Alaih, yang artinya, “Apabila azan shalat dikumandangkan, setan lari menjauh sambil mengeluarkan kentut hingga dia tidak mendengar azan. Jika azan selesai, dia datang kembali. Apabila ikamat shalat dikumandangkan, dia lari lagi. Apabila ikamat selesai, dia datang lagi hingga dia membisikkan sesuatu pada diri seseorang. Ia berkata, Ingatlah ini dan ingatlah itu―yaitu sesuatu yang tidak diingat sebelumnya―hingga orang itu tidak mengetahui sudah berapa rakaat dia shalat.”

Azan juga mempunyai keutamaan bagi yang muazin dan bagi yang mendengarnya.

 Bagi Muazin

Muazin disaksikan oleh jin, manusia, dan segala sesuatu yang mendengar azannya pada hari kiamat. Hal itu dijelaskan di dalam HR al-Bukhari dijelaskan, yang artinya, “Sesungguhnya, aku melihatmu menyukai kambing dan daerah pedalaman, maka apabila kamu sedang menggembalakan kambingmu―atau berada di daerah pedalamanmu―kemudian kamu azan untuk shalat, maka keraskanlah suara azanmu karena tidak ada jin, manusia,dan segala sesuatu yang mendengar suara orang yang mengumandangkan azan, melainkan ia bersaksi untuknya pada hari kiamat.”

 Di dalam HR Ahmad, keutamaan azan dijelaskan juga, yang artinya, “Diampuni bagi muazin pada akhir azannya. Dan setiap yang basah atau pun yang kering yang  mendengar azannya memintakan ampun untuknya.”

Sementara itu, di dalam HR Abū Dawud dijelaskan bahwa Nabi Shallallāhu ‘alaihi wasallam mendoakan para imam dan para muazin, yang artinya, “Ya, Allah! Berikan kelurusan bagi para imam dan ampunilah para muazin.”

Di dalam HR Ibnu Hibban, ‘Aisyah menjelaskan bahwa Rasūlullāh shallallāhu ʻalaihi wasallam mendoakan mereka dengan doa tersebut juga. Masya-Allah! Mulia sekali imam dan muazin. Mereka didoakan oleh Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam!

Bagi Orang yang Mendengarnya

Rasūlullāh shallallāhu ʻalaihi wasallam memberikan tuntunan bagi orang yang mendengar azan. Hal itu dijelaskan di dalam HR Muslim, yang artinya, “Apabila kalian mendengar azan, ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh muazin. Kemudian, bershalawatlah kepadaku karena sesungguhnya barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, Allah membalasnya sepuluh kali. Kemudian, mintakanlah kepada Allah washilah untukku. Sesungguhnya, dia adalah satu kedudukan di surga yang tidak patut, melainkan untuk seorang hamba dari hamba-hamba Allah dan aku berharap akulah orangnya, dan barangsiapa meminta washilah untukku, dia mendapat syafaatku.”

Perintah Rasūlullāh shallallāhu ʻalaihi wasallam kepada orang yang mendengar azan agar menirukan yang diucapkan oleh muazin terdapat pula di dalam HR Muslim, yang artinya, “Dari ‘Umar Ibn Khattab, bahwa Rasūlullāh shallallāhu ʻalaihi wasallam bersabda, Apabila muazin mengucapkan, Allāhu akbar, Allāhu akbar, lalu salah seorang dari kamu mengucapkan, Allāhu akbar, Allāhu akbar. Kemudian, muazin mengucapkan, Asyhadu allā ilāha illallāh, ia mengucapkan, Asyhadu allā ilāha illallāh. Kemudian, muazin mengucapkan, Asyhadu anna Muḥammadar rasūlullāh, ia mengucapkan, Asyhadu anna Muḥammadar rasūlullāh. Muazin mengucapkan, Ḥayya ‘alaṣ-ṣalah, ia mengcapkan, la ḥaula wa la quwwata illā billāh.  Lalu, muazin mengucapkan, Ḥayya ‘alal falāḥ, ia mengucapkan, la ḥaula wa la quwwata illā billāh. Lalu, muazin mengucapkan, Allāhu akbar, Allāhu akbar, ia mengucapkan. Allāhu akbar, Allāhu akbar. Muazin mengucapkan, ilāha illallāh, ia mengucapkan, ilāha illallāh, yang semuanya itu timbul dari keikhlasan hatinya, maka ia masuk surga.”

Jadi, orang yang mendengar azan dan menirukannya sesuai dengan tuntunan Rasūlullāh shallallāhu ʻalaihi wasallam memperoleh jaminan masuk surga. Masya-Allah. Ada pelajaran sangat penting yang harus kita petik. Ketika menirukan muazin, kita harus ikhlas melakukannya. Jika menirukan muazin, sambil mengerjakan sesuatu misalnya ngobrol, menulis atau membaca WA atau sms, menonton televisi atau YouTube dapatkah kita menirukan muazin dengan sebaik-baiknya.

Menurut Yunahar Ilyas di dalam buku Kuliah Akhlaq (hlm. 31), beramal dengan sebaik-baiknya merupakan salah satu faktor yang menandai keikhlasan. Jadi, semestinya kita berhenti dari aktivitas tersebut ketika azan berkumandang karena kita harus menirukannya dengan sebaik-baiknya.

Berbeda halnya dengan aktivitas dokter yang sedang melakukan operasi, tentara yang sedang harus menembak musuh, polisi yang sedang harus mengejar penjahat apalagi sedang tembak-menembak dengan penjahat, atau petugas pemadam kebakaran yang sedang berusaha memadamkan api, atau aktivitas lain yang bersifat darurat.

Shalat pada Awal Waktu

Ada tuntunan agar shalat dikerjakan pada awal waktu karena shalat pada awal waktu merupakan salah satu amalan yang paling dicintai oleh Subḥānahu wa Taʻāla. Hal itu dijelaskan di dalam HR al-Bukhari dan Muslim, yang artinya, “Dari Abū Amr asy-Syaibani, yang namanya Saʻid bin Iyas, dia berkata, Aku diberi tahu pemilik rumah ini, lalu dia memberi isyarat dengan tangannya ke rumah Abdullāh bin Masʻud, dia berkata, Aku pernah bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam, Apakah amal yang paling dicintai oleh Allah azza wa Jalla? Beliau menjawab, Shalat pada awal waktu. Aku bertanya, “Kemudian, apa lagi?  Beliau menjawab, Berbakti kepada kedua orang tua? Kemudian, aku bertanya lagi. Lalu, apa lagi?  Beliau menjawab, Jihad di jalan Allah.”

Dari uraian tersebut kita ketahui bahwa azan menjadi satu rangkaian amalan dengan shalat berjamaah di masjid atau musala.  Agar dapat shalat berjamaah di masjid atau musala pada awal waktu, kita harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya sebelum azan berkumandang. Tempat shalat tersebut sudah ada di kampung-kampung. Bahkan, di kampus, perusahaan, atau kantor telah ada masjid atau musala.

Oleh karena itu, sangat bagus jika di kampus, perusahaan, atau kantor yang dikelola oleh organisasi Islam atau milik muslim ada peraturan yang mengondisikan terlaksananya shalat berjamaah pada awal waktu tanpa menimbulkan masalah. Lebih bagus lagi, jika pimpinan kampus, kantor atau perusahaan yang menjadi imamnya. Jika hal ini terlaksana, pintu rahmat lebar terbuka.

Masih cukup banyak muslim (terutama di kampung-kampung) yang waktu shalatnya disesuaikan dengan waktu kerjanya. Jika waktu kerjanya berakhir pukul 12.00, azan dikumandangkan pukul 12.00. Shalat berjamaah zuhur baru dimulai pukul 13.00 karena menunggu berkumpulnya jamaah, padahal waktu zuhur yang betul misalnya pukul 11.30. Jika waktu kerjanya berakhir pukul 16.00, azan dikumandangkan 16.00. Shalat asar berjamaah baru dimulai pukul 16.30 karena menunggu berkumpulnya jamaah, padahal waktu asar yang betul misalnya pukul 14.45.

Praktik menunda atau mengakhirkan kumandang azan seperti itu tidak sejalan dengan pengertian azan itu sendiri. Mayoritas ulama sepakat bahwa secara syariat, azan adalah pemberitahuan masuknya  waktu shalat dengan menyebutkan lafal-lafal yang khusus. Mungkinkah hal itu terjadi karena mereka tidak berilmu sehinngga hanya mewarisi kebiasaan nenek moyangnya.

Allahu aʻlam.

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah, tinggal di Magelang Kota dan Nif’an Nazudi, dosen al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Universitas Muhammadiyah Purworejo.

 

 

Exit mobile version