Oleh: Dani Yanuar Eka Putra, S.E, A.kt, M.A.
(Wakil Ketua PDM Depok Bidang Tarjih, Kaderisasi, dan SDI)
Tauhid Murni
Tauhid adalah ekspresi ghoib yang terletak di dalam hati sebagai bukti meyakini bahwa Allah Swt adalah Tuhan yang Esa. Ketauhidan merupakan pondasi atau dasar manusia yang mengantarkan pada terbebas dari belenggu kerendahan kepercayaannya. Jika ada manusia yang meyakini dirinya menghamba kepada selain Dia, maka keyakinannya adalah merendahkan akalnya sebagai identitas makhluk paling sempurna. Kebenaran mutlak tentang siapa Tuhan adalah ketika manusia menyakini bahwa Tuhan adalah Dzat yang tidak mungkin bisa dipersamakan dengan apapun. Dia-lah yang awal tanpa permulaan dan akhir tanpa penghabisan (QS. Al-Hadid (57): 3), Yang Esa dengan sifat-sifat-Nya, nama-nama-Nya, dan perbuatan-Nya (QS. Al-Ikhlas (112): 1-4). Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an dengan tidak ada satupun yang semisal atau serupa dengan diri-Nya (QS. Asy-Syua’ara (42): 11).
Ajaran agama yang lurus mengajarkan untuk bertuhan kepada yang satu. Tidak ada padanan dengan-Nya, tidak diperkenan perwujudan-Nya diwujudkan dengan berbagai yang nampak di bumi, apalagi dibuatkan dalam bentuk patung yang kemudian disembah. Sangatlah rendah jika manusia yang disebut mulia lalu rela merendahkan diri terhadap apa yang mereka buat sendiri, menjadikan makhluk lain sebagai sesembahan, atau bahkan menganggap apa saja dapat menghadirkan maslahat dan mudharat selain Dia. Mereka yang demikian menjadi wajar disebut Jahil (bodoh) karena apa yang telah mereka yakini dan perbuat tersebut. Perilaku-perilaku tersebut mengotori kesucian Tauhid.
Tauhid yg murni juga harus diwujudkan dengan membebaskan manusia dari berbagai belenggu penjajahan dan penindasan oleh sesama. Mengapa demikian, karena manusia terlahir bebas dan memiliki hak melekat mutlak pada dirinya yang tidak boleh direnggut oleh manusia lainnya. Tidak hanya manusia sebenarnya, makhluk lain yang hidup mendampingi kita memiliki hak pula yang harus dijaga selain sebagai fasilitas yang telah diberikan oleh-Nya kepada kita. Menjaga hak-hak tersebut adalah upaya untuk menjalankan fungsi Kekhalifahan yang berlandaskan Tauhd kepada-Nya. Oleh karena itu, siapapun dia, manusia harus saling menjaga antara satu dengan lainnya sebagai makhluk terbaik dengan menjalankan kewajiban. Saling menjaga pastinya akan mengantarkan pada terjaganya kita semua.
Oleh karena itu, Tauhid adalah kyakinan yang lahir melalui hati, dikuatkan dengan ikrar lisan, diwujudkan dalam bentuk amal perbuatan yang membebaskan. Ketiganya tidak dapat dipisahkan. Tauhid jangan sampai hebat sebagai konsep namun miskin implementasi, atau kaya amal tapi rapuh dalam pondasi. Tauhid haruslah menancap kokoh dalam hati, berani untuk disampaikan, dan dibumikan agar bisa dirasakan oleh seluruh semesta. Kemakmuran bumi dengan keadilan terhadap manusia, hewan, tumbuhan, dan seluruh makhluk adalah iktiar mewujudkannya. Dalam konteks Indonesia, Tauhid telah diletakkan oleh para pendiri bangsa sebagai pondasi konstitusi bagi setiap generasi untuk kemajuan bangsa dan negara.
Pentauhidan Konstitusi
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” menjadi pilihan diksi-diksi yang tersusun menjadi kalimat pembukaan UUD 1945 oleh para pendiri bangsa. Pilihan tersebut ingin menegaskan bahwa Indonesia adalah bangsa dan negara yang bertuhan. Bahkan sebelum Indonesia terbentuk sekalipun, bangsa ini sudah meyakini adanya tuhan. Ketuhanan diyakini sejak dahulu sebagai keyakinan bahwa ada Dzat luar biasa yang dapat menghadirkan kemaslahatan atau kemudharatan. Maka ketika bangsa ini merdeka, ketuhanan adalah pilihan mutlak yang diyakini menjadi penghadir kemerdekaan. Inilah landasan filosofis setiap anak bangsa untuk berjuang membebaskan dan mengisi kemerdekaan. Kemerdekaan yang diyakini sejak awal sebagai anugerah Allah Swt melalui proses perjuangan panjang.
Ketuhanan yang Maha Esa sebagai sila pertama dalam Pancasila merupakan perasan dari UUD 1945 yang bagi kaum muslimin bermakna monoteisme (Tauhid). Pentauhidan bagi umat Islam Indonesia adalah ikhtiar untuk menjadi negeri berkemanusiaan, berkesatuan, cinta musyawarah penuh hikmah, dan berkeadilan untuk semua. Negeri ini harusnya memang dibangun berdasarkan nilai-nilai tersebut dengan penuh ketulusan dan penghargaan tinggi terhadap sesama anak bangsa. Nilai dasar dalam konstitusi ini haruslah dipegang dengan penuh kesungguhan oleh semua.
Konstitusi bernafas transedental ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sejak awal mengakui memiliki kelemahan sejak dicipta. Namun memiliki kekuatan jika didampingi dan meyakini adanya Robbun (Maha Memelihara dan Menyelesaikan Masalah) yang Maha Memberikan Kemerdekaan. Bangsa Indonesia meyakini dengan sepenuh hati, terutama bagi yang beragama Islam bahwa manusia menjadi manusia sesungguhnya, bangsa menjadi bangsa sesungguhnya jika dirinya mengikuti segala ketentuan dari-Nya sebagai konsekuensi dari Iman hanya kepada-Nya.
Para pelahir Philosophische Grondslag seluruhnya adalah kaum beragama dengan Islam sebagai mayoritas. Mereka semua adalah para tokoh berilmu sekaligus beriman yang penuh kesadaran memikirkan dengan sungguh-sungguh sekaligus berharap kepada yang Maha Melampaui untuk cerahnya masa depan bangsa. Fikiran-fikiran mereka yang mendalam menjadi bagian dari keseharian hidup mereka. Kehidupan mereka menjadi tauladan yang tak pernah berselisih antara kata dan tindakan demi cita-cita masa depan bangsa dan negara yang cerah sekaligus mencerahkan.
Cermin Usia 78
Usia 78 tahun bagi manusia adalah waktu senja. Namun jika usia negara, 78 tahun dirasa cukup belia jika diperbandingkan dengan Amerika atau China. Tapi tidak berlaku jika perbandingannya adalah kepada negara pecahan Skandinavia, Korea Selatan, dan Singapura. Usia kemerdekaan mereka tidak terlalu jauh jika dibandingkan dengan Indonesia. Namun untuk kemajuannya, mereka telah jauh berlari di saat kita masih berjalan atau bahkan melangkahpun begitu banyak duri dan bahaya yang dapat membuat telapak kaki terluka. Sehingga untuk melangkahpun terkadang membutuhkan upaya menyembuhkannya terlebih dahulu. Penulis merasa bahwa bangsa ini memiliki penyakit komplikasi.
Penyakit utamanya adalah korupsi. Korupsi adalah penyakit yang merusak semua lini. Praktek korupsi sudah terjadi sejak masa awal kemerdekaan di antara tahun 50an atau 60an (Anhar Gonggong, 2023). Korupsi saat itu dilakukan oleh salah satu elit yang sangat dekat dengan kekuasaan. Namun dikarenakan kondisi politik kala itu, ditambah dengan patriarki berlebihan, koruptor tersebut tidak kunjung mendapatkan hukuman. Belum lagi ditambah dengan mentalitas feodalisme yang telah melekat akibat jajahan Kolonial yang lebih dari tiga abad. Perihal pelaku korupsi tersebut, penulis tak tega menuliskan nama pelakunya dan pelindungnya.
Dalam suatu forum diskusi Muhammadiyah, Dr. Busyro Muqoddas pernah menyampaikan bahwa praktek korupsi di orde lama dilakukan di bawah meja, masa orde baru di atas meja, dan masa orde reformasi mejanyalah yang dikorupsi. Hal tersebut bahwa sejak merdeka hingga saat ini, persoalan yang tak kunjung terselesaikan adalah korupsi. Meja yang dikorupsi penulis memahami bahwa saat ini produk-produk perundangan yang dilahirkan oleh parlemen dan pemerintah melahirkan peluang korupsi yang konstitusional. Korupsi didesain sejak awal sebelum dilakukannya. Bahkan proses pembentukannya pun bersifat koruptif dalam bentuk tak melibatkan para pakar dan mengesampingkan keresahan mayoritas anak bangsa. Mulai dari Undang-Undang Minerba, Revisi Undang-Undang KPK, serta Omnibus Law. Masalah korupsi menjadi akar masalah bangsa yang menimbulkan masalah-masalah lainnya.
Menjelang kemerdekaan ke-78, PPATK merilis laporan bahwa telah terjadi peningkatan permintaan uang tunai untuk pecahan 50 ribu dan 100 ribu. Uang tunai tersebut diindikasikan untuk membeli suara voters. Laporan PPATK adalah kesimpulan awal bahwa DP Korupsi sudah dimulai sebelum terjadinya proses baiat di tahun 2024 yang dalam norma skriptural sangat jelas terlarang. Masih terkait 2024, di kota tempat tinggal penulis, belum masuk masa kampanye, baliho, spanduk, banner, dan atribut kampanye sudah mulai terpampang. Bahkan ada yang masih menjabat merelakan pasangan hidupnya untuk terpampang wajahnya mencalonkan sebagai calon legislatif tingkat provinsi. Bukankah ini adalah tontonan yang buruk untuk kemajuan masa depan bangsa yang seharusnya dipimpin dan ditauladani dengan hikmah dan kebijaksanaan.
Sebagai bagian dari masalah, beberapa hari terakhir kita disuguhkan dengan fenomena tokoh publik berinisial RG yang mengungkapkan hal yang tak sesuai norma dan budaya bangsa ketika mengkritik presiden tentang IKN dan perilaku “cawe-cawe”. Publik jelas tak setuju dengan proses IKN yang serampangan dan cawe-cawe yang telah dilakukan. Namun tetap saja menurut penulis pilihan kata RG untuk mengkritik tak layak. Coba kita umpamakan jika apa yang dikatakannya lalu diikuti oleh mereka para usia SMP atau SMA yang tak setuju dengan kebijakan sekolah, lalu mengkritik kepala sekolah dengan pilihan kata “BJG dan TLL”, sungguh menyedihkan. Rasa-rasanya sehebat dan sekeras apapun perdebatan para tokoh pendiri bangsa, diksi yang digunakan tetaplah diksi bernilai dasar keadaban dan penghormatan tinggi kepada lawan. Layaknya juga ketika Tuhan memerintahkan Nabi Musa As untuk menggunakan perkataan yang “Layyinan” (lemah lembut) untuk mengkritik kepada manusia yang mengaku dirinya Tuhan (Ramses 2) (QS. Thaha (20): 44).
Selain soal korupsi dan hilangnya ketauladanan, generasi muda saat ini sedang terjangkit penyakit teologi dengan paham ateisme dan agnotisme. Jumlah ateis di Indonesia 3,5 juta orang. Jumlah kaum Ateis dan Agnostik terus mengalami pertambahan hingga tahun ini (Haedar Nashir, 2022). “Jika Tuhan Maha Pemurah, mengapa harus ada murkanya”, “jika Tuhan Maha Tahu, mengapa harus terus beribadah”, “jika Tuhan telah menciptakan dunia, mengapa harus ada kiamat”. Pertanyaan-pertanyaan ini hadir dilontarkan generasi muda yang seolah-olah membongkar pendidikan Islam yang saat ini tidak lagi cukup sebagai doktrin semata. Namun sudah harus dengan pendekatan ilmu-ilmu akal dalam bentuk filsafat atau ilmu mantiq.
Kondisi di atas memang mengkhawatirkan. Tetapi Dr. Zakir Naik ketika berdialog dengan kaum ateis masih memberikan apresiasi kepada yang benar-benar mencari Tuhan. Mengapa demikian, karena orang yang mengatakan Tuhan tidak ada dia telah sampai pada kalimat “la ilah”. Berikutnya menjadi tugas para kaum beriman mengantarkan hingga pada kalimat “illa Allah”. Tentu dengan meyakini mutlak bahwa kewenangan hidayah adalah hak prerogatif Allah Swt. Tugas orang beriman hanyalah menyampaikan tanpa ada paksaan. Jika ada yang memaksa maka dia telah melampaui kewenangan Allah Swt. Maka beragama dalam hal ini berTauhid dengan kesadaran yang tulus sangatlah penting. Karena pemaksaan dalam agama akan melahirkan dendam dan persoalan baru.
Demikianlah beberapa masalah yang diungkapkan dari sudut pandang penulis dari segudang masalah yang terakumulasi sejak masa kemerdekaan hingga menjelang usia ke-78 tahun. Berdasarkan hal tersebut, penulis merasa sepertinya kita menjauh dari nilai Tauhid yang menjadi landasan bergeraknya negara dan bangsa. Keyakinan yang dangkal, lisan yang diragukan, dan implementasi yang ugal-ugalan adalah wujud dari menista keyakinan kepada-Nya. Entah kapan negeri yang dianggap sebagai zamrud ini menggapai kemakmuran yang berkeadilan. Meski dilarang pesimis, tentu harapan tetap dimunajatkan semoga ke depan kemerdekaan negeri ini diisi oleh orang-orang yang memiliki Tauhid berdampak empati tinggi kepada semua. Aamiin