MADIUN, Suara Muhammadiyah – Bagi para difabel, keterbatasan fisik disatu sisi dapat memacu diri, bersemangat untuk tidak menyerah dengan kondisi yang ada. Hal itulah yang dilakukan oleh pasangan suami istri, Sulam dan Suparmi, warga Dusun Bulu, Desa Candirejo, Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun.
Sulam dan Suparmi sudah sejak tahun 2018 bekerja dengan memproduksi tusuk sate. Pembelinya memang paling banyak berada di wilayah Kota dan Kabupaten Madiun. Namun begitu, Sulam dan Suparmi kerap mendapat order dalam jumlah signifikan dari luar Madiun bahkan seperti dari Semarang (Jawa Tengah) dan Kalimantan.
Saat ini, pasutri yang punya 1 anak tersebut memperoleh order dari Semarang untuk membuat tusuk sate sebanyak 5 kuintal. “Ini menunggu acc pengiriman dari pihak Semarang (pembeli),” kata Sulam, Senin (14/8).
Setiap hari, Sulam dan Suparmi bisa menjual 10-40 kilogram (kg) tusuk sate dengan harga Rp 7000 tiap kg. “Produk tusuk sate yang saya buat paling banyak diambil pengepul Madiun. Ya untuk dibuat tusuk sempol dan lain-lain,” kata Sulam.
Volume produksi tusuk sate berdasar pesanan yang didapat dari pemesan tidak hanya kilogram namun juga sampai kuintal. Penghasilan paling banyak yang diperoleh Sulam dan Suparmi sebesar Rp1.500.000 dari penjualan tusuk sate sebanyak 2 kuintal. “Dalam 1 kuintal tusuk sate berisi 30 kg sampai 35 kg, dan dalam 1 kg tusuk sate berisi 600 sampai 700 tusuk sate,” ujar Sulam.
Sulam mengatakan, dalam memproduksi tusuk sate ini, ia dan istrinya menggunakan mesin Three in One yang bekerja memproduksi tusuk sate-tusuk sate dari bilah bambu berukuran panjang 30 cm. “Saya juga menggunakan mesin tersendiri untuk memperuncing tusuk sate tersebut,” kata Sulam.
Bahan baku yang dipakai untuk memproduksi tusuk sate ini adalah bambu ori yang didapat Sulam dengan memesan lebih dulu. “Dulu saya pernah mencari bahan baku tusuk sate itu sendiri. Karena sekarang tenaganya tidak memungkinkan, saya lebih memilih membeli bahan baku untuk menghemat tenaga,“ ujar Sulam.
Sulam mengaku jika tidak ada pekerjaan memproduksi tusuk sate ini, keadaan ekonomi keluarganya akan bermasalah. “Pekerjaan membuat tusuk sate ini sangat membantu ekonomi keluarga saya. Kalau tidak ada pekerjaan ini, ya mungkin kami agak kesusahan,” ujar Sulam.
Selain memproduksi tusuk sate, Sulam dan Suparmi juga mempunyai usaha penggilingan ubi garut menjadi tepung. “Dari tepung garut ini saya bikin jadi kerupuk garut dan jenang garut. Usaha ini sudah saya lakukan sejak tahun 2015,” ujar Sulam.
Produksi kerupuk garut yang dilakukan Sulam dipasarkan di sekitar Madiun dan diperjualbelikan dengan harga Rp32.000 per kilogram.
Berdayanya Sulam dan Suparmi ini, selain dari semangat dalam bekerja juga berkat pemberdayaan masyarakat yang dilakukan alumni Ummad, Nur Wasis dengan Ummad. Pemberdayaan masyarakat Nur Wasis dengan Ummad itu sudah dilakukan pada tahun 2018 dengan mengajak 4 warga difabel. Namun dalam perjalanannya, Sulam dan Suparmi mampu eksis.
Selain memberdayakan difabel dalam berusaha, Nur Wasis juga mencarikan pinjaman lunak dari PT Telkom Madiun dan dapat berjalan hingga saat ini. “Sejak tahun 2019 Pak Sulam mendapat pinjaman lunak dari PT Telkom Madiun,” ujar Nur Wasis.
Nur Wasis menyampaikan, masih banyak warga difabel yang belum mendapat pemberdayaan masyakarat. Kondisi mereka membutuhkan perhatian pihak pendidikan tinggi maupun pemerintah. (Riska/Windy)