Oleh: Ahsan Jamet Hamidi
Setiap berangkat kerja, saya selalu melewati kawasan perumahan mewah di wilayah Jakarta Selatan. Rumah-rumahnya besar, tertata rapi, gaya arsitekturnya beragam. Sepintas, rumah bagus-bagus itu pastilah mahal harganya. Deretan rumah megah berdiri kokoh di atas tanah luas. Konon, para penghuni kawasan itu adalah para pengusaha sukses berkantong tebal. Jika ada pejabat negara di situ, mungkin posisinya sudah tinggi sekali. Selaras dengan tingkat pendidikannya.
Jalan besar yang membelah kawasan perumahan mewah itu bisa dilewati oleh siapa saja. Saya salah satunnya. Ia beraspal bagus dan terawat. Ada dua garis putih terputus-putus sebagai tanda pemisah. Ada juga puluhan tong besar yang dicor dengan pasir dan semen padat kokoh. Garis pemisah dan puluhan tong besar itu ternyata belum cukup sebagai pertanda. Masih ada puluhan “polisi tidur” yang dibangun di sepanjang jalan itu.
Saya menduga, pembangunan semua perangkat di jalan itu ditujukan agar para pengendara kendaraan waspada, pelan-pelan, tidak mudah menyalip kendaraan lain. Dengan begitu, para penghuni perumahan itu terhindar dari bahaya. Upaya maksimal itu dipilih karena himbauan tertulis yang dipasang kurang dihiraukan.
Upaya ekstra itu cukup efektif untuk mengendalikan perilaku para pengendara non penghuni. Tetapi, ada gangguan jalan lain yang disebabkan oleh perilaku para penghuni sendiri. Mereka kerap memarkir kendaraan roda empatnya di pinggir jalan, hingga mengambil seperempat bahu jalan. Ruang bahu jalan itu jadi menyempit, hingga tidak bisa digunakan oleh orang lain, termasuk para penghuni sendiri.
Ada dua masalah ”kesadaran” yang muncul di sini. Dari penghuni sendiri dan dari orang lain yang lewat. Ada kesadaran yang berhasil dipaksa tumbuh. Ada kesadaran yang gagal diwujudkan.
Kejadian berbeda terjadi saat saya sedang jalan pagi bersama seorang aktivis lingkungan. Kami berjalan di pinggir sungai kecil yang membelah sebuah perumahan. Tiba-tiba, ada lelaki membuang bungkusan plastik kresek ke sungai. Spontan, teman saya turun ke sungai, mengambil bungkusan, lalu memasukkan ke bak sampah yang tersedia. Mata teman saya melotot dengan tajam ke arah pembuang sampah. ”Itu hanya bangkai tikus kok”. Ucap si pembuang sampah untuk membenarkan tindakannya. Saya kembali menemukan masalah kesadaran warga dalam menjaga sungai.
Jam 18.00 sore, di atas jalan layang Antasari Jakarta, ada raungan sirine dari kendaraan berplat mobil milik negara yang memekakkan telinga. Dia meminta para pengguna mobil untuk minggir hingga mepet ke sisi kiri atau kanan. Dua mobil yang kesemuannya berplat nomer milik Negara itu menerobos sisi tengah, hingga bisa mendahului kendaraan lain.
Para pengendara mobil lain hanya bisa menggerutu di dalam hati. Tidak ada yang bisa memastikan tingkat urgensi orang di dalam kendaraan yang meminta prioritas itu. Apakah ia memenuhi syarat untuk bisa mendapatkan pengecualian? Hanya Tuhan yang tahu. Jika ternyata tidak, maka sekali lagi, ada masalah kesadaran di dalam jiwa orang-orang itu.
Saya tidak tahu mengapa problema kesadaran itu muncul. Apakah karena rendahnya tingkat pendidikan? Minimnya pengetahuan? Atau karena kekuasaan kecil-tapi efektif- yang sedang dimiliki oleh seseorang?
Makna Kesadaran
Saya membatasi deskripsi kesadaran dalam ruang yang lebih sederhana, agar konteksnya mudah dipahami. Kesadaran dalam hal ini adalah ”sikap seseorang yang mampu memahami tanggungjawabnya, sehingga secara sukarela mau menaati semua peraturan untuk kemaslahatan hidup bersama. Ia bisa berwujud pada keinsafan, kepekaan, kerelaan yang bisa dimengerti, dirasakan, dialami”.
W.S. Rendra pernah menulis puisi tentang elemen kesadaran bagi hidup manusia. Begitu pentingnya fungsi kesadaran bagi kehidupan manusia, sehingga Rendra menyebut bahwa ”Kesadaran Adalah Matahari”. Kita bisa membayangkan, apa yang akan terjadi pada kehidupan di bumi ini tanpa kehadiran matahari.
Anugerah mata yang diberikan Allah agar kita mampu melihat segala bentuk keindahan dunia ini jadi sia-sia. Seisi bumi akan menjadi gelap dan membeku. Semua tumbuhan, hewan hingga manusia akan mati tanpa matahari. Begitu besar jasa matahari pada kehidupan semua mahluk di bumi. Begitu berharganya nilai dan peran kesadaran di dalam diri manusia.
Menumbuhkan dan Menumpulkan Kesadaran
Saya percaya bahwa kesadaran mampu mengubah perilaku manusia menjadi lebih baik. Manusia akan bertindak berdasarkan tingkat kesadaran yang dimilikinnya. Ketika seseorang berada pada kesadaran prima, maka kualitas hidupnya juga akan menjadi lebih baik. Begitupun sebaliknya. Saya takut berbuat dosa, karena sadar bahwa saya pasti akan mati. Saya tidak berani melanggar hukum, karena saya sadar bahwa pelanggaran itu akan memasukkan saya ke dalam penjara.
Kesadaran dipercaya memiliki peran penting dalam diri manusia. Oleh sebab itu, ALLAH membekali manusia dengan akal budi, sebagai modal dasar untuk mewujudkan kesadaran dalam hidupnya. Sebagaimana anugerahNYA yang lain, kesadaran memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Hal itu tentu sesuai dengan kemampuan manusia dalam merawat dan mengasah ketajaman kesadaran itu di dalam dirinya.
Ada yang memiliki tingkat kepekaan kesadaran prima. Karena ia terus diasah dan dilatih dengan baik. Dalam praktiknya, kesadaran itu mampu memandu manusia dalam setiap ucapan, tulisan serta tindakannya. Kesadarannya selalu terjaga, ketika pikiran hendak memerintahkan kaki, tangan sebelum bertindak. Kesadarannya lebih dulu hadir, ketika mulut hendak mengucap dan tengan hendak menulis. Kesadaran adalah cahaya ilahiah yang mampu menuntun manusia agar selalu berada pada atmosfer kebaikan.
Saya meyakini bahwa kesadaran adalah anugerah ALLAH yang begitu berharga. Oleh karena itu, ia bisa diminta kehadirannya. Ia harus selalu dipelihara dengan penuh cinta dan rasa syukur agar bisa tumbuh subur dalam batin dan raga manusia.
Kesadaran bisa menjadi tumpul oleh sikap pongah manusia. Ketika pangkat, harta dan kekuasaan menjadi yang utama, maka ia bisa dengan mudah menumpulkan kesadaran itu, hingga benar-benar hilang tak berbekas.
Penulis merupakan Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso.