Marsialapari Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Marsialapari Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Marsialapari

Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Abet menuang kolak pisang menggunakan sendok sayur dari mangkuk besar ke dalam gelas yang dipegangnya. Hari belum pantas dikatakan siang. Di hadapan Abet, menunggu giliran memindahkan kolak pisang, Duma, Aruna, dan Lasma. Mereka berempat menepi setelah Mak Ine—orang kepercayaan Duma mengantarkan kolak pisang ke sawah. Sementara Bonar dan Marlena masih asyik dengan kesibukannya masing-masing. Bonar sibuk membenahi pematang sawah. Marlena, gadis perawan dua puluh lima tahun berjalan mundur, menanam padi. Berkali-kali oleh mereka yang menepi di bawah pohon pisang menikmati kolak pisang, menyuruh Bonar dan Marlena menghentikan aktivitasnya. Dua orang itu tidak goyah dengan suruhan itu.

Musim tanam padi sedang berlangsung. Itu berarti Marsialapari kembali digelar, atas dasar kesepakatan. Abet, Duma, Aruna, dan Bonar, masing-masing mempunyai sepetak sawah, dengan luas tidak sama tentu saja. Mereka bukan saudara, mereka hanya orang-orang yang hidup dalam satu kampung. Sudah menjadi tradisi masyarakat Batak Mandailing, ketika musim tanam dan panen, mengadakan tradisi Marsialapari. Beberapa orang biasanya membuat kesepakatan, seperti yang dilakukan Abet, Duma, Aruna, dan Bonar. Mereka telah menyepakati, bahwa sawah yang pertama kali digarap secara bersama-sama ialah milik Abet, kemudian berlanjut ke Duma, Bonar, dan terakhir Aruna. Keempat orang itu dibantu oleh Marlena dan Lasma. Marlena tak lain adik Bonar. Sedangkan Lasma saudara Duma.

Selain menumbuhkan rasa persatuan dan rela berkorban untuk orang lain, Marsialapari juga menghadirkan keuntungan tersendiri, terutama dalam hal finansial. Pemilik sawah tidak perlu menghambur-hamburkan uang untuk para buruh tani yang menggarap sawah. Tenaga untuk menangani sudah diambil oleh masing-masing orang yang mempunyai sawah, jika beruntung akan ada yang membantu entah dari saudara maupun teman. Masing-masing orang paling cukup menyediakan hidangan sebagai ganjal perut, ketika siang hari menyapa. Jadi wajar saja bila kebanyakan orang memiliki pengalaman; menggarap sawah.

Secara sadar ataupun tidak, masyarakat Batak Mandailing telah mengamalkan nilai kebersamaan dalam pancasila, yaitu gotong royong. Meski zaman terus bergerak, tetapi masih banyak orang yang meyakini, Marsialapari dapat merekatkan hubungan antar individu maupun kelompok, sebab di dalam tradisi itu terdapat ruang komunikasi yang intens.

Kolak pisang Abet dan Lasma telah tandas. Mereka memandang hamparan sawah sejenak, terkadang diselipi percakapan mengenai sawah yang sedang digarap, juga sesekali hal lain yang tidak ada hubungannya dengan dunia pertanian. Duma dan Aruna masih menguyah kolak pisang beraroma pandan itu. Setelah dirasa isi perut agak turun ke bawah, Abet dan Lasma kembali melanjutkan apa yang tadi sebelum makan kolak dilakukan. Duma dan Aruna masih bertahan di bawah pohon pisang.

Di tengah mereka menghabiskan kolak pisang yang masih tersisa, Harun, anak semata wayang Duma datang. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dengan tangan kanannya. Tangan yang lain, memegang ponsel kepunyaannya sendiri. Kata Harun, ada pesan yang ditujukan untuk Duma; mengabarkan kalau adiknya dirawat di rumah sakit setelah beberapa saat yang lalu sepeda motor yang dikendarainya mendarat dengan bebas di selokan. Duma menelepon si pengirim kabar, dan mengatakan baru bisa menjenguk sore hari. Jemari Harun sibuk menekan-nekan layar ponsel. Bocah tujuh belas tahun itu kemudian meninggal Duma dan Aruna, sembari bermain gim.

“Setiap saya ketemu Harun, dia selalu bersama ponsel. Ini apa kebetulan atau dianya yang sudah kecanduan? Jika kecanduan, apa kau tidak pernah menasehati agar mengurangi memegang ponsel, Duma?” celetuk Aruna.

“Hhh, susah diatur dia. Saya sudah berulang-ulang mengingatkan. Mau saya, mempunyai ponsel itu boleh-boleh saja, cuma penggunaannya harus pada tempatnya. Jangan setiap saat memegang ponsel. Kalau saya melarang untuk tidak pakai ponsel, tentu akan repot, komunikasi antar keluarga akan terhambat saat dipisahkan jarak, ditambah kalau situasi genting. Apalagi zaman sekarang, dituntut apa-apa serba cepat,” jelas Duma, “saya sudah lelah rasanya mengingatkan.”

Aruna menjelaskan sikapnya terhadap anaknya, mengenai benda elektronik genggam itu. Aruna mengambil tindakan tegas, tidak akan memberinya fasilitas ponsel sebelum lulus dari SMA.

“Jika dia membutuhkan sesuatu yang melibatkan ponsel, saya atau ayahnya akan meminjamkan ponsel ke dia. Itu saya lakukan bukan semata-mata agar sekolahnya tidak terganggu. Namun ada hal lain yang menjadi pertimbangan saya.”

“Apa pertimbangannya?” tanya Duma penuh penasaran.

“Dengan dia tidak memegang ponsel, dia akan lebih tanggap dengan lingkungan sekitar. Dia akan cenderung membuka diri untuk orang-orang di sekitarnya, melihat apa yang terjadi di luar. Termasuk menyangkut Marsialapari ini, budaya yang mengedepankan nilai kebersamaan dan persatuan. Dia menjadi peduli. Coba sekarang ini, jarang kita dapati anak muda di sawah, ikut meramaikan Marsialapari. Teknologi mengajarkan apa-apa bisa diraih dengan enak, seakan-akan tidak perlu membutuhkan orang lain, menimbulkan sifat malas …. Nah ini anakku tidak membantu, karena dia ada keperluan dengan temannya.”

Mendengar omongan Aruna, Duma tercenung. Kemajuan teknologi memang memudahkan, tetapi menimbulkan masalah lain. Tiba-tiba Duma merasa menjadi manusia gagal. Perempuan itu merasa gagal mendidik anaknya.

Aruna kembali ke sawah. Duma memandangi sawah dengan tatapan kosong. Pencerahan dari Aruna, menimbulkan pikiran di benak Duma. Bukan perkara anaknya yang ponselmania. Di batok kepalanya hanya Marsialapari yang bersemayam. Duma terus memikirkan masa depan kebiasaan yang telah ada sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu itu. Apakah dapat bertahan di tengah kencangnya angin zaman yang membawa manusia ke dalam kemajuan?

Duma menjadi teringat dengan masa kecilnya. Dulu, Marsialapari terkesan begitu sakral. Orang-orang yang akan terlibat dengan kesepakatan atau sudah dalam kesepakatan, sangat antusias dalam menyambut Marsialapari. Duma masih ingat benar, bagaimana ia berlari ke sawah, bersama teman-temannya, setelah orang tuanya memberitahu bahwa ia ikut Marsialapari. Ia bersama teman-temannya akan ikut bermain di sawah sebelum ditanami padi atau di sungai kecil mencari ikan. Bila siang datang, mereka menikmati kolak pisang bersama orang dewasa yang gotong royong menggarap sawah. Membandingkan dengan keadaan sekarang (anak-anak kecil dan remaja), Duma merasa, begitu mahal harga kebersamaan dan pengorbanan.

Duma pesimis. Sampai-sampai ia memikirkan kemungkinan terburuk, bahwa beberapa generasi ke depan,  tidak akan ada orang yang mengenal Marsialapari—sebagai suatu budaya yang harus dirawat—apalagi melaksanakannya. Orang menjadi begitu berjarak dengan akar, dengan jati diri darimana ia berasal.

 

***

 

Giliran menanam padi sudah jatuh pada orang ketiga, Bonar. Duma bahagia. Harun meski dengan terpaksa, akhirnya datang ke sawah, setelah Duma terus mengomel memaksanya untuk ikut andil dalam Marsialapari. Ponsel Harun diletakkan di atas sobekan daun pisang, di bawah pohon pisang. Perkara Harun yang masih membawa ponsel—meskipun sudah diletakkan jauh darinya—tidak merisaukan Duma. Harun mau ke sawah sudah menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri baginya. Sementara anak Aruna tampak ikut serta gotong royong.

Tiga kali tanam padi sudah mereka lewati. Sawah yang harus ditanam padi untuk yang terakhir, milik Aruna. Namun tiba waktunya menanam, Duma dan Lasma dibuat terkejut setelah Aruna memberitahu lewat pesan singkat, suaminya dalam perawatan di rumah sakit. Semalam penyakit jantungnya kumat—suami Aruna sering masuk rumah sakit. Duma menjenguk ditemani Lasma. Kata Aruna, Marsialapari sudah cukup sampai penanaman padi di sawah Bonar, jadi tidak perlu repot-repot lagi belepotan lumpur. Aruna juga berpesan agar hal itu disampaikan pada Abet dan Bonar.

“Mengapa berhenti? Bukannya sudah menjadi kesepakatan, kalau sawahmu kami kerjakan juga?” kata Lasma emosional.

“Kalau kami tidak mengerjakan, kami jadi tidak enak,” kata Duma. Perempuan itu penasaran sekali dengan ucapan Aruna.

Tanpa menutup-nutupi, Aruna menerangkan duduk perkaranya. Sawahnya kemungkinan akan dijual kepada seseorang yang direkomendasikan kakaknya, yang katanya baru membutuhkan tanah untuk usaha. Urusan jual-beli telah ia serahkan sepenuhnya pada kakaknya. Ia mengambil keputusan itu, karena tidak ada jalan lain untuk mengatasi jantung suaminya yang bermasalahan. Kata dokter, jantung suaminya perlu ditanam suatu alat untuk kelancaran kerja organ penting itu sendiri. Jika tidak, keadaan suaminya akan memburuk—penanganan-penanganan yang dilakukan hanya bersifat sementara dalam mengatasi masalah jantungnya. Aruna berpikir, daripada suaminya terus menderita, dan uang terus mengalir ke rumah sakit untuk biaya penanganan suaminya, maka ia mengambil jalan mengorbankan sawahnya.

“Secara tidak langsung aku telah mengambil andil mengenyahkan Marsialapari,” ucap Aruna, terdengar getir.

“Kok begitu?” kata Duma yang duduk di samping Aruna. Lima menit yang lalu, Lasma izin ke kamar mandi untuk buang air kecil.

“Coba, bayangkan sekarang, jika sawah-sawah di kampung kita, satu per satu dijual dan dibuat bangunan oleh si pembeli? Apa menanam dan memanen padi yang dilakukan dengan gotong royong masih bisa bertahan? Dengan kata lain, akan ada kemungkinan Marsialapari tinggal kenangan,” jelas Aruna.

Aruna membenahi duduknya.

“Sekarang memang tidak terasa, hanya satu dua sawah saja yang berubah jadi pemukiman. Namun bayangkan jika kampung ini sudah tidak ada sawah? Lalu Marsialapari?”

“Tetapi bukankah itu wajar? Kita tidak bisa menghindar dari hal itu. Kalau sawah-sawah tidak dijadikan pemukiman, terus di mana manusia-manusia yang lahir tinggal? Ingat, Aruna, suatu tradisi, suatu budaya, itu tidak bersifat statis. Ia mengikuti perkembangan zaman. Jadi kurasa, kau tidak perlu merasa bersalah. Kalau dipikir-pikir kontraktor-kontraktor yang terus berdatangan dengan seenaknya itu? Mereka yang paling andil. Lagi pula alasanmu menjual juga kuat, tidak semata-mata karena uang.”

Percakapan itu ditutup, tepat matahari tenggelam. Senja temaram. Azan magrib sebentar lagi berkumandang. Duma dan Lasma berpamitan pulang. Aruna kembali mengingatkan soal pesannya untuk Abet dan Bonar. Duma dan Lasma berjalan menuju keluar rumah sakit. Cara mereka sampai rumah sakit naik angkutan umum.

Dari jendela angkutan umum, Duma menangkap hamparan sawah yang sedang dibajak dengan traktor—Lasma sibuk dengan ponselnya. Dulu, traktor masih begitu langka, kebanyakan orang menggunakan sapi untuk membajak. Ia teringat dengan kata-katanya sendiri yang ditujukan untuk Aruna. Tiba-tiba dengan ingatan itu, ia mempertanyakan dirinya sendiri, apakah bisa ia menganggap hilangnya sawah berganti pemukiman, sebagai sebuah kewajaran? Ingatan Duma kembali terlempar jauh ke masa lalu, masa ia masih kecil, berlari menuju sawah. Kini sawah-sawah yang terhampar di luar jendela kaca, berganti rumah-rumah, toko-toko, dan segala bangunan di pinggir jalan. Dalam hatinya ia berucap, “Mungkin saat aku tua nanti, Marsialapari hanya sekadar cerita yang kusampaikan pada cucu-cucuku sebagai pengantar tidur.”

 

*Marsialapari adalah tradisi gotong royong bergiliran. Biasanya berupa menggarap sawah, hajatan-hajatan, dan segala hal yang bisa dikerjakan bersama.

 

Jejak Imaji, 2020-2021

Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Kontributor tetap di jejakpustaka.com. Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Bermukim di Bantul, Yogyakarta. Bila ingin berkomunikasi bisa lewat @risen_ridho.

Exit mobile version