Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Nifʻan Nazudi
Ada beberapa hal penting yang perlu kita pahami kembali dan kita amalkan dalam hubungannya dengan shalat berjamaah di masjid, yakni (1) wuḍu, (2) berpakaian bagus, (3) datang pada awal waktu, (4) shalat sunah, dan (5) menunggu shalat dimulai. Untuk shalat berjamaah di masjid, mungkin kita berangkat dari rumah, tempat bekerja, atau sedang bersafar.
Jika berangkat dari rumah, sangat utama kita wuḍu dengan sempurna di rumah. Hal ini sesuai dengan hadis Muttafaq ‘alaih, lafal Muslim sebagaimana telah dikutip artinya pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (17). Jika berangkat dari tempat bekerja dan di tempat itu ada fasilitas tempat wuḍu, kita dapat wuḍu di tempat bekerja. Jika sedang bersafar, kita wuḍu di masjid tempat kita akan melaksanakan shalat berjamaah.
Berpakaian yang sesuai dengan syar’i dan bagus untuk shalat bagi yang berangkat ke masjid dari rumah dengan mudah dapat kita lakukan. Jika berangkat dari tempat bekerja dan dapat menyiapkan pakaian bagus untuk shalat, hal ini sangat utama. Demikian pula halnya bagi yang sedang bersafar dan dapat menyiapkan pakaian bagus untuk shalat, hal itu pun sangat utama. Berpakaian yang bagus tiap memasuki masjid adalah perintah Allah Subḥānahu wa Taʻāla sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qurʻan al-A‘raf (7): 31, yang sudah dikutip pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (1) dan (18).
Hal yang perlu kita pahami kembali adalah pakaian yang sesuai dengan syarʻi dan bagus. Ada sebagian muslim yang mempunyai pemahaman bahwa pakaian isbal berhukum haram. Namun, Muhammadiyah berpandangan bahwa isbal berhukum mubah (boleh) dengan syarat tidak didasari oleh motif sombong. Selain itu, kain (pakaian), celana, dan sarung yang kita pakai tidak sampai menyentuh tanah. Hal itu dijelaskan di dalam Suara Muhammadiyah, 5 April 2022.
Datang pada awal waktu sangat utama sebagai wujud disiplin dalam hal waktu agar tidak merugi. Hal ini merupakan salah satu pengamalan firman Allah Subḥānahu wa Taʻāla di dalam al-Qurʻan surat al-Ashr (103): 1-3,
وَالۡعَصۡرِۙ
اِنَّ الۡاِنۡسَانَ لَفِىۡ خُسۡرٍۙ
اِلَّا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوۡا بِالۡحَقِّ ۙ وَتَوَاصَوۡا بِالصَّبۡرِ
“Demi masa. Sungguh, manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.”
Di dalam Tafsir Al Azhar (hlm. 8101-8105), Hamka menjelaskan bahwa masa di dalam ayat (1) dapat ditafsirkan waktu dalam arti luas; tidak hanya terbatas pada waktu asar. Selanjutnya, dia menjelaskan bahwa manusia selalu dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman karena orang-orang yang beriman yakin bahwa sesudah hidup di dunia yang bersifat sementara, manusia hidup di akhirat yang bersifat abadi. Oleh karena itu, mereka selalu berbuat kebajikan dengan menasihati untuk kebenaran dan menasihati untuk kesabaran agar tidak merugi.
Datang di masjid/musala pada awal waktu dimaksudkan juga agar kita mempunyai kesempatan untuk beribadah yang sebanyak-banyaknya sesuai dengan tuntunan Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah (1) shalat taḥiyyatul masjid sebagaimana dijelaskan di dalam HR Ibnu Majah, yang artinya “Apabila kalian masuk masjid hendaklah shalat dua rakaat sebelum duduk.” (2) berdoa di antara azan dan iqamah, (3) menunggu shalat berjamaah dan shalat pada ṣaf pertama atau awal sebagaimana dijelaskan di dalam HR Muslim, yang artinya sudah dikutip pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (18).
Di masjid-masjid tertentu ada cara mengingatkan jamaah tentang waktu menjelang azan dikumandangkan. Ada yang mengumandangkan qiraʻah sepuluh menit sebelum azan. Ada yang mengumandangkan tarḥim. Semua itu sangat bermanfaat bagi jamaah agar dapat datang di masjid/musala pada awal waktu. Namun, ada juga yang aktif dalam kesenyapan. Bagi jamaah yang sudah mapan, apalagi yang memanfaatkan teknologi modern, ketiadaan qiraʻah atau tarḥim menjelang azan bukan kendala. Mereka secara istikamah dapat hadir di masjid pada awal waktu sehingga dapat mengerjakan amalan sunah dengan baik.
Sangat ideal jika ada koordinasi antara pengurus takmir yang satu-wilayah-waktu. Hal itu bermanfaat bagi kebersamaan waktu shalat. Jika terjadi perbedaan waktu sampai 3 menit apalagi lebih, hal itu membuat jamaah bingung. Di samping itu, perbedaan waktu yang demikian dari syiar Islam, kurang baik.
Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (21) ini diuraikan hal iqamah dan penataan ṣaf. Beberapa hal pokok yang diuraikan berkaitan dengan iqamah adalah pengertian, waktu, dan lafal iqamah. Dalam hubungannya dengan penataan ṣaf, uraian dalam bagian ini berisi hal yang bersifat khusus, yakni imam laki-laki dengan makmum laki-laki hanya seorang, imam laki-laki dengan makmum perempuan, dan imam perempuan.
Pengertian Iqamah
Iqamah adalah aba-aba atau pemberitahuan yang dikumandangkan muazin untuk mengingatkan jamaah bahwa shalat berjamaah segera dilaksanakan. Di masjid besar, iqamah dikumandangkan melalui pengeras suara dengan volume yang hampir sama kerasnya dengan azan. Namun, di masjid kecil/musaha, volume suara iqamah tidak sekeras azan. Bahkan, ada yang menggunakan pengeras suara khusus untuk jamaah yang ada di dalam masjid/musala yang bersangkutan, bahkan. Ada pula yang tanpa pengeras suara.
Waktu Iqamah
Di masjid/musala tertentu ada jam digital yang pada jam itu dapat dibuat program jadwal azan dan iqamah lima waktu. Bagi jamaah-tetap, jam digital tersebut sangat bermanfaat. Jika masuk masjid dan melihat jam tersebut, mereka mengetahui masih tersedia atau tidaknya waktu untuk shalat taḥiyyatul masjid atau shalat sunah yang lain yang ada tuntunannya dari Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam. Ketika hampir tiba waktu iqamah, biasanya muazin sudah berdiri. Jamaah yang tiba di masjid pada waktu seperti itu, tidak perlu mengerjakan shalat sunah.
Ada pula masjid yang tanpa jam digital. Di masjid/musala yang tanpa jam digital sering terjadi iqamah dilaksanakan menyesuaikan dengan selesainya jamaah shalat sunah, padahal kadang-kadang ada jamaah yang tiba di masjid/musala lebih dari sepuluh menit setelah azan berkumandang pun tetap shalat sunah. Akibatnya, shalat berjamaah pada awal waktu sulit terlaksana.
Jika di masjid/musala tidak digunakan jam digital atau cara lain sebagai penanda segera dilaksanakannya shalat berjamaah yang mudah diketahui oleh jamaah-tetap, sebaiknya ada kesepakatan pengurus takmir dengan jamaah-tetap mengenai selang waktu dari azan ke iqamah dan kesepakatan itu harus ditaati. Dengan demikian, shalat berjamaah pada awal waktu dapat dilaksanakan dengan baik.
Mungkin dapat terjadi ada jamaah yang sedang shalat sunah, tetapi sebelum selesai, iqamah dikumandangkan. Jika hal itu terjadi, dia sebaiknya membatalkan shalat sunahnya untuk mengikuti shalat berjamaah. Hal ini merujuk pada HR Muslim yang artinya, “Apabila telah dikumandangkan iqamah, tidak ada shalat, kecuali shalat wajib.”
Jarak waktu antara azan dan iqamah ditetapkan berdasarkan petunjuk Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam. Perlu kita pahami kembali bahwa waktu antara azan dan iqamah adalah lebih makbul untuk berdoa sebagaimana dijelaskan di dalam HR Abū Dawud, yang artinya, “Doa antara azan dan iqamah tidak akan ditolak.”
Sebelum mengerjakan shalat subuh, ada shalat sunah yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam sebagaimana dijelaskan di dalam hadis Muttafaq ‘Alaih, yang artinya “Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam tidak pernah menjaga shalat sunah melebihi perhatian beliau kepada dua rakaat sebelum (shalat) subuh.” Shalat sunah tersebut lebih mulia daripada dunia dan seisinya sebagaimana dijelaskan di dalam HR Muslim, yang artinya, “Dua rakaat sebelum (shalat) subuh lebih baik daripada dunia beserta isinya.”
Sementara itu, di dalam HR at-Tirmizi dijelaskan bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya, “Jadikanlah antara azanmu dengan iqamahmu kelonggaran seukuran seorang mu’tashir menyelesaikan hajatnya dengan tenang, dan seukuran orang yang sedang makan menyelesaikan makannya dengan tenang (tidak tergesa-gesa)!”
Di dalam sahih al-Bukhari terdapat judul bab yang artinya “Berapa Lama Jarak antara Azan dan Iqamah?” Menurut dia, tidak ada dalil yang kuat yang membahas hal ini. Oleh karena itu, beliau hanya menyebutkan hadis dari Abdullah Ibnu Mughaffal, Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya, “Ada shalat sunah di antara azan dan iqamah,” beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Saat yang ketiga, beliau mengucapkan, Bagi yang menghendaki.”
Berdasarkan hadis-hadis tersebut, Syaikh Ibnu Baz berpendapat bahwa mengumandangkan iqamah tidak boleh tergesa-gesa; menunggu diperintahkan oleh imam. Jeda waktu lebih kurang 15 atau 20 menit. Jika imam tidak kunjung datang, salah seorang di antara jamaah dapat maju sebagai imam. Imam itu lebih berhak mengenai iqamah. Oleh karena itu, tidak boleh mengumandangkan iqamah sebelum imam memerintahkannya, sedangkan muazin itu lebih berhak berkaitan dengan azan karena masalah waktu shalat itu diserahkan kepadanya dan muazin memang diberi amanah tentang hal ini.
Ada fenomena di masjid-masjid tertentu; jamaah shalat baru bangun dari duduk setelah iqamah selesai dikumandangkan sehingga shalat pada awal waktu tidak dapat dilaksanakan dengan baik, apalagi jika jumlah jamaah yang demikian banyak.
Iqamah di masjid/musala tertentu tidak selalu menunggu perintah imam. Ada takmir masjid/musala yang secara konsisten berpedoman pada jadwal yang disepakati. Bahkan, telah tercantum juga di dalam jadwal itu imam pengganti sehingga jika imam utama tidak hadir sesuai dengan jadwal, iqamah tetap dikumandangkan dan imam pengganti itu maju menggantikannya.
Lafal Iqamah
Lafal azan dan iqamah dijelaskan di dalam HR Abū Dawud, yang artinya, Abdullah Ibn Zaid berkata, Ketika Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam memerintahkan memukul lonceng untuk mengumpulkan orang-orang untuk shalat jamaah, sewaktu aku tidur (dalam mimpi), melihat seorang laki-laki membawa lonceng di tangannya mengelilingi aku, maka aku bertanya kepadanya, Wahai, hamba Allah, adakah engkau akan menjual lonceng itu? Laki-laki itu menanyakan, Akan kau pergunakan untuk apakah lonceng itu? Aku menjawab, Untuk memanggil kepada shalat. Dia berkata, Bagaimanaa kalau aku tunjukkan kepadamu sesuatu yang lebih baik dari itu? Aku menjawab, Baiklah. Dia berkata, Serukan Allāhu akbar, Allāhu akbar. Asyhadu allā ilāha illallāh, Asyhadu allā ilāha illallāh. Asyhadu anna Muḥammadar rasūlullāh, Asyhadu anna Muḥammadar rasūlullāh. Ḥayya ‘alaṣ-ṣalah, Ḥayya ‘alaṣ-ṣalah. Ḥayya ‘alal falāḥ, Ḥayya ‘alal falāḥ. Allāhu akbar, Allāhu akbar. Lā ilāha illallāh. Kemudian, orang itu mundur tidak jauh dariku, lalu, berkata, Kemudian kalau kamu hendak memulai shalat, engkau serukan, Allāhu akbar, Allāhu akbar. Asyhadu allā ilāha illallāh. Asyhadu anna Muḥammadar rasūlullāh. Ḥayya ‘alaṣ-ṣalah. Ḥayya ‘alal falāḥ. Qad qāmatiṣ-ṣalāh, Qad qāmatiṣ-ṣalāh. Allāhu akbar, Allāhu akbar. Lā ilāha illallāh. Pada paginya aku datang kepada Rasūlullāh Shallallāhu ‘alaihi wasallam. Lalu, aku beri tahukan apa yang aku lihat semalam. Rasūlullāh Shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda, Sungguh, itu adalah impian yang benar, isnya-Allah. Pergilah bersama Bilal dan ajarkanlah kepadanya apa yang engkau lihat. Hendaklah ia menyerukan azan dengan itu sebab Bilal lebih nyaring suaranya daripadamu. Kemudian, aku mengajarkannya. Lalu, dia menyerukan azan dengan itu.”
Imam Mengatur Makmum
Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam memberikan tuntunan agar imam mengatur ṣaf makmum. Bahkan, beliau biasa mendatangi dan mengusap pundak para sahabat agar meluruskan ṣaf sebagaimana dijelaskan di dalam HR Muslim, yang artinya, “Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam biasa mengusap pundak kami ketika akan shalat seraya bersabda, Luruskan dan jangan berselisih sehingga hati kalian akan ikut berselisih. Hendaklah yang dekat denganku (dalam ṣaf shalat) adalah orang-orang yang dewasa dan berakal dari kalian. Kemudian, orang-orang setelah mereka, kemudian, orang-orang setelah mereka.”
Meluruskan ṣaf merupakan kesempurnaan shalat berjamaah sebagaimana dijelaskan di dalam hadis Muttafaq ‘alaih, yang artinya, “Luruskanlah ṣaf kalian karena meluruskan ṣaf termasuk kesempurnaan shalat.” Meluruskan ṣaf shalat juga dijelaskan di dalam hadis al-Bukhari, yang artinya, “Karena meluruskan ṣaf termasuk menegakkan shalat.”
Ṣaf tidak hanya harus lurus, tetapi juga rapat. Hal itu dijelaskan di dalam HR Muslim dari Jabir bin Samurah, yang artinya, “Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam keluar menemui kami. Lalu, beliau bersabda, Tidakkah kalian ber- ṣaf sebagaimana para malaikat ber- ṣaf di sisi Rabb-nya? Kami bertanya, Wahai, Rasūlullāh! Bagaimana para malaikat ber– ṣaf di sisi Tuhan Mereka? Beliau menjawab, Mereka menyempurnakan ṣaf- ṣaf yang pertama dan merapatkan barisan.”
Sementara itu, di dalam HR Abū Dawud dijelaskan, yang artinya, “Dari Abdullah Ibn ‘Umar bahwa Rasūlullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Tegakkanlah ṣaf karena engkau ber-ṣaf dengan ṣaf-ṣafnya malaikat. Rapatkanlah di antara bahu. Penuhilah tempat yang terluang. Dan berlunak-lunaklah di samping saudaramu. Janganlah engkau sisakan celah untuk syetan. Barangsiapa yang menyambung ṣaf, Allah menyambungkannya. Dan barangsiapa memotong ṣaf, Allah memotongnya.”
Rapatnya ṣaf kadang-kadang “terganggu” karena penggunaan sajadah yang terlalu lebar dibandingkan dengan ukuran tubuh penggunanya. Misalnya, dia menggunakan sajadah berukuran lebar lebih dari 75 cm, padahal baginya cukup sajadah yang berukuran lebar 46 cm agar dapat memenuhi ketentuan rapatnya ṣaf. Jika di masjid atau di musala telah digunakan karpet sajadah, kiranya lebih baik jamaah cukup menggunakan karpet sajadah di masjid atau musala itu. Jika menggunakan sajadah sendiri (karena suatu hal yang syarʻi), sebaiknya dia menggunakan sajadah yang berukuran sesuai dengan ukuran dirinya atau sajadah berukuran panjang 70 cm dan lebar 33 cm.
Posisi Imam dan Makmum
Imam pada shalat berjamaah berada di depan makmum, sedangkan makmum dengan jumlah lebih dari seorang berada di belakangnya dan seimbang banyaknya antara makmum kanan dan makmum kiri imam. Jadi, harus ditata agar makmum yang di sebelah kanan sama banyaknya dengan makmum di sebelah kiri.
Posisi Imam Laki-Laki dan Makmum Laki-Laki Hanya Seorang
Di dalam HR Abū Dawud dijelaskan, yang artinya, “Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. shalat maghrib, saya datang lalu, berdiri di sebelah kirinya, maka beliau mencegah aku dan menjadikan aku di sebelah kanannya. Kemudian, datang temanku, maka kami berbaris di belakangnya.” Berdasarkan hadis tersebut, jika imam laki-laki dengan makmum laki-laki hanya seorang, posisi makmum tersebut berada di sebelah kanan imam.
Jika datang seorang makmum laki-laki kedua, makmum yang semula berada di sebelah kanan imam, mundur sehingga berada di belakang imam, sedangkan makmum kedua berada di sebelah kiri makmum pertama. Jika datang makmum laki-laki ketiga, dia menempatkan diri di sebelah kanan makmum yang sudah membentuk ṣaf. Jika datang makmum laki-laki selanjutnya, dia menempatkan diri di sebelah kiri makmum yang sudah membentuk ṣaf.
Imam Laki-Laki dan Makmum Perempuan
Ada perbedaan penataan antara ṣaf laki-laki dan perempuan. Jika imam laki-laki, sedangkan makmum perempuan berapa jumlahnya berada di belakang imam. Hal ini sesuai dengan hadis, yang artinya, “Saya shalat bersama anak yatim di belakang Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam, sedangkan ibu saya, Ummu Sulaim, di belakang kami.” (HR al-Bukhari)
Imam Perempuan
Perempuan boleh menjadi imam shalat untuk makmum yang semuanya perempuan. Hal ini sesuai dengan atsar yang diriwayatkan oleh Ibn Hazm, yang artinya, “Dari Tamimah binti Salamah, ia berkata, Sesungguhnya, ‘Aisyah mengimami para perempuan pada shalat magrib, berdiri di tengah-tengah jamaah dan mengerjakan qiraʻah (mengeraskan bacaan).”
Dalam hubungannya dengan perempuan menjadi imam shalat, Majelis Ulama Indonesia menerbitkan fatwa 21 Jumadil Akhir 1426 H yang bertepatan dengan 28 Juli 2005 M, yakni perempuan menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah. Namun, perempuan yang menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya perempuan, hukumnya mubah.
Allahu aʻlam
Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah, tinggal di Magelang Kota dan Nif’an Nazudi, dosen al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Universitas Muhammadiyah Purworejo.