YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr H Haedar Nashir, MSi mengapresiasi atas kiprah perjalanan 108 tahun Majalah Suara Muhammadiyah (SM). Kehadiran majalah ini sejak tahun 1915, dan sampai sekarang masih terus terbit dan bertahan.
Menurutnya, majalah yang dirintis oleh Kiai Ahmad Dahlan bersama Haji Fachruddin ini pada pada 13 Agustus 1915 hadir sebagai penyebar informasi. Selain itu, dalam konteks gerakan Muhammadiyah, majalah ini berfungsi sebagai gerakan literasi yakni membaca dan menulis.
“Kehadiran SM memang bukan hanya sebagai media yang punya dimensi pers untuk membangun tradisi baru, selain sebagai media juga sebagai gerakan literasi. Yakni gerakan untuk menghidupkan tradisi membaca dan menulis,” ujarnya saat menyampaikan Keynote Speaker Diskusi bertajuk “Muhammadiyah dan Media; Kiprah Dakwah Pencerahan di Abad ke-2”, Rabu (23/8) di Rofftop SM Tower and Convention Yogyakarta.
Haedar menjelaskan jika tradisi membaca di kalangan masyarakat Indonesia mulai muncul sejak umat Islam memiliki lembaga pendidikan pesantren. “Nah, di pesantren itulah tradisi membaca itu hidup. Hanya terbatas pada membaca literasi bahasa Arab. Juga ada menulisnya dalam tradisi literasi Arab. Maka, dalam tradisi membaca sebenarnya banyak masyarakat Indonesia mayoritas muslim tidak buta huruf. Karena bisa membaca selain masing-masing daerah,” katanya.
Menurut Haedar, penyebab masyarakat buta huruf saat itu dikarenakan bahasa dan tulisan latin. Hanya segelintir kalangan elite yang bisa membaca dan memahaminya. Pada abad ke-20, elite ini mengenyam pendidikan (sekolah), dan mulai melek bahasa dan tulisan latin. Tidak hanya itu saja, mereka juga sudah bisa melek bahasa lokal maupun bahasa asing yang lain seperti bahasa Inggris dan Belanda.
Haedar menjelaskan bahwa kelahiran majalah ini pada awalnya masih memakai bahasa dan aksara Jawa. Baru di edisi tahun 1924, beralih dengan menggunakan bahasa Indonesia. Ini sebagai bagian dari memperkenalkan kepada masyarakat luas saat itu. Sementara sebagaimana diketahui, bahwa Bahasa Indonesia baru diproklamirkan saat peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928. Yakni dengan ikrar: Satu Indonesia. Yakni satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air Indonesia.
“Ini tonggak. Jadi nanti perlu dikumpulkan SM yang penuh menggunakan bahasa Indonesia. Kan awal campuran ada Bahasa Jawa. Tapi biarpun Bahasa Jawa tradisi berpikir sudah melompat,” katanya.
Karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa majalah ini hadir sebagai wujud untuk berkontribusi dalam memajukan dan mencerdaskan kehidupan umat. Sehingga ketika diusulkan kelahirannya sebagai Hari Pers Muhammadiyah sekaligus mengusulkan sebagai warisan budaya benda dan tak benda, Haedar menyebut ini sangat layak. Meskipun hal itu masih perlu dibawa di permusyawaratan sidang pleno PP Muhammadiyah sebelum diputuskan secara sah.
“Jadi layak SM kita usulkan dan kami instruksikan ke MPI untuk menyiapkan bahan dan usulan nanti dari PP Muhammadiyah kepada Pemerintah agar menjadikan SM sebagai warisan budaya benda dan non benda. Karena itu tadi termasuk memperkenalkan Bahasa Indonesia Sumpah Pemuda. Itu kan luar biasa,” jelas Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini. (Cris)