Shalat untuk Menjemput Rahmat (22)

Shalat untuk Menjemput Rahmat (22)

Shalat untuk Menjemput Rahmat (22)

Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Nifʻan Nazudi

Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (21) telah diuraikan hal iqamah dan penataan ṣaf. Beberapa hal pokok yang diuraikan berkaitan dengan iqamah adalah pengertian, waktu, dan lafal iqamah. Dalam hubungannya dengan penataan ṣaf, uraian dalam bagian tersebut berisi hal yang bersifat khusus, yakni imam laki-laki dengan makmum laki-laki hanya seorang, imam laki-laki dengan makmum perempuan, dan imam perempuan.

Telah diuraikan pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (18) ihwal keutamaan ṣaf pertama. Namun, perlu kita pahami bahwa ṣaf jamaah perempuan pada shalat berjamaah dengan imam laki-laki yang di dalam shalat jamaah itu terdapat makmum laki-laki, harus mengikuti kaifiat khusus sebagaimana dijelaskan di dalam HR muslim, yang artinya,“Dari Abi Hurairah raḍiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Ṣafyang paling baik bagi laki-laki adalah yang paling depan dan yang paling jelek adalah yang paling belakang, sedangkan ṣafyang paling baik bagi perempuan adalah yang paling belakang dan yang paling jelek adalah yang paling depan.”

 

Penataan ṣaf yang demikian dapat dilakukan dengan mudah manakala semua jamaah telah memahami kaifiat itu dan imam pun demikian. Jika makmum belum memahaminya, tetapi imam sudah memahaminya, dia dapat menata ṣaf sesuai dengan tuntunan Rasūlullāh shallallahu ‘alaihiwasallamtersebut.

Ada persoalan lain yang perlu kita pahami pula. Jika makmum tidak mengetahui kaifiat tersebut dan imam tidak menata ṣaf lebih dahulu,makmum perempuanyang datang kemudian (lebih-lebih lagi makmum masbuk) menempatkan diri di belakang ṣaf makmum perempuanyang telah ada, padahal di depan ṣaf makmum perempuan yang sudah ada itu sengaja dikosongkan.Karena makmum yang datang kemudian justru menempatkan diri di belakang ṣaf makmum perempuan yang datang lebih dahulu, tentu ṣaf depan itu tidak terisi.Agar hal itu tidak terjadi, kiranya kita dapat merujuk pada pendapat Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagaimana terdapat di dalam buku Tanya Jawab Agama Jilif 4 (hlm. 148) yang substansinya sebagai berikut ini.

  1. Dalam shalat berjamaah khusus perempuan, barisan yang utama adalah barisanṣaf yang pertama. Dengan demikian, ṣaf pertama harus diisi penuh lebih dahulu. Setelah ṣaf pertama penuh, barulah ṣaf kedua, ketiga, dan seterusnya ke belakang.
  2. Barisan ṣaf dalam shalat berjamaah antara laki-laki dan perempuan supaya ditentukan jarak yang tegas antara barisan laki-laki yang paling belakang dengan ṣaf perempuan yang paling depan sehingga barisan terakhir laki-laki itu tidak mempengaruhi konsentrasi jamaah perempuan.
  3. Dalam menyusun ṣaf perempuan dapat saja dilakukan dari depan dan diutamakan yang depan adalah perempuan yang usianya sudah tua sehingga tidak mudah terganggu konsentrasinya oleh barisan deretan laki-laki. Setelah itu, di belakang ṣaf perempuan yang berusia tua, barulah ṣaf perempuan muda usia.
  4. Hal itu ditempuh agar jamaah perempuan yang datang kemudian (menyusul karena terlambat) dapat menempati ṣaf di belakang jamaah perempuan yang datang lebih dulu. Dengan demikian, jamaah perempuan yang telah ada tidak terganggu konsentrasinya. Lagi pula, hal itu pun dimaksudkan agar jamaah masbuk tidak berlalu (lewat) di depan jamaah yang sedang shalat.

Berdasarkan semua itu, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyimpulkan bahwa pada prinsipnya di dalam shalat berjamaah yang di dalamnya  ada jamaah laki-laki dan perempuan,  ṣaf jamaahperempuan di belakang ṣaf jamaah laki-laki. Untuk menghindari kesulitan yang ditimbulkan jika ṣaf jamaah perempuan dimulai dari belakang, penataan ṣaf jamaah perempuan dapat dimulai dari depan ke belakang.

Tentu saja agar jamaah memahami kaifiat tentang penataan ṣaf shalat jamaah laki-laki dan perempuan itu, pencerahan terhadap muslim perlu dilakukan sejak dini. Praktik-baik pun harus dilakukan sejak dini.

Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (22) ini diuraikan beberapa hal yang problematik dalam pelaksanaan shalat berjamaah.

Makmum Mengikuti Imam

Makmum melakukan gerakan di dalam shalat berjamaah harus setelah imam. Tidak dibenarkan makmum melakukan gerakan pada waktu yang sama dengan imam, apalagi mendahuluinya.  Hal itu dijelaskan di dalam HR Ahmad, AbūDawud, dan AbūHurairaḥ, yang artinya, Dari Abū Hurairah raḍiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Imam itu untuk diikuti, maka apa bila ia telah bertakbir, bertakbirlah kamu. Janganlah kamu bertakbi rsebelum ia (imam) bertakbir! Dan apa bila ia telah rukuk, rukuklah kamu dan janganlah kamu rukuk sebelum ia rukuk. Dan apa bila ia sujud, sujudlah kamu. Dan janganlah kamu sujud sehingga ia bersujud.˝

Di dalam HR Ahmad dan HR Muslim dari Anas bin Malik dijelaskan tentang larangan makmum mendahului imam, yang artinya, “Dari Anas bin Malikraḍiyallahu ‘anhu, ia berkata,Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Wahai, segenap manusia! Sesungguhnya, aku imammu. Karena itu, janganlah kamu mendahului akan daku dengan rukuk, dan janganlah pula dengan sujud. Janganlah pula dengan tegak berdiri. Janganlah pula dengan duduk; jangan pula dengan berpaling (dalam salam).”

Dari kedua hadis itu, jelas sekali bagi kita bahwa makmum tidak dibenarkan mendahului imam. Bahkan, di dalam hadis yang diriwayatkan oleh ahli hadis dari AbūHurairaḥberikutini dijelaskan, yang artinya “Dari Abū Hurairaḥraḍiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallambersabda, Apabila seseorang kamu tidak takut, apabila mengangkat tangannya sebelum imam, akan dipalingkan oleh Allah kepalanya menjadi kepala keledai atau dipalingkan oleh Allah rupanya menjadi rupa keledai.”

Takbiratul Ihram

Agar sesuai dengan tuntunan Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dijelaskan di dalam hadis yang telah dikutip artinya, makmum perlu memperhatikan bacaan takbiratul ihram imam. Setelah imam sempurna mengucapkan Allāhu akbar untuk mengerjakan takbiratul ihram, barulah makmum mengangkat kedua tangan sambil mengucapkan Allāhu akbar untuk mengerjakan takbiratul ihram juga. Dengan cara demikian, makmum tidak mendahului gerakan imam.

Rukuk, Sujud, Duduk Iftirasy, Bangkit dari Sujud Kedua

Gerakan rukuk, sujud, duduk di antara dua sujud, dan bangkit dari sujud kedua yang ditandai dengan takbir intiqal pun harus dilakukan oleh makmum jika imam sudah sempurna mengucapkan Allāhu akbar. Jadi, tidak dibenarkan misalnya karena sudah hafal ayat atau surat yang dibaca oleh imam setelah al-Fatihah, lalu makmum menggerakkan tangannya yang semula bersedekap kemudian lurus ke bawah untuk rukuk.

Iktidal

Gerakan iktidal ditandai oleh imam dengan ucapan samiʻallāhu liman ḥamidah. Agar tidak mendahului imam melakukan iktidal, makmum baru melakukan iktidal jika imam telah sempurna mengucapkan samiʻallāhu liman ḥamidah.

Perlu kita ingat kembali bahwa makmum tidak mengucapkan samiʻallāhu liman ḥamidah, tetapi langsung mengucapkan doa iktidal. Makmum mengucapkan doa tersebut tidak perlu dengan suara keras (jahr), tetapi cukup dengan syir (dapat didengar sendiri).

Salam

Dari HR Ahmad dan HR Muslim dari Anas bin Malik, yang artinya telah dikutip, kita ketahui bahwa gerakan salam pun dilakukan oleh makmum setelah imam melakukan gerakan salam. Karena imam (umumnya) mengerjakan salam dengan menengok ke kanan dan ke kiri dengan mengucapkan assalāmu ‘alaikum wa rahmatullāh atau assalāmu ‘alaikum wa rahmatullāhi wa bārakātuh, semestinya makmum baru melakukan gerakan dan mengucapkan salam setelah imam melakukan gerakan dan mengucapkan yang kedua, yakni setelah imam menengok ke kiri.

Dari hadis-hadis yang telah dikutip artinya dan penjelasan yang telah dikemukakan jelas bagi kita bahwa makmum harus mengikuti imam; tidak boleh mendahului. Bahkan, melakukan gerakan pada waktu yang bersamaan dengan imam pun tidak dibenarkan.

Meskipun tidak ada hadis yang berisi penjelasan bahwa makmum yang melakukan gerakan mendahului imam, batal shalatnya, kiranya dapat kita pahami bahwa shalat jamaahnya tidak sempurna karena tidak sesuai dengan tuntunan Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal itu berarti tidak sempurna pula pahalanya.

Makmum Berbeda dari Imam dalam Bacaan

Makmum tidak boleh menyelisihi imam dalam amalan bersifat rukun sebagaimana dijelaskan di dalam hadis yang artinya telah dikutip. Dalam hal bacaan sangat mungkin terjadi perbedaan dan tidak menjadi masalah asalkan masih bersumber pada dalil yang dapat dijadikan hujjah.

Dalam keadaan dan dalam hal tertentu dapat terjadi perbedaan antara makmum danimam. Misalnya, imam melafalkan niat shalat hingga makmum mendengarnya,Uṣalli farḍal magribi ṡalāṡa rakaʻātim mustakbilal qiblati adāʻan imāman lillāhi taʻālā, sedangkan makmum mempunyai“pemahaman”bahwa niat shalat (berjamaah)itu di dalam hati. Tambahan lagi, bagi makmum tersebut, niat shalat dengan lafal,Uṣalli farḍal magribi ṡalāṡa rakaʻātim mustakbilal qiblati adāʻan makmūman lillāhi taʻālā tidak diajarkan oleh Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula dilakukan oleh para sahabat.

Perbedaan pun dapat terjadi: imam membaca doa iftitah Allahumma bā’id bainī wa baina khaṭayāyā kamā ba’adta bainal masyriqi wal-magrib. Allahumma naqqinī minal-khaṭayā kamā yunaqqaŝ-ŝaubul-abyadu minad-danas. Allahummagsil khaṭayāyā biŝ-ŝalji wal-mā’i  wal-barad”sebagaimana dijelaskan di dalam HR al-Bukhari. Namun, makmum membaca dos iftitah sebagaimana dijelaskan di dalam HR Abu Dawud, Wajjahtu wajhiya lillażī faṭaras-samāwāti wal-arḍa ḥanīfan wa mā ana minal musyrikīn. Inna ṣalātī wa nusukī wa maḥyāyā wa mamāti lillāhi rabbil ‘ālamīn. Lā syarīka lahu wa bi żālika umirtu wa ana minal muslimīn. Allāhumma antal-maliku, lā ilāha illā anta. Anta rabbī wa ana ‘abduka, ẓalamtu  nafsī waʻtaraftu bi żambī, fagfir lī żunūbī jamīʻan, innahu lā yagfiruż-żunūba illā anta, wahdinī li aḥsani-akhlāqi, lā yahdī li aḥsanihā illā anta waṣrif ‘annī sayyiʻahā lā yaṣrifu ‘annī sayyiʻahā illā anta, labbaika wa saʻdaika, wal-khairu kulluhu fī yadika wasy-syarru laisa ilaika. Ana bika wa ilaika, tabārakta wa taʻālaita, astagfiruka wa atūbu ilaika.” Boleh jadi, sebaliknya.

Mungkin pula ada yang makmum yang membaca, Innī wajjahtu wajhiya lillażī faṭaras-samāwāti wal-arḍa ḥanīfan musliman wa mā ana minal musyrikīn. Inna ṣalātī wa nusukī wa maḥyāyā wa mamāti lillāhi rabbil ‘ālamīn. Lā syarīka lahu wa bi żālika umirtu wa ana minal muslimīn.

Di daerah tertentu dan imam masjid atau musala tertentu membaca rabbig firlī waliwālidayyasetelah membaca wa lad-dāllīn.Akan tetapi, makmum tidakmengamalkannya.Dialangsung membaca āmīn karena mengetahui bahwa amalan yang dilakukan oleh imam tidak diajarkan oleh Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula dilakukan oleh para sahabat.

 

Ada perbedaan lagi: imam membaca tasyahud yang terdapat di dalam HR al-Bukhari dan Muslim, Attaḥiyyātu lillāhi waṣ-ṣalawātu waṭ-ṭayyibāt. Assalāmu ‘alaika ayyuhan-nabiyyu wa raḥmatullāhi wa bārakātuh. Assalāmu ‘alainā wa ‘alā ‘ibādillāhiṣ-ṣāliḥīn.Asyhadu allā ilāha illallāhu wa asyhadu anna Muḥammadan ‘abduhu wa rasūluh”, sedangkan makmum membaca tasyahud yang terdapat di dalam HR Muslim, yaitu At taḥiyyatul mubārakātuṣ-ṣalawātu waṭ-ṭayyibātu lillāh. Assalāmu ‘alaika ayyuhan-nabiyyu wa raḥmatullāhi wa barākātuh. Assalāmu ‘alainā wa ‘alā ‘ibādillāhiṣ-ṣāliḥīn. Asyhadu allā ilāha illallāhu wa asyhadu anna Muḥammadar-rasūlullāh”. Dapat saja terjadi yang sebaliknya.

 

Sementara itu, mungkin terjadi pula:imam membaca ṣalawat,Allāhumma ṣalli ‘alā sayyidināMuḥammad, wa ‘alā āli  sayyidinā Muḥammad,  kamā ṣallaita ‘alā sayyidinā Ibrāhīm, wa bārik ‘alā sayyidinā Muḥammad wa ‘alā āli sayyidinā Muḥammad, kamā bārakta ‘alā sayyidinā Ibrāhīm wa ‘alā ālisayyidinā Ibrāhīm. Fil-ālamīna innaka ḥamīdum majid, sedangkan makmum membaca ṣalawat,Allāhumma șalli ‘alā Muḥammad wa ‘alā āli  Muḥammad,  kamā ṣallaita ‘alā Ibrāhīm wa āli Ibrāhīm wa bārik ‘alā Muḥammad wa āli Muḥammad, kamā bārakta ‘alā Ibrāhīm wa āli Ibrāhīm. Innaka ḥamīdum majid. Mungkin juga terjadi yang sebaliknya.

Perbedan antara imam dan makmum dapat terjadi dalam hal lain, tetapi bukan rukun shalat:imam membaca qunut dengan mengangkat kedua tangannyapada tiap shalat subuh, sedangkan makmum tidak melakukannya karena mengetahui bahwa amalan membaca doa qunut tiap shalat subuh tidak berdasarkan hadis yang dapat dijadikan hujjah. Mungkin terjadi hal sebaliknya. Imam tidak membaca qunut sebagai amalan tetap tiap shalat subuh, sedangkan makmum membacanya meskipun tidak sambil mengangkat kedua tangannya.

Mari kita perhatikan firman Allah Subḥāhu wa Taʻāla di dalamal-Qurʻan, misalnya, pada surat at-Taubah (9): 71

وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang munkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Di dalam ayat itu jelas sekali bahwa shalatyang merupakan salah satu buktiketaatan kepada Allah Subḥānahu wa Taʻāladan Rasul-Nya dapat menjadi penjemput rahmat. Namun, jika shalat pun tidak mengikuti Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam, bagaimana mungkin shalat dapat menjadi penjemput rahmat?

Allahu a’lam

Exit mobile version