BANDA ACEH, Suara Muhammadiyah- Seiring maraknya pembangunan Infrastruktur bendungan oleh Pemerintah Indonesia yang merampas ruang hidup, Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah mengelar Forum Grup Diskusi (FGD) “Proyek Infrastruktur Raksasa: Bendungan dan Solusi Palsu Krisis Air,” di Gedung PP Muhammadiyah Cik Di Tiro, Selasa, (15/08).
Dalam kesempatan tersebut, Ketua PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas turut membuka sesi FGD serta menyampaikan bahwa PP Muhammadiyah dan semua elemen masyarakat sipil akan terus mendorong dilakukannya revisi pemikiran dan revisi alterasi gerakan.
“Gerakan aktualisasi jati diri rakyat kepada birokrasi pemerintah. Saat ini semakin terjadi proses eskalasi yang sangat cepat. Eskalasi tentang proses pembunuhan demokrasi, bukan saja pelemahan demokrasi. Dalam hal ini, demokrasi dan demokratisasi kebijakan negara di bidang kebijakan publik terkait Proyek Strategi Nasional (PSN).”
Busyro Muqoddas menjelaskan di antara Proyek Strategi Nasional yang ia maksudkan adalah bendungan. Namun, bagi dia proyek ini tidak bisa lepas dari PSN yang lain, seperti proyek kerata api cepat Jakarta-bandung. “Apa yang bisa dilihat dari implementasinya ialah bentuk-bentuk imoralitas, seperti langkah-langkah yang tidak menunjukkan kejujuran moral,” ujar Busyro Muqoddas.
Lebih dari itu, Busyro Muqoddas menegaskan bahwa Muhammadiyah akan terus berkhidmat untuk mengawal gerakan rakyat. Mengingat sejak 2016 Muhammadiyah telah melakukan kajian advokasi untuk diperkarakan terkait proyek kereta cepat. Hingga kini semakin banyak perkara-perkara lain yang diadvokasi Muhammadiyah, seperti kasus bendungan di Wadas dan konflik agraria di Pakel.
“Kami konsisten berpihak ikhlas dan kerja keras penuh kewarasan. Semua upaya-upaya yang saya sebut di atas tadi, kita sebagai masyarakat sipil sudah menunjukkan perlawanan dengan cara yang penuh kesabaran dan adab,” tutur Busyro.
Melihat pemerintah yang tidak bergeming melihat protes yang dilayangkan oleh gerakan masyarakat sipil, Busyro Muqoddas menilai bahwa kekuasaan telah terkooptasi oleh kepentingan modal. Maka, FGD yang diselengarakan LHKP PP Muhammadiyah sejalan dengan proses politik, politik-legislasi, dan politik penegakan hukum yang suram mengingat kekerasan oleh aparat masih terus terjadi.
“Ini jelas menunjukkan kesan bahwa korporasi ada di balik semua ini,” ujarnya. Sebelumnya, LHKP PP Muhammadiyah memberikan catatan selama beberapa dekade kebelakang terkait berulangnya tren pembangunan megainfrastruktur. Tren tersebut sekaligus dibarengi adanya kecenderungan loncat mundur orientasi pembuatan kebijakan ke politik-pengabaian hingga paruh kedua dekade 1980-an.
Perencanaan pembangunan yang dilakukan terpusat selalu menghilangkan aspek-aspek kepentingan lokal. LHKP PP Muhammadiyah mengungkapkan salah satu jenis infrastruktur yang dikebut oleh pemerintah adalah bendungan. Pemerintah menargetkan pembangunan 65 bendungan yang terdiri dari 16 proyek lama dan 49 proyek baru.
“Yang menarik, bendungan ini akan dibangun untuk ketahanan air dan kedaulatan pangan, tapi apakah iya? Bagaimana dengan dampak? Bagaimana dampak terhadap alih fungsi lahan?” ungkap Sana Ulailli anggota LHKP PP Muhammadiyah.
Seperti layaknya proyek besar lainnya, proyek-proyek bendungan juga diklaim memiliki fungsi sapu jagat untuk mengatasi banjir, kekeringan, kunci ketahanan pangan, juga ketahanan energi listrik. Namun, pada sisi lain, proyek-proyek bendungan besar seringkali justru menampilkan fakta yang buruk.
Selain itu, LHKP PP Muhammadiyah juga menyebutkan jika terdapat banyak kasus yang menunjukkan pembangunan bendungan selalu dibarengngi dengan menggusur orang-orang dari ruang hidup mereka.
Mulai dari menghilangkan habitat dan spesies yang terancam punah, menyebarkan penyakit yang ditularkan melalui air, menghilangkan dataran banjir dari air dan sedimen banjir yang memberi kehidupan sekaligus meningkatkan kerusakan akibat banjir pada manusia, merusak dan menenggelamkan tempat-tempat yang sangat penting secara budaya atau spiritual.
“Selama ini warga yang berada di tapak bendungan tak mendapatkan kebaikan dari pembangunan. Kita akan memperkaya kerangka perspektif supaya dapat pijakakan yang lebih kuat,” ujar M. Taufiq AR selaku Ketua Bidang Kajian Politik Sumber Daya Alam LHKP PP Muhammadiyah.
Dalam sesi FGD, peserta diskusi meliputi warga terdampak proyek bendungan dan pihak-pihak yang sedang melakukan advokasi terkait proyek bendungan. Mewakili Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) Susi Mulyani selaku Wadon Wadas menegaskan bahwa pembangunan Bendungan Bener menyisakan dampak sosial.
“Ibu-ibu di sana sudah terpecah belah. Saya sebagai ibu melihat bahwa anak-anak merasa trauma. Trauma ini didapat dari kejadian pengepungan aparat yang sudah terjadi sebanyak dua kali,” ucapnya.
Susi menilai pemerintah tidak pernah memikirkan perasaan dan menimbang sikap Warga Wadas. Oleh karenanya, Susi merasa bahwa yang terjadi di Wadas adalah parktik penindasaan pemerintah terhadap rakyat.
“Kami dikepung anjing pelacak. Anak-anak melihat orang tuanya dipukul, diseret.” Kemudian, Susi menuturkan jika Wadas ditambang, warga akan kehilangan pekerjaan. Sebab, perekonomian warga selama ini ditopang oleh kelestarian alam Desa Wadas.
“27 mata air di Desa Wadas akan hilang. Kami tidak akan bisa membuat besek, bikin gula aren. Kebun itu masih kami lestarikan. Jika ditambang, itu semua akan hilang,” ungkap Susi. Menanggangi Susi, Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air, Muhammad Reza menyampiakan kampanye penolakan warga Wadas dibelokkan oleh pemerintah menjadi penolakan tambang, bukan bendungannya. Seakan-akan, menurut Reza jika membangun bendungan itu tidak merusak, padahal keduanya sama-sama merusakan. Proyek Strategis Nasional telah menunjukkan bahwa bukan kebijakannya yang tidak ada, tetapi lingkungan politiknya yang tidak adil.
“Kami merasa agak resah di Wadas. Pembangunan bendungan semakin terlihat membingungkan dan semakin tampak sebagai solusi palsu,” ujar Reza. Indonesia menempati negara keempat terbesar dengan ketersediaan sumber daya air. Jadi, sebenarnya indonesia tidak butuh teknologi berupa bendungan. Justru dengan membangun bendungan menimbulkan persoalan ganda terkait dengan dampak pembangunan.
“Kan sudah clear bendungan itu solusi palsu terkait krisis iklim. Di sebagian kalangan ilmuwan sudah ada konsensus bahwa bendungan ini terang benderang posisinya sebagai solusi palsu,” tutur Reza. Selain itu krisis lanjutannya ialah mengakselerasi aset finansial baru yang dimaksudkan untuk kapitalis. Jika sudah dimasuki kapitalisme, maka akan membuka masalah baru tanpa solusi, sehingga atas nama sanitasi, bendungan dijadikan pembenaran.
Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air mengungkap Indonesia termasuk negara yang buruk dalam hal mengelola sanitasi. Hal tersebut justru berdampak pada pertumbuhan anak-anak. Namun, dalam oprasi pembangunan dengan corak kapitalisme kelangsungan alam dan keselamatan manusia tidak diperhitungkan. Sebab, neo-ekstraktivisme telah mendikte coral pembangunan seolah alam bisa dirusak dan manusia bisa dibunuh dan dimitigasi dengan teknologi lingkungan.
“Kita perlu diskusi serius konsolidasinya. Ini proyek masif, kita melawan uang dan jangka waktunya panjang dan tidak memperdulikan manusia,” tegas Reza. Di tengah ekspansi pembangunan bendungan, pelanggaran HAM sangat memungkinkan terjadi secara sistematis. Sebab, jika ditelisik menggunakan konsep hak atas air dan hak atas tanah mengatur empat indikator: Pertama, air harus bisa diminum; Kedua, kuantitas diatur dalam UU Sumber Daya Air 17/2019; Ketiga, nondiskriminasi; dan keempat keterjangkauan jarak yang tidak boleh lebih dari 1 km dan ekonomi tidak boleh lebih dari 4% dari pendapatan di Indonesia.
Sehingga jika empat indikator ini diterabas, maka pelanggaran yang terjadi sangatlah mendasar. Semua bisa diterabas demi kepentingan perusahaan. “Inilah yang disebut krisis yang didesain. Ambil contoh NTT, daerah itu daerah kering, tapi pertambangan dan air minum kemasan merajalela. Ternyata yang mengambil airnya adalah industri,” ujar Reza.
Ritus Perampasan Ruang Hidup dalam Pembangunan Bendungan
Pembangunan bendungan selalu menyisakan kekerasan dan perampasan ruang hidup. Hal itu ditegaskan oleh Sri Palupi dari The Ecosoc Institute dengan memberberkan jumlah orang yang tergusur di seluruh dunia akibat rencana bendungan yang mencapai angka 40 sampai 80 juta. Di samping itu, anehnya biaya pembangunan bendungan justru naik “50% dari yang sudah direncanakan. Lebih anehnya, beberapa yang dirancang untuk mengurangi banjir, malah memperburuk. Termasuk kepunahan spesies ikan dan burung. Hutan basah juga hilang karena bendungan,” ungkap Palupi.
Sebagai peneliti di Ecosoc, Palupi mendapati realistas bahwa rata-rata bendungan dibangun di atas lahan produksi. Kemudian, pembangunan di era Jokowi bukanlah perkara kelangsungan hidup manusia. “Bendungan menjadi salah satu PSN yang potensial untuk melakukan penggusuran paksa. Bukan hanya kehidupan yang merosot, tapi juga kehilangan nyawa,” tutur Palupi.
Jika ditelisik dari segi aturan, setidaknya ada 9 aturan perundangan terkait bendungan. Dari 9 yang telah Palupi gunakan untuk menilai Pembangunan Bendungan, terdapat tujuh tentang pengadaan tanah dan dua pertauran tentang bendungan, yakni PP 37/2010 tentang Bendungan dan Permen PUPR 27/2015 tentang Bendungan.
Dari bendungan-bendungan yang Ecosoc teliti, ternyata prinsip dan panduan penggusuran berbasis pembangunan ini tidak dijalankan. Jangankan panduan PBB, perundangan tentang proyek pembangunan saja tidak dijalankan. Akibatnya adalah pelanggaran HAM.
“Salah satunya, pelanggaran berbentuk hak atas informasi, ini adalah hak mendasar. Bukan hanya informasi yang tidak valid, justru terjadi manipulasi informasi,” ujar Palupi.
Tak hanya itu pelanggaran hak berpartisipasi dan hak tempat tinggal yang layak juga turut ditrabas oleh pemerintah. Menurut Palupi di sektor inilah pemerintah banyak menerbas aturan secara habis-habisan. Sebab, sebelum penenggelaman, ganti rugi harus selesai, tapi faktanya tidak demikian. Lebih lagi, hak untuk menyatakan pendapat, hak atas pekerjaan dan tanah, hak standar kehidupan, air, dan rasa aman juga tidak ada.
Bahkan, ungkap Palupi sebelum evakuasi warga dilakukan, area bendungan sudah dibom untuk pembangunan. Lalu, situs budaya juga turut disikat ditenggelamkan. Dari semua itu, terjadi penyingkiran hak atas hidup.
“Artinya bendungan mengabaikan manusia sebagai faktor utama. Pembangunan yang menghilangan faktor manusia harus dilawan,” ujar Palupi. Terakhir, Ki Bagus Hadi Kusuma mewakili LHKP PP Muhammadiyah juga menyoroti bendungan terkait PLTA. Menurut Bagus PLTA ini sama dengan pembangkitan yang diklaim energi terbarukan. Kemudian, terjadi dikotomi atara bersih dan tidak bersih.
“Kalau bicara energi bersih, ini kan tidak hanya bicara soal sumber energi, tapi ada korban banyak,” ujar Bagus. Jebakan dikotomi ini sejak awal menjadi senjata untuk melemahkan gerakan warga. Setiap gerakan perlawanan bendungan, bagi Bagus pasti disudutkan dengan tuduhan menolak pembangunan dan energi bersih. Oleh karena itu, jebakan dikotomi bersih dan tidak bersih harus dipathakn karena sudah digunakan sejak lama.
“Pembangunan yang menghilangkan manusia, itu yang kita lawan. IKN akan dipasok dari PLTA raksasa Mentarang dan Kayang. Dua PLTA ini, salah satunya yang akan ditenggelamkan 12 ribu hektar. Ini belum termasuk elemen manusianya dan ekologi. Bentang alam Kayang itu total 5.700 km dan itu habitat hutan hujan tropis,” tutup Bagus.