Distingsi Sunni dan Syiah (Bagian ke-1)

Distingsi Sunni dan Syiah (Bagian ke-1)

Oleh: Donny Syofyan

Tulisan ini mengupas distingsi atau perbedaan sektarian dalam Islam. Perbedaan ini berawal dari sengketa menyangkut suksesi politik pasca mangkatnya Rasulullah SAW. Hal ini kemudian merembet kepada perbedaan doktrinal. Maknanya, perbedaan doktrinal (akidah, fikih, ibadah, dsb) hanyalah dampak dari perbedaan politik tersebut. Islam Sunni dikenal dengan 4 madzhab—Hanafi, Maliki, Syafi`i, dan Hanbali—yang meliputi 90 dari totalitas populasi Muslim di dunia. Islam jauh lebih beruntung secara komparatif karena tidak didera perpecahan akut mengingat 90% adalah Muslim Sunni. Ada juga sekte kecil bernama Khawarij. Meskipun jumlahnya sangat kecil, kelompok ini sekarang ditemui di beberapa desa di Aljazair dan Oman. Kelompok ini lagi-lagi lahir karena perpecahan politik. Mereka menolak keabsahan khalifah ke-4 Ali bin Abi Thalib. Hemat mereka, Ali tidak cukup saleh, bukan ‘urang siak’ sehingga mereka menarik diri darinya.

Sekte Islam lainnya, dan yang paling penting diperbincangkan, adalah Syiah. Kata Syiah adalah bentuk jamak dari kata ‘syi`i’ yang kemudiankan diinggriskan menjadi Shiites. Ia menjadi terkenal sebab Syiah adalah denominasi (kelompok agama) yang mayoritas atau menguasai Iran, separo populasi Irak, sepertiga populasi Pakistan (20 juta) dan mayoritas masyarakat Azerbaijan. Inilah empat tempat kita bisa menemukan banyak kelompok Syiah. Di negara-negara Barat, mereka tidak terlalu banyak. Mereka punya beberapa masjid di US dan UK dan sedikit di Australia. Saya sempat mengunjungi beberapa masjid mereka di sana, seperti Masjid Fatima Al-Zahra di Sydney (masjid Syiah terbesar di Aussie) dan juga di tempat saya tinggal di Melbourne, yakni the Ahlulbait Mosque. Diaspora Muslim Syiah memang tidak sebesar diaspora Muslim Sunni.

Poin perbedaan dan perpecahan antara Sunni dan Syiah awalnya adalah perkara politik, yakni menyangkut legitimasi suksesi kepemimpinan pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW; siapa yang sah menjadi pemimpin kaum Muslimin setelah Nabi Muhammad. Syiah percaya bahwa Ali, menantu Rasulullah dan juga sepupu beliau, harus menggantikannya sebagai khalifah. Kita beroleh nama Syiah sebab mereka adalah kelompok (syiah) Ali. Sementara kaum Sunni yakin bahwa Abu Bakar-lah—sahabat terdekat Rasulullah—yang berhak menjadi khalifah pertama. Dan memang Abu Bakar akhirnya menjadi khalifah yang pertama. Jadi sekali lagi ini awalnya adalah perpecahan politik (الانقسام السياسي) bukan perbedaan madzhab (الخلافات في المذهب).

Pada waktu itu belum ada istilah syi`ah, yang adalah adalah Rafîdhah, yang artinya penolak. Tapi untuk memudahkan kategori kita sebut saja Syiah dan Sunni. Kelompok Sunni yakin bahwa Nabi tidak menunjuk seseorang sebagai penguasa politik setelah beliau. Seperti halnya Musa yang adalah seorang nabi dan negarawan, Muhammad adalah juga seorang Rasul tapi pada saat yang sama beliau juga seorang pemimpin negara (tapi bukan negara yang kita pahami dalam konteks modern hari ini) dan hakim. Beliau menetapkan hukum Allah buat masyarakat sebagaimana kita telaah dari ribuan hadits beliau. Ketika beliau wafat, maka tugas kenabian berakhir. Tak seorang pun dari pengikut beliau yang menjadi seseorang untuk menerima wahyu berikutnya. Al-Quran pun menegaskan beliau sebagai penutup para nabi (khatamul anbiyâ’).

Lalu bagaimana dengan aspek-aspek politik? Ada negara yang harus tetap dijalankan, sebuah entitas politik, katakanlah kelompok masyarakat yang harus diatur, ditata dan dikelola. Nabi sendiri tidak menetapkan pengganti beliau menjalan peran politik, pemerintahan dan tentu juga keagamaan pasca beliau. Lalu kaum Muslimin berkumpul di Saqîfah Bani Sâ`idah (سقيفة بني ساعدة)— lokasi di mana beberapa sahabat Nabi berkumpul dan menjanjikan kesetiaan (bay`at) mereka kepada Abu Bakar, sebagai penerus Muhammad dan khalifah pertama. Abu Bakar dianggap paling popular dan sahabat terdekat Nabi. Maka secara de facto beliau ditetapkan sebagai person-in-charge bagi kalangan Muslimin. Pada saat yang sama, sebagian keluarga Nabi punya pandangan yang berbeda bahwa Ali-lah yang berhak memimpin kaum Muslimin sebagai khalifah. Ketidakpuasan atas terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah kemudian mendorong terwujudnya faksi-faksi yang pro-Ali yang kemudian dikenal sebagai Syi`ah.

Terus terang, Sunni lebih inklusif ketimbang Syiah sebab Sunni mengakui dan menghormati Ali. Buktinya Ali menjadi khalifah yang keempat, berbeda dengan Syiah yang eksklusif sebab tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab hingga Utsman bin Affan. Sama hanya beda antara Islam dan Nasrani dan Yahudi. Islam mengakui Musa dan Isa, sementara Yahudi hanya mengakui Musa tapi tidak Isa dan Muhammad, sebagaimana Nashrani tidak mengakui Muhammad.

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Exit mobile version