Oleh: Donny Syofyan
Syiah tetap bersikukuh bahwa khalifah pertama seharusnya Ali. Mereka tetap tak bisa menerima meski Ali akhirnya tetap sebagai khalifah ke-4. Mereka yakin bahwa Nabi Muhammad secara eksplisit menyatakan Ali sebagai penggantinya setelah wafat. Implikasinya, kaum Syiah menganggap bahwa Abu Bakar merebut kekuasaan dari Ali. Hal ini tidak bisa diterima oleh kalangan Sunni sebab Abu Bakar sahabat terbaik dalam keimanan, demikian juga Umar dan Utsman. Lebih jauh, Syiah menegaskan bahwa kaum Muslimin yang menerima kekhalifan Abu Bakar, Umar dan Utsman juga bukanlah Muslim yang baik, bahkan kafir.
Tapi sebagaimana keniscayaan dalam sejarah, perbedaan politik bakal mewarnai perpecahan doktrinal. Kelompok Syiah ternyata memiliki ajaran-ajaran yang berbeda dengan Sunni. Yang paling mencolok adalah menyangkut sumber otoritas keagamaan. Muslim Sunni menerima dan mengakui Al-Quran, hadits, dan beberapa hal lainnya semisal ijmâ` (اجماع) dan qiyâs (قياس) sebagai sumber-sumber pengambilan keputusan dan hukum. Tapi orang Syiah mengatakan, “Tidak. Kami mengakui Al-Quran dan kami menerima sebagian hadits sebagai sumber hukum dan otoritas kedua. Tapi kami lebih tertarik dengan penafsiran hukum yang disampaikan oleh para keturunan Nabi lewat jalur Fathimah yang menikahi khalifah Ali.
Pada abad ke-2 dan 3 Islam, kita mendapati sebuah teori bernama ‘kemaksuman 12 imam’ (عصمة الأئمة الإثني عشر)—`ishmah al-aimmah al itsnâ `asyara—yang merupakan keturunan Rasulullah. Mereka semua adalah ‘terlepas dari dosa/kesalahan معصومون من الخطأ baik dalam ucapan maupun tindak tanduk. Inilah titik sentral Syiah yang menyebabkannya berseberangan dengan ajaran Islam Sunni, sebab Muslim Sunni tidak mengakui adanya imam yang 12, apatah lagi bersifat ma`shum.
Imam Syiah yang ke-12 atau yang terakhir adalah Muhammad al-Mahdi. Dia menghilang dan menurut mayoritas Syiah ia tengah bersembunyi dan akan keluar begitu waktunya tiba menjelang hari kiamat. Ia adalah Imam Mahdi, mahdi artinya ‘yang dipandu.’ Nah, imam yang bersembunyi diyakini menjalin komunikasi mistik dengan para pemimpin tertentu dalam hierarki kelompok Syiah. Kaum Sunni tidak mengenal dan mengakui hierarki. Sebaliknya Syiah menganut dan mengakui hierarki, sama halnya dengan doktrin Katolik yang menganut hierarki. Maka para imam ini adalah sumber inspirasi bagi kaum Syiah bersama dengan Ali. Kelompok Syiah Dua Belas Imam (itsna asyariyah) adalah kelompok mayoritas dalam kelompok Syiah.
Tapi ada juga kelompok minoritas dalam kelompok Syiah, yakni kelompok Isma`iliyah. Mereka menamai diri mereka Isma`iliyah sebab mengikuti putra tertua dari imam ke-6, Ja`far ash-Shadiq, dan keturunannya, yakni Isma`il bin Ja`far, sesuatu yang tidak dilakukan oleh Syiah Dua Belas Imam. Perlu dicatat, kelompok Syiah masih bersatu padu hingga imam ke-6 yakni Ja`far ash-Shadiq. Perpecahan justru mulai terjadi pasca Ja`far ketika kelompok Syiah berbeda pendapat siapa imam berikutnya di antara anak-anak Ja`far. Musa al-Ja`far dipilih sebagai Imam Syiah ke-7 sementara kakaknya Isma`il al-Ja`far memisahkan diri. Pengikutnya menamai kelompok mereka Isma`iliyah. Kelompok ini tidak memercayai imam yang dua belas. Hemat mereka, suksesi para imam terus berlanjut hingga hari, tidak pernah putus.
Sekte Isma`iliyah utama hari ini yang mengklaim sebagai Imam Syiah Isma`iliyah adalah Aga Khan IV, yang merupakan imam ke-49 dari kalangan Isma`iliyah. Ia sangat kaya raya. Forbes memasukannya dalam deretan keluarga darah biru terkaya di dunia dengan total kekayaan 13.3 milyar dolar pada 2021. Ia seorang banker internasional yang memiliki asosiasi dengan PBB. Ada sekitar 3 atau 4 juta pengikuti Syiah Isma’iliyah di dunia hari ini. Banyak yang berdomisili di tempat-tempat terpencil, beberapa ada sekelompok warga Asia yang menetap di Kenya, ada juga yang memilih tinggal di lokasi-lokasi terisolir di India, di Badakhshan (propinsi ke-34 di Afghanistan) dan mereka jaringan diaspora yang lumayan intens di Barat.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas