Oleh: Dr. Mahli Zainuddin Tago, M.Si
Jalan Lingkar Barat Jogja, Jumat 25 Agustus 2023. Tepat pukul 11.20 aku keluar dari Kampus Terpadu UMY. Tujuanku sebuah masjid di seberang kampus dimana aku terjadwal khutbah hari ini. Tiga bulan lalu aku tidak bisa khutbah disini karena sedang di luar kota. Lima belas menit kemudian sesampai di halaman masjid aku terkejut. Pertama, masjid ini berbeda sepenuhnya dengan yang aku lihat sebelumnya. Padahal rasanya aku sering lewat di depannya. Tetapi memang tidak memperhatikan. Apalagi memasukinya. Masjid ini kini berlantai dua, megah, rapi, dan bersih. Kedua, ketika turun dari mobil aku dijemput seorang senior yang lama tak jumpa. Ketiga, setelah naik mimbar di antara jamaah Jumat nampak seorang yang jauh lebih senior. Maka keterkejutanku berubah menjadi sedikit gugup. Kejutan-kejutan ini membuat aku merasa masuk lorong waktu. Mundur ke belakang ke era 1980-an dan era-era sesudahnya.
Masjid ini bernama Husnul Khatimah. Ketika UMY mulai menempati Kampus Terpadu pada 1997 bangunan masjid ini sederhana saja. Demikian juga masjid-masjid kampung sekitar lainnya. Kampung sekitar UMY pun masih sepi. Masih banyak sawah dan kebun. Juga pekarangan rumah penduduk yang luas. Seiring dengan perkembangan UMY maka kampung-kampung ini berkembang pesat. Puluhan ribu mahasiswa UMY, belakangan ditambah dua kampus lain, menyerbu kampung ini. Lalu banyak juga dosen dan karyawan membangun rumah disini. Maka tidak banyak lagi lahan kosong di kawasan subur ini. Hamparan padi menguning berganti lautan rumah hunian, kos-kosan, pertokoan, dan kios-kios. Masjid-masjid sekitar kampus UMY pun makin makmur. Jamaah makin banyak. Pemasukan bertambah. Bangunan masjid mengalami pembangunan demi pembangunan. Termasuk Masjid Husnul Khatimah.
Kini Masjid Husnul Khatimah tidak lagi mungil. Bangunannya moderen dan halamannya luas. Di bagian belakang berderet kama-kamar kos. Di halaman tepi jalan, tersedia tempat parkir mobil yang nyaman. Membuat pengendara mudah singgah untuk shalat. Atau sekedar beristirahat. Hadirnya penduduk baru yang relatif berstatus sosial ekonomi lebih mapan membuat masjid ini makin berkembang. Lahan masjid awalnya hanya 300 meter persegi. Berasal dari tanah wakaf. Kini masjid memiliki lahan lebih 1.000 M2 di sebelah baratnya. Dibelakang masjid disediakan 4 kamar untuk para hafidz. Mereka bertugas menjaga hidupnya kehidupan berjamaah sebagai muadzin, imam, dan ustadz cadangan. Maka ke depan masjid ini potensial berkembang lebih lanjut. Terutama dengan pemanfaatan lahan untuk usaha-usaha produktif. Hadirnya banyak dosen UMY sebagai jamaah tentu bisa melahirkan ide-ide segar. Bagi pendayagunaan masjid maupun pemberdayaan masyarakat di sekitarnya.
Perubahan sosial yang dahsyat memang telah terjadi di kampung-kampung sekitar UMY. Perubahan sosial adalah perubahan pola budaya, struktur sosial, dan perilaku sosial dalam periode tertentu (Roberrtson, 1983: 593). Sumbernya adalah pertambahan jumlah penduduk, penemuan dan inovasi teknologis, dan perubahan ideologi. Pada umumnya lembaga-lembaga politik, keagamaan, dan ekonomi suatu masyarakat terpadu dan terjalin sedemikian rupa satu sama lain. Sehingga suatu perubahan pada suatu lembaga mungkin sekali akan diikuti oleh perubahan pada lembaga lainnya (Soemardjan, 1981: 303-304). Kehadiran UMY dengan puluhan ribu civitas akademika di Tamantirto, khususnya di seputar Masjid husnul Khatimah, terbukti telah menimbulkan perubahan dalam berbagai bidang kehidupan disini. Tentu ini menjadi hal yang menarik untuk menjadi tema penelitian yang lebih mendalam.
Turun dari mobil aku disambut Kang Nasabun, salah seorang takmir. Bertemu beliau membawa anganku terbang ke era awal 1990-an. Ini masa aku masuk kembali ke Jogja selesai tugas belajar di Pondok Shabran-UMS Solo. Aku menjalani masa pengabdian di Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Jogja yang mengutus aku tugas belajar. Jabatan resmiku Sekretaris Eksekutif (SE) PDM. Tugasku melakukan notulensi, mengonsep, mengetik, dan mengantar surat. Ini pekerjaan yang pernah aku jalani selama setahun sebelum kuliah sebagai bagian dari Tata Usaha (TU) di Muallimin. SE ini bagian dari TU PDM yang kepalanya adalah Pak Nasabun. Selain aku ada karyawan senior lainnya yaitu Pak Ibnu, Mbak Susi, dan Cak Edy Suyanto. Kini mereka sedang menikmati masa pensiun. Tetapi aku hanya tiga bulan menjadi SE PDM karena diterima menjadi dosen UMY. Pertemuan dengan Pak Nasabun menghadirkan kenangan indah semasa menjadi SE PDM Jogja ini.
Ketika naik mimbar untuk khutbah aku lebih terkejut. Salah satu jamaah ternyata Prof. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah. Beliau jamaah tetap masjid ini. Ketika berada di Jogja selalu shalat Jumat di masjid ini. Melihat beliau membawa anganku terbang jauh ke belakang lagi. Ke era 1980-an. Pada 1984 aku tinggal satu rumah dengan beliau. Saat itu beliau masih mahasiswa dan menjadi Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM). Salah satu program PP IPM adalah Asrama Pelajar Muhammadiyah Kyai Haji Mas Mansur. Prof Haedar menjadi salah satu pembina asrama. Beberapa siswa SMA Muhammadiyah-1 Jogja menjadi siswa binaan. Aku salah satunya. Kehadiran tokoh nasional ini tentu menambah tekanan psikologis bagi khatib yang adalah yunior jauhnya ini. Tetapi mau bagaimana lagi. Khutbah harus berlanjut. Untungnya aku sudah lama kenal beliau. Sehingga kegugupan bisa sedikit ditekan.
Tema khutbahku kali ini adalah semangat berbagi. Sebuah tema yang sering aku sampaikan di berbagai kesempatan. Awalnya aku akan berkhutbah tentang kerukunan atau integrasi sosial. Tetapi banting stir ketika melihat perekembangan yang dahsyat dari Masjid Husnul Khaatimah ini. Bahwa pribadi maupun masyarakat tentu mengalami perubahan. Seseorang atau kelompok orang yang mengalami kemajuan pasti memiliki semangat yang hebat. Salah satunya adalah semangat memberi atau berbagi. Contoh pada skala besar adalah perkembangan organisaasi Muhammadiyah. Ormas ini terkenal dengan amal usahanya. Paska Muktamar ke-48 jumlahnya melampaui angka 35.000. Bentuknya lembaga keagamaan, pendidikan, kesehatan, sosial, maupun ekonomi. Salah satunya adalah masjid Husnl Khatimah. Di belakang masjid yang megah ini tentu ada orang-orang yang suka berbagi. Mereka yang tanpa lelah membangun dan memakmurkan masjid ini.
Untuk bisa berbagi maka orang harus memiliki kelebihan. Serba kekurangan membuat sulit merasakan kenikmatan berbagi. Untuk itu seorang muslim harus bekerja lebih keras. Tentu dalam bidang dan peran masing-masing. Dosen, misalnya, harus belajar terus agar bisa memiliki ilmu-ilmu terbaru. Demikian juga mahasiswa. Pegawai bekerja melebihi kewajiban untuk bisa membuka pintu-pintu rezeki yang lebih luas. Kelebihan yang bisa dibagikan bisa dalam berbagai bentuk. Orang yang memiliki kelebihan harta berbagi dalam bentuk zakat, infaq, maupun shadaqah. Seorang dosen atau guru bisa berbagai ilmu di dalam maupun di luar kelas. Berbagi juga bisa dalam bentuk tenaga. Bahkan juga dalam bentuk perasaan. Memudahkan sesuatu yang sulit dan tidak mempersulit sesuatu yang mudah juga bentuk berbagi. Bahkan senyuman merupakan bentuk berbagi sebagaimana hadits nabi “Senyummu kepada sesama saudaramu adalah sedekah.”
Tentu ada banyak faedah yang bisa diperoleh orang orang yang suka berbagi. Pada awal khutbah aku mengutip Q.S. Al- Lail “Wa man a’tha wattaqa wa shaddaqa bil husna fasanuyassiruhu lis yusra.” Ayat ini menegaskan bahwa bagi orang yang suka berbagi akan dimudahkan ke jalan yang mudah. Selanjutnya orang yang pelit atau tidak suka berbagi akan dimudahkan ke jalan yang sulit. Secara khusus aku mengajak kepada mahasiswa yang banyak terlihat sebagai jamaah Jumat untuk juga suka berbagi. Tentu bukan dalam bentuk harta. Mereka pada umumnya belum pada tahap memiliki banyak harta. Masih bergantung pada orang tua. Mahasiswa bisa berbagi dalam bentuk ilmu. Misalnya kepada anak-anak di kampung yang ingin belajar mengaji maupun menperdalam pelajaran sekolah. Dalam hal ini mahasiswa bisa berbagai dengan menjadi guru TPA atau guru bimbingan belajar bagi anak-anak tersebut.
Selesai shalat Jumat aku bertemu dengan Mas Asykuri. Beliau ternyata ketua takmir Masjid Husnul Khatimah. Pertemuan dengannya membawa anganku terbang ke era 2000-an. Pada masa itu kami bersama di LP3M UMY. Kini beliau dosen di Universitas Aisyiyah Yogyakarta. Pada periode Muktamar ke-48 beliau menjadi Sekretaris Majelis Tablig PP Muhammadiyah. Jabatan yang pernah pernah aku pegang paska Muktamar dua periode sebelumnya. Ketika itu ketua majelis ini adalah Mas Dokter Agus Sukaca, teman se angatan Prof. Haedar di PP IPM. Sayangnya aku tidak bertemu Widodo Iman alumni FAI UMY era 1990-an yang juga takmir masjid ini. Widodo alumni UMY yang menikah dengan remaja masjid Husnl Khatimah ini. Dia shalat Jumat di masjid lain. Padahal dia yang mengingatkan aku akan jadwal khutbah hari ini. Tetapi aku bertemu alumni FAI UMY lainnya yang tidak kalah menariknya. Namanya Ramli si anak Minang.
Pertemuan dengan Si Ramli membawa anganku melayang ke era 2010-an. Saat itu malam sudah larut di Kambang-Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Aku dalam perjalanan menuju kampung halaman di Kerinci. Mobil yang membawaku berhenti menurunkan seorang penumpang. Dia adalah Si Ramli mahasiswaku di FAI-UMY. Dia pulang ke kampung halaman di Kambang. Dari Jogja menuju Padang ternyata kami satu pesawat. Ketika aku tanya dari bandara ke Kambang mau naik apa dia menjawab “saya nyari masjid untuk nginap semalam. Besok baru naik angkutan umum.” Si Ramli tipe anak muda Minang, seperti aku dulu, berangkat ke Jogja lebih pada modal semangat. Untuk itu dia membantu saudaranya jualan di Malioboro dan menerima order menjahit. Dia juga menjadi marbot dan guru TPA Masjid Husnul Khatimah. Kali ini aku bertemu lagi Ramli di masjid yang sama. Tetapi dia tidak lagi mahasiswa S-1. Kini Ramli adalah mahasiswa pada Program Doktor di UMY.
Tamantiro, 29 Agustus 2023
Dr. Mahli Zainuddin Tago, M.Si, Dosen UMY, Wakil Ketua V Majelis Pendayagunaan Wakaf PP Muhammadiyah