Shalat untuk Menjemput Rahmat (23)
Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Nifʻan Nazudi
Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (22) telah diuraikan bahwa makmum tidak boleh menyelisihi imam dalam hal rukun shalat. Untuk penguatan pemahaman kita tentang hal itu, berikut ini disajikan kutipan hadis, yang artinya, “Diriwayatkan dari az-Zuhriy, dia berkata, Saya mendengar Anas bin Malik berkata, Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam baru saja jatuh dari kuda; kemudian, terseret bagian badannya sebelah kanan. Kemudian, kami masuk ke rumah beliau untuk menengoknya. Lalu, datanglah waktu shalat. Kemudian, beliau shalat sambil duduk bersama kami. Kemudian, kami pun shalat di belakang beliau sambil duduk. Setelah selesai shalat, beliau bersabda, Sesungguhnya, imam (shalat) itu diangkat untuk diikutinya, maka apabila ia telah bertakbir, bertakbirlah kamu. apabila ia sujud, bersujudlah kamu, dan apabila ia mengangkat kepala, angkatlah kepalamu, dan apabila ia mengucapkan samiʻallāhu liman ḥamidah, (Allah mendengarkan orang-orang yang memuji-Nya), ucapkanlah Rabbana wa lakalhamd (Ya, Tuhanku, hanya bagi-Mu segala pujian) dan apabila ia shalat sambil duduk, shalatlah kamu sekalian sambil duduk.”
Dalam hal bacaan, dapat terjadi perbedaan antara makmum dan imam, Hal yang perlu kita pahami kembali adalah bahwa perbedaan bacaan itu tidak menjadi masalah asalkan merujuk pada tuntunan Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Berkenaan dengan itu, kiranya kita tidak perlu ragu jika menjadi makmum pada imam shalat yang berbeda bacaannya dengan kita. Sebaliknya, jika menjadi imam shalat dengan makmum yang berbeda bacaannya dengan kita, kita tidak perlu ragu juga mengamalkan bacaan yang kita pilih berdasarkan tuntunan Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Tidak perlu kita menyesuaikan dengan kebiasaan bacaan makmum yang tidak merujuk pada tuntunan beliau.
Sebagai ilustrasi perlu dikemukakan beberapa hal berikut: jika menjadi makmum pada imam shalat yang melisankan niat shalatnya misalnya Uṣalli farḍal magribi ṡalāṡa rakaʻātim mustakbilal qiblati adāʻan imāman lillāhi taʻālā, kita tidak perlu mengikutinya dengan melisankan niat shalat. Pada shalat yang bacaan al-Fatihah dan ayat atau surat dari al-Qurʻan dilakukan secara jahr, imam membaca rabbig firlī waliwālidayya setelah membaca wa lad-dāllīn, kita tidak perlu ikut membacanya juga. Pada shalat subuh, imam membaca doa qunut, maka kita tidak perlu ikut membaca qunut.
Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (23) ini diuraikan lagi beberapa hal yang problematik dalam hubungannya dengan shalat berjamaah dengan fokus makmum masbuq.
Ṣaf bagi Makmum Masbuq
Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (21) telah dikemukakan arti kutipan HR Abū Dawud, “Suatu ketika Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam shalat maghrib. Saya datang. Lalu, aku berdiri di sebelah kirinya, maka beliau mencegah aku dan menjadikan aku di sebelah kanannya. Kemudian, datang temanku, maka kami berbaris di belakangnya.” Berdasarkan hadis tersebut, jika imam laki-laki dengan makmum laki-laki hanya seorang, posisi makmum tersebut berada di sebelah kanan imam.
Telah diuraikan juga jika datang seorang makmum laki-laki kedua, makmum yang semula berada di sebelah kanan imam, mundur sehingga berada di belakang imam, sedangkan makmum kedua berada di sebelah kiri makmum pertama. Hal yang perlu kita pahami adalah bahwa makmum kedua tidak perlu menepuk pundak makmum pertama.
Jika datang makmum laki-laki ketiga, dia menempatkan diri di sebelah kanan makmum yang sudah membentuk ṣaf. Jika datang lagi makmum laki-laki selanjutnya, dia menempatkan diri di sebelah kiri makmum yang sudah membentuk ṣaf.
Persoalan yang timbul adalah bagaimana jika makmum kedua yang datang setelah makmum pertama berdiri di sebelah kanan makmum pertama itu sehingga terbentuk satu ṣaf. Jadi, imam dan dua orang makmum itu berdiri dalam satu baris. Akibatnya, imam tidak berada di depan makmum. Dengan sendirinya, makmum tidak berada di belakang imam. Hal itu dapat terjadi karena makmum pertama belum sempat mundur, sedangkan makmum kedua langsung berdiri di sebelah kanannya. Mungkin juga hal itu terjadi karena makmum pertama dan makmum kedua tidak mengetahui kaifiatnya.
Agar berada di depan makmum, jika memungkinkan, imam dapat melangkah maju sehingga makmum berada di belakangnya. Perlu juga diusahakan agar imam tidak berada di sebelah kiri-depan makmum, tetapi di depan-tengah kedua orang makmum itu.
Bagaimana jika makmum kedua datang ketika imam dan makmum pertama sedang dalam posisi duduk pada taḥiyyat awal? Makmum pertama tetap duduk untuk melanjutkan taḥiyyat awal, sedangkan makmum kedua melakukan takbitatul iḥram lalu duduk untuk mengikuti taḥiyyat awal, tetapi menempatkan diri di belakang imam. Dapat juga dia menunggu imam berdiri untuk mengerjakan rakaat selanjutnya. Jadi, dia tidak mengikutinya duduk taḥiyyat awal. Jika sudah berdiri mengikuti imam untuk mengerjakan rakaat selanjutnya, makmum yang datang pertama, mundur agar satu ṣaf dengan makmum kedua yang sudah berdiri di belakang imam.
Persoalan selanjutnya adalah di mana posisi makmum masbuq jika ṣaf pertama sudah terisi penuh? Dia mendirikan ṣaf kedua dari tengah, bukan dari samping, baik samping kanan maupun kiri.
Masih ada lagi hal yang perlu kita pahami juga. Jika makmum baru memperoleh satu atau dua rakaat pada shalat zuhur, asar, magrib, atau isya’, sedangkan imam mengerjakan duduk taḥiyyat akhir, makmum harus mengikuti imam mengerjakan duduk taḥiyyat akhir juga termasuk membaca tasyahud akhir. Lalu, kapan makmum berdiri? Makmum berdiri setelah imam mengucapkan salam kedua secara sempurna.
Batasan Rakaat bagi Makmum Masbuq
Di dalam Himpunan Putusan Tarjih Jilid I (hlm. 117) dinyatakan, Apabila kamu mendatangi shalat berjamaah dan mendapati imam sudah mulai melakukan shalat, bertakbirlah kamu, lalu kerjakan sebagaimana yang dikerjakan oleh imam dan jangan kamu hitung rakaatnya, kecuali jika kamu sempat melakukan rukuk bersama-sama dengan imam. Hal ini didasarkan hadis HR Abū Dawud, al-Hakim, dan Ibnu Khuzaimah dari Abū Hurairaḥ, yang artinya, “Dari Abū Hurairaḥ raḍiyallāhu ‘anhu (dilaporkan bahwa) ia berkata, Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, Apabila kamu datang untuk shalat (berjamaah), padahal kami sedang sujud, sujudlah, dan kamu jangan menghitungnya satu rakaat, dan barangsiapa menjumpai rukuknya imam, berarti dia menjumpai shalat (rakaat sempurna).”
Berdasarkan hadis tersebut, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyimpukan di dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 5 (hlm. 137) yang substansinya sebagai berikut: (1) bahwa makmum masbuq langsung melakukan takbir dan langsung mengikuti gerakan-gerakan yang dilakukan oleh imam dan (2) bahwa makmum masbuq yang sempat menunaikan rukuk mengikuti imam kemudian dia mengikuti imam melakukan iktidal dan mengikuti imam melakukan sujud, dia sudah dianggap menunaikan satu rakaat penuh betapapun dia tidak sempat membaca al-Fatihah bersama-sama imam.
Di dalam HR al-Bukhari dan Muslim dari Abū Hurairaḥ dan HR ad-Daruquthni yang disahihkan oleh Ibnu Hibban dijelaskan, yang artinya, “Barangsiapa mendapati (imam) rukuk sebelum berdiri tegak dari rukuknya, maka dia berarti telah mendapati rakaat sempurna.” Hadis-hadis tersebut tidak bertentangan dengan hadis yang mewajibkan membaca al-Fatihah di dalam shalat. Hubungan hadis-hadis tersebut adalah hubungan umum dan khusus. Di dalam usul fiqih ketentuan umum selalu ada pengkhususannya (pengecualiannya).
Di dalam hadis-hadis yang artinya telah dikutip itu digunakan kata rakʻatan (rakaat), bukan rukuʻan (rukuk). Sesuai dengan pengertian satu rakaat, makmum yang dapat mengerjakan rukuk, iktidal, dan sujud mengikuti imam, dia dinyatakan telah melaksanakan semua amalan dalam satu rakaat, termasuk di dalamnya membaca surat al-Fatihah.
Makmum Masbuq pada Shalat Jahr
Pada shalat berjamaah magrib, isya’, dan subuh, pada rakaat pertama dan rakaat kedua, imam shalat membaca surat al-Fatihah dan ayat atau surat dari al-Qurʻan secara jahr. Namun, pada rakaat ketiga pada shalat magrib; pada rakaat ketiga dan keempat pada isya’, dia membaca secara sir. Pada shalat dengan bacaan jahr, makmum dapat mengetahui bacaan imam shalat. Ketika imam sedang membaca al-Fatihah dan ayat atau surat dari al-Qurʻan, maka makmum pun mengetahuinya. Dengan demikian, dia dapat melakukan apa yang seharusnya. Dia tidak perlu membaca doa iftitah, tetapi dapat langsung membaca taʻawuz, basmalah, lalu surat al-Fatihah meskipun tidak sampai selesai karena membaca surat al-Fatihah merupakan salah satu rukun shalat sebagaimana telah diuraikan pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (6).
Berkenaan dengan hadis-hadis tentang bacaan surat al-Fatihah bagi makmum tersebut, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat bahwa hadis tentang kewajiban makmum membaca surat al-Fatihah tersebut tidak bertentangan dengan kandungan isi surat al-Aʻraf (7): 204,
وَاِذَا قُرِئَ الْقُرْاٰنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهٗ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Jika dibacakan Al-Qur’an, dengarkanlah (dengan saksama) dan diamlah agar kamu dirahmati.”
Berikut ini disajikan butir-butir penjelasan Majelis Tarjih dan Tajdid di dalam buku Tanya
Jawab Agama Jilid 5 (hlm. 35) tentang bacaan surat al-Fatihah bagi makmum masbuq, yang
substansinya adalah sebagai berikut:
- Bila makmum menjumpai bacaan al-Fatihah imam jahr, dia wajib mendengarkan dan ikut membaca dalam hati bersama dengan imam.
- Bila imam membaca sir, makmum wajib membaca al-Fatihah.
- Bila imam membaca jahr dan makmum tidak menjumpai al-Fatihah imam, makmum mendengarkan bacaan imam.
(Baca juga: https://suaramuhammadiyah.id/2023/04/13/shalat-untuk-menjemput-rahmat-6/)
Makmum Masbuq pada Shalat Sir
Pada shalat zuhur dan asar, imam membaca surat al-Fatihah dan ayat atau surat al-Qurʻan secara sir. Hal ini tentu membuat makmum masbuq tidak mengetahui apa yang sedang dibaca oleh imam. Berkenaan dengan itu, dia dapat langsung takbiratul iḥram, bersedekap, membaca taʻawuz, basmalah, lalu membaca surat al-Fatihah. Jika masih ada waktu, dia dapat membaca ayat atau surat dari al-Qurʻan.
Jika waktu tidak cukup untuk membaca surat-Fatihah sampai selesai karena imam mengerjakan rukuk, makmum ikut rukuk juga. Hal ini sesuai dengan tuntunan Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dijelaskan di dalam hadis-hadis yang telah dikutip artinya pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (22) dan hadis yang diriwayatkan oleh az-Azuhriy yang artinya telah dikutip pada bagian awal Shalat untuk Menjemput Rahmat (23) ini yang substansinya bahwa makmum tidak boleh menyelisihi imam dalam hal yang bersifat rukun.
Allahu aʻlam
Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah, tinggal di Magelang Kota
Nif’an Nazudi, dosen al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Purworejo