Oleh: Donny Syofyan
Salah satu hal yang menarik tentang orang-orang Islam bahwa mereka tidak menatap kecemasan atau kekhawatiran sebagaimana orang-orang di luar Islam menakutinya. Kenapa? Karena Al-Qur’an sudah menjernihkan dan mengoreksi apa yang baik dan buruk dilihat dari pandangan manusia. Sebagai misal, harta dan anak adalah perhiasan kehidupan dunia (QS Ali Imran: 14 & Al Kahfi: 46) dan penyejuk perasaan (QS Al Furqan: 74). Tapi pada saat yang sama anak-anak kita juga merupakan ujian (QS Al Anfal: 28) bahkan musuh (QS At Taghabun: 14). Intinya, semua yang bagus dan baik adalah berkah dan menyenangkan sekaligus batu ujian buat seorang Muslim. Hal-hal semisal kecelakaan bahkan kehilangan (harta, keluarga bahkan tahta) memberikan kita kesempatan bukan saja untuk menjadi kalah tapi juga maju ke depan.
Jadi tak ada yang baik dan buruk melainkan bagaimana kita meresponnya. Terlepas apakah Anda orang baik atau jahat, seorang ulama atau kriminal, kaya ataupun tak berpunya, tetap akan diuji. Lebih-lebih orang-orang Mukmin yang niscaya diberi cobaan oleh Allah atas keimanannya, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (SQ Al Ankabut: 2-3).
Di sinilah kita perlu memahami dua konsep penting, yaitu fitnah dan balâ’. Fitnah adalah ujian atau cobaan bagi siapapun. Hal-hal yang (tampak) baik dan buruk adalah tes bagi orang beriman. Sementara balâ’ adalah ujian untuk melihat apakah seseorang bisa tahan uji dan lulus. Apakah ia sanggup tegak untuk melangkah ke depan dan kalah? Jadi yang dinilai adalah bagaimana reaksi seseorang yang beroleh cobaan.
Memahami ujian sebagai bagian keimanan melahirkan ketenangan hati, kedamaian jiwa. Ketenangan ini juga terkait denga keimanan seseorang terhadap Hari Akhir. Ketika banyak ketidakadilan di muka bumi, ribuan orang yang tewas karena pemimpin diktator, anak-anak dan wanita yang menjadi korban peperangan yang biadab, maka keyakinan kepada Hari Pembalasan mengantarkan seorang Mukmin yang melihat kegetiran hidup sebagai ujian dari Allah SWT. Maka melihat kezaliman, kehilangan yang dicintai dan sebagainya layaknya melihat sisi lain dari sebuah koin.
Allah memperhatian mereka yang berlaku opresif, “Dan janganlah engkau mengira, bahwa Allah lengah dari apa yang diperbuat oleh orang yang zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak” (QS Ibrahim: 42). Dengan melihat sisi lain dari setiap ujian, maka penderitaan orang-orang Mukmin yang terzalimi dan kematian ribuan orang-orang yang tak bersalah akan dibalas berlipat ganda, bahkan ribuan kali. Mereka yang melakukan opresi, kezaliman dan penganiayaan juga akan juga mendapat hukuman yang setimpal dari Allah SWT.
Hal yang sama juga berlaku dengan kebaikan yang kita lakukan. Allah berfirman, “Siapa yang memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, pasti Allah berikan ganjaran kepadanya dengan gandaan yang banyak” (QS Al Baqarah 245). Artinya, ketika seorang Mukmin memberikan ‘pinjaman’ kepada Allah lewat hidupnya, kekayaannya, bersyukur atas nikmat-Nya dan bersabar atas ujian-Nya maka ia akan mendapatkannya kembali berupa balasan ribuan kali dari Allah di Hari Kemudian. Dengan bersikap sabar, maka seorang Mukmin lulus ujian, yang notabene merupakan sebuah kabar gembira (QS Al Baqarah: 155).
Ketika seorang Mukmin melakukan atau mendapatkan kebaikan, ia akan diuji. Lalu apa yang bakal dilakukannya dengan hal-hal baik tersebut? Apakah ia beranggapan kebaikan ini karena dirinya sendiri atau percaya bahwa semuanya bersumber dari Allah SWT? Sebaliknya, tatkala seseorang Mukmin kehilangan (keluarga, kesehatan, dan harta), bagaimana reaksinya? Akankah ia marah kepada Allah dan menyerah? Apakah ia akan menuduh bahwa Tuhan tidak melakukan apapun untuk menolongnya atau berhenti memercayai-Nya? Akankah ia memilih menyakiti orang lain lantaran murka karena Tuhan sudah meninggalkan-Nya? Atau justru memilih untuk berujar, “Alhamdulillah atas semua nikmat dan karunia-Nya yang aku terima atas kesehatan yang masih aku nikmati. Saatnya aku sabar atas cobaan ini”
Sebagai kesimpulan, bisa dikatakan bahwa pertanyaan mengapa orang-orang baik mendapat musibah adalah sebuah fallacy (sesat pikir). Kenapa? Sebab orang-orang baik pasti diuji. Kita mengimani bahwa kita akan kehilangan apapun di dunia ini. Pertanyaannya adalah bagaimana kita menyikapinya? Apakah kita bersikap dengan bersyukur serta bersabar atas nikmat dan cobaan ini, atau justru memilih berputus asa yang menurut Rasulullah SAW sebagai senjata utama setan. Wallâhu a`lam.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas