Tantangan Milenium Kedua Pengembangan Cabang dan Ranting

Tantangan Milenium Kedua Pengembangan Cabang dan Ranting

Tantangan Milenium Kedua Pengembangan Cabang dan Ranting

PURWOKERTO, Suara Muhammadiyah – “Alhamdulillah saya bisa datang bersama pak Dahlan Rais dan dikasih jaket LPCR. Kalau tidak pakai jaket katanya tidak sah membukanya.” Ucap Haedar Nashir yang disambut tepuk tangan seluruh hadirin dalam Rapat Kerja Nasional (Rakornas) Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR) Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang berlangsung pada Jum’at malam di Universitas Muhammadiyah Purwokerto (01/9).

Dalam klausul syiar dan dakwah Persyarikatan, Haedar menegaskan bahwa peran dan posisi LPCR sangat strategis di Muhammadiyah. Hal ini dapat ditinjau dari sejarah awal perkembangan Muhammadiyah di Kampung Kauman Yogyakarta, yang kemudian merambah ke seluruh teritori negeri. Cabang dan ranting menjadi pilar yang kokoh dalam perluasan dakwah Muhammadiyah ke seluruh daerah dan bahkan menjangkau wilayah yang jauh. Pada 1922, dalam aspek kuantitas, perkembangan cabang dan ranting Muhammadiyah terus menunjukkan tren positif. Hingga pada tahun 1926, bendera Muhammadiyah sudah berkibar di wilayah paling timur Indonesia. “Bayangkan, pada tahun 1926 Muhammadiyah sudah masuk ke Merauke,” ujarnya sembari menginterpretasikan sebegitu digdayanya Muhammadiyah periode awal.

Tak berhenti di situ, gelombang kehadiran Muhammadiyah terus meluas dari tahun ke tahun. Datang ke sebuah daerah dengan semangat gerakan, Muhammadiyah pun tumbuh subur dengan menciptakan cabang dan ranting baru. Salah satunya di NTT pada 1930-an. Maka tak heran jika Bung Karno pernah menceritakan perkembangan Muhammadiyah saat ia berada di pengasingan. Artinya pada saat itu Muhammadiyah sudah mulai berkembang hingga ke pelosok negeri.

“Di Maumere saya pernah menyaksikan podium bertuliskan 1934. Artinya bahwa di Maumere Muhammadiyah sudah berkembang di era itu. Lalu berkembang sampai ke Ternate, Tidore, dan seterusnya,” ujar Haedar.

Perluasan spektrum Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah dan tajdid dapat berkembang sedemikian rupa karena adanya peran dan fungsi dari ranting dan cabang. Pada saat itu, ranting dan cabang memang tak sebanyak sekarang. Namun mereka bersatu dalam visi-misi yang sama untuk menyebarluaskan Islam rahmatan lil alamin. Maka tidak heran jika di kemudian hari Muhammadiyah menjadi satu-satunya ormas, selain mampu bertahan lebih dari satu millennium, juga termasuk organisasi yang paling menyebar dan meluas di seluruh Tanah Air. Bukan hanya itu, di tempat barunya, Muhammadiyah juga memberikan pembinaan kepada masyarakat setempat yang secara umum berbeda, baik secara keyakinan, ras, suku, golongan, dan lain sebagainya.

Di Papua Barat hingga masuk ke Pulau Arar, Muhammadiyah juga menunjukkan geliatnya. Hal ini tentu dapat menjadi gambaran dari misi penyebarluasan dakwah Muhammadiyah yang sangat progresif. Selain Papua, di Sulawesi Tengah, Muhammadiyah menyebar sampai ke Poso, Donggala, hingga ke daerah pegunungan. Di situ ada sebuah ranting dan SMP Muhammadiyah. Padahal perjalanan dari Palu memakan waktu berjam-jam.

“Dari kisah ini kami ingin menunjukkan bahwa Muhammadiyah sudah berkembang sedemikian rupa,” ujarnya

Pria yang menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu pun memaparkan, ada beberapa tugas penting yang harus diemban LPCRPM untuk menjadikan ranting sebagai pilar strategis untuk membangun komonitas masyarakat yang berkemajuan. Muhammadiyah memandang bahwa komonitas merupakan basic (dasar) dari warga Muhammadiyah. Komonitas merupakan suatu konsep society dalam makna yang lebih spesifik dan memiliki karakter yang khas. Hal ini tak lain karena terjadinya perubahan struktur dan kultur sosial masyarakat yang kemudian mendorong Muhammadiyah untuk memberikan penguatan pada komonitas di akar rumput. Arah penguatan yang dimaksud adalah penanaman nilai religusitas agama.

“Sejatinya Indonesia tidak pernah lepas dari tiga nilai yang antara satu dengan yang lainnya saling mendukung. Pertama adalah agama yang hidup dalam denyut nadi kehidupan bangsa Indonesia. Kedua, Pancasila yang menjadi dasar negara. Ketiga, kebudayaan luhur bangsa yang hidup di setiap etnis dan suku bangsa,” tegasnya.

Bukanlah hal mudah mentransformasikan nilai keagamaan ke dalam struktur dan kultur kehidupan masyarakat yang terus berubah. Ini menjadi tantangan yang serius bagi Muhammadiyah melalui LPCRPM yang dikomandoi Jamaludin Ahmad. (diko)

Exit mobile version