Warisan Hasan dan Husain (Bagian ke-1)

Warisan Hasan dan Husain (Bagian ke-1)

Oleh: Donny Syofyan

Terbunuhnya Ali bin Abi Thalib telah meninggalkan kekosongan kekuasaan dan negara yang terpecah belah. Wafatnya Ali juga tidak mengakhiri para pendukungnya, dinamakan Syi`ah, sebab Ali meninggalkan dua orang putra, yakni Hasan dan Husain. Dengan wafatnya Ali sebagai imam pertama bagi pendukung Ali, mereka mulai menoleh kepada putra tertua Ali dan mengangkatnya sebagai imam kedua. Hasan, yang sudah lelah dengan peperangan dan dilanda kesedihan mendalam, berpikiran bahwa memegang kekuasaan sekarang sama saja dengan merebut kekuasaan politik, yang pada gilirannya akan mencemari memori dan nama baik ayahnya, Ali bin Abi Thalib.

Alih-alih melanjutkan pertempuran dengan Mu`awiyah, Hasan mencapai kesepakatan dengan Mu`awiyah dan meminggir dari kekuasaan. Kesepakatan ini disebut Traktat Hasan-Mu`awiyah. Gubernur Mu`awiyah akhirnya mampu memenuhi ambisinya sebagai khalifah berikutnya dengan sejumlah persyaratan. Hasan berhak memerintah di Kufah dan pemungutan pajak di sana untuk pendukungnya. Salah satu artikel dalam traktat itu berbunyi bahwa Mu`awiyah tidak berhak untuk menunjuk penggantinya dan khalifah berikutnya (khalifah ke-6) jatuh ke tangan Hasan. Poin ini sangat penting untuk dipahami karena bermaksud untuk membendung kebangkitan monarki Umayyah. Tercapainya kesepakatan damai ini mengantarkan Hasan bergelar Hasan Si Juru Damai, Imam Kedua.

Pada tahun 662 ketika tak punya pesaing lagi, Mu`awiyah dinobatkan sebagai khalifah kelima di Yerusalem. Sewaktu pelantikannya, Mu`awiyah menyampaikan pidato bahwa, berbeda dengan para khalifah sebelumnya, warisannya tidak ditentukan oleh pengembangan dasar-dasar identitas keislaman tapi dengan membawa kejayaan (glory) dan kekayaan (fortune) ke dunia Islam. Sungguhpun pengikut Ali tetap menganggapnya sebagai perampas kekuasaan, Mu`awiyah maju terus dan berupaya menjadi salah satu pemimpin paling ulung dan terampil di dunia, bukan cuma dalam sejarah Islam. Begitu menduduki kursi kekuasaannya, ia mulai mengalihkan perhatiannya kepada Bizantium. Ia menaklukkan sejumlah pulau kecil di laut Mediterania. Ini memberikan rasa aman jangka panjang bagi kepentingan angkatan laut di seluruh wilayah kekhalifahan. Mu`awiyah terus mendesak wilayah-wilayah perbatasan kekaisaran Bizantium.

Sepuluh tahun setelah berkuasa, pada 674 Mu`awiyah mulai melakukan pengepungan kota Konstatinopel. Sayangnya ini berakhir dengan kegagalan. Sepanjang masa pemerintahannya, Mu`awiyah telah mengirimkan sejumlah ekspedisi militer ke berbagai kawasan Magribi dan mendirikan pos-pos militer di daerah yang kini dikenal sebagai Tunisia. Ini lebih lanjut mempercepat upaya-upaya penaklukan di sepanjang kota-kota pantai Iberia dan meletakkan fondasi atas penaklukan militer di Semenanjung Iberia pada 711. Mu`awiyah sadar betul bahwa penaklukan warga Kristen lokal hanya akan bertahan sepanjang mereka masih menikmati kebebasan beragama. Karenanya, ia masih mempertahankan kebijakan yang telah dirumuskan dan dijalankan oleh khalifah Umar bin Khattab. Kaum minoritas dibolehkan mempraktikkan keyakinan, tradisi dan hukum mereka masing-masing. Pendekatan ini membuat Mu`awiyah bisa lebih fokus menaklukkan daerah-daerah baru tanpa takut kehilangan kontrol atas daerah-daerah kekhalifahan.

Secara keseluruhan daerah-daerah kekhalifahan makin meluas, perdagangan dan keuangan maju pesat dan hal ini menambah pundi-pundi kekayaan dan kekuasaan bangsawan Arab. Tapi kekuasaan Mu`awiyah mendapat tantangan besar dari gerakan radikal Khawarij yang terus-menerus melakukan pemberontakan di seluruh wilayah kekhalifahan. Lebih lanjut, disebabkan konflik pedih dengan kekaisaran Bizantium, maka komunikasi antara Timur Tengah dan Eropa terputus dan tak pernah pulih kembali. Kedua belah pihak, seperti sebelumnya, berkembang dengan peradaban yang terpisah masing-masing. Sementara itu kelompok Syiah merasa sebagai warga negara kelas dua (second-class citizen) di bawah pemerintahan Mu`awiyah. Menjelang akhir dekade pertama Mu`awiyah sebagai khalifah, sudah terang bahwa Hasan (45 tahun) akan menggantikan Mu`awiyah (68 tahun). Hanya persoalan waktu bahwa Hasan akan menduduki tampuk kursi sebagai khalifah.

Mu`awiyah melihat ini sebuah petaka. Semua yang telah diperjuangkannya (kejayaan, kekayaan dan kebangsawanan) berakhir sia-sia. Satu-satunya cara untuk menjaga warisannya adalah menominasikan putra sulungnya, yakni Yazid, sebagai penggantinya. Namun traktat dengan Hasan menjadi batu sandungan atas rencana ini. Semenjak meninggalkan tahta kekhalifahan dan menyerahkannya kepada Mu`awiyah, Hasan dan saudaranya Husain berdomisili di Madinah. Mereka menjaga diri tetap low profile dan tidak terlibat dalam kasuk-kusuk urusan politik kekhalifahan.

Yang terjadi berikutnya menjadi persengketaan bagi kedua belah pihak. Cerita resmi mengatakan bahwa Hasan jatuh sakit seusai memakan dan meminum sesuatu. Hasan merasakan bahwa hidupnya tak akan lama lagi. Bagaimana itu terjadi dan siapa pelakunya tidak diketahui. Hasan sendiri dari pembaringannya menolak menyebut nama pelakunya kepada saudaranya Husain sebab ia khawatir bahwa aksi balas akan menimpa orang yang salah. Namun para sejarawan percaya bahwa kematian Hasan bukan kebetulan tapi dirancang oleh Mu`awiyah yang membujuk apakah pembantu atau salah satu istri Hasan untuk meracuninya. Bagaimanapun, semua kebetulan yang melibatkan Mu`awiyah tersebut tidak memiliki dasar yang kuat. Pada 670, Hasan yang merupakan Imam Kedua Syiah dan kandidat khalifah yang ke-6 menghembuskan napasnya yang terakhir. Sebelum wafat, ia meneruskan obor suksesi kepada saudaranya Husain. Dengan demikian Husain menjadi Imam Ketiga Syiah, seseorang yang melanjutkan garis keturunan Muhammad dan Ali.

Masa pemerintahan Mu`awiyah berlanjut satu dekade lagi. Seiring dengan wafatnya Hasan, Mu`awiyah merasa ia tidak terikat lagi dengan traktat. Karenanya ia lanjut dengan rencananya mencalonkan putra sulungnya Yazid sebagai khalifah selanjutnya. Untuk formalitas ia mengumpulkan berbagai pemimpin suku Arab dan membentuk semacam dewan musyawarah atau Majlis Syura. Awalnya ada semacam spirit dan momen optimisme ketika para pemimpin suku tersebut memusyawarahkan kandidat untuk kursi khalifah ini. Tiba-tiba seorang pengawal Mu`awiyah masuk dan memohon perhatian mereka yang hadir. Ia mengelilingi meja bundar secara perlahan dan memelototi mata setiap pemimpin suku. Kemudian ia menarik pedangnya dan mengancam setiap anggota dewan pemilihan untuk memilih Yazid. Plot ini berjalan sesuai rencana. Semua anggota Majlis Syura menjatuhkan pilihan kepada Yazid bin Mu`awiyah sebagai khalifah selanjutnya. Sebuah forum yang sebetulnya bisa bekerja secara demokratis akhirnya dicederai di bawah ancaman mata pedang. Sebuah bab penting dan utama dalam sejarah Islam telah berakhir. Setelah peristiwa ini, Majlis Syura tak pernah lagi diselenggarakan, anggotanya tak pernah lagi dipanggil. Sebuah eksperimen demokrasi yang ringkas menyerah kalah di hadapan suksesi dinasti—(Bersambung)

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Exit mobile version