Oleh: Donny Syofyan
Mu`awiyah digantikan oleh putranya Yazid, lalu Yazid digantikan oleh putranya. Suksesi bergulir di garis keturunan Umayyah. Dalam pemahaman paling praktis, naiknya dinasti Umayyah ke tampuk kekuasaan dipahami sebagai kejatuhan kekhalifahan Islam di sisi lain dan kebangkitan imperium Islam di sisi lainnya. Menjelang wafatnya di atas pembaringannya pada tahun 680, Mu`awiyah berkonfrontasi dengan putranya Yazid. Ia mengingatkan Yazid untuk tidak menyakiti atau memperlakukan Husain dengan tidak adil. Ia berpesan seperti berikut,
“Tentang Husain, apakah yang bisa kukatakan padamu tentangnya? Hati-hatilah menghadapinya kecuali dengan cara yang baik. Ulurkanlah tanganmu kepadanya dan biarkanlah dia berjalan di atas bumi sesuka hatinya. Tunjukkan kepadanya guntur dan kilat (dari kemarahanmu). Jangan sekali-kali menghadapinya dengan senjatamu, namun perlihatkan kepadanya kemurahan hatimu. Beri dia kedudukan terhormat di sisimu dan perlakukanlah dia dengan mulia. Hati-hatilah anakku agar Engkau menghadapi Tuhanmu dengan darahnya. Janganlah engkau sampai menjadi orang-orang yang binasa.”
Ketika menggantikan kedudukan ayahnya, hal pertama yang diperbuat Yazid adalah meminta semua gubernur untuk menyatakan kesetiaan kepadanya. Semua gubernur dari pelbagai provinsi menunjukkan sumpah setiap mereka dan menghadiahi Yazid dengan beraneka hadiah. Satu-satu kecemasan terbesar Yazid adalah penolakan Husain untuk menunjukkan kesetiaannya. Ia menolak bertekuk lutut. Sebagai seorang militer yang pernah berjuang dalam banyak medan pertempuran semasa penaklukan banyak kawasan di masa ayahnya, Yazid bukan saja dikenal penempur yang kuat dan tegas tapi juga kejam dan suka mabuk.
Dalam kitab Târikh Khulafâ’ Jalaluddin As-Suyuti menulis bahwa suka mabuk adalah satu dari sekian banyak kebiasaan jelek Yazid. Ia melihat keberadaan Husein sebagai ancaman bagi pemerintahannya. Husein yang berada di Madinah segera menyadari bahwa upaya pembunuhan terhadap dirinya ternyata disponsori oleh Yazid. Husein memandang cukup sudah dengan ini semua. Ia lalu pindah ke Makkah untuk mencari keselamatan dan perlindungan. Begitu sampai di kota Makkah, ia mendeklarasikan secara terbuka bahwa penunjukan Yazid sebagai khalifah bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk itu ia bakal menentang Yazid.
Beberapa tokoh penting mendekati Husain dan menyampaikan dukungan dan kesetiaan mereka kepadanya. Pada saat yang sama, Husain juga menerima surat dari masyarakat Kufah yang meminta dukungannya menantang Yazid. Pada surat pertama disebutkan ada sekitar 18.000 orang menyampaikan loyalitas kepada Husain dan memintanya untuk mengunjungi Kufah. Bagi Husain, hanya ada satu cara untuk membuktikan apakah loyalitas dan jumlah tersebut valid atau hoax. Ia mengumpulkan keluarga, sahabat dan para pendukungnya berjumlah 70-150 orang dan berangkat menuju Kufah. Tapi versi yang lebih kuat mengatakan berjumlah 72 orang. Layaknya kisah pertarungan Thalut versus Jalut, Husain dan pengikutnya tanpa pasukan bergerak menuju Kufah dalam upayanya menggulingkan seorang tiran yang tengah berkuasa.
Sulit dibayangkan apa dan bagaimana rencana atau siasat Husain. Seolah-olah tampak bahwa Husain memulai api pemberontakan dan menginspirasi warga lokal Kufah untuk bergabung dengannya. Persis sebelum berangkat menuju Kufah, Husain menyampaikan khotbah terakhirnya bahwa, “Bila aku, putra Ali dan cucu Muhammad, tidak tegak menantang tirani, maka siapa lagi yang akan melawannya?” Seakan-akan telah mengetahui akan menjadi syahid, dia melanjutkan khotbahnya, ”Kematian adalah keniscayaan bagi manusia, layaknya tanda kalung di leher seorang gadis muda. Aku jatuh cinta kepada nenek moyangku seperti kecintaan Ya`qub kepada Yusuf. Barang siapa yang hendak menumpahkan darahnya untuk kami dan bersiap menghadapi Allah maka harus berangkat bersama kami.” Pidato ini bernada pidato perpisahan.
Perjalanan Husain ke Kufah bukan semata-mata hendak menantang penguasa bani Umayyah, Yazid bin Mu`awiyah, tapi sebagai simbol pengorbanan bagi kemanusiaan. Husain tetap berangkat dan mengesampingkan berbagai nasihat yang melarangnya menuju ke sana. Mengetahui berita keberangkatan ini, Yazid memerintahkan pasukannya untuk mencegah Husain dan pengikutnya menuju Kufah. Dalam perjalanannya ke Kufah, Husain dan rombongannya bertemu dengan pasukan dari Kufah. Mereka, yang awalnya meminta Husain datang lebih awal ke Kufah, mengubah kesetiaannya dan berbalik menantang Husain. Pasukan tersebut meminta Husain mengambil jalur yang berbeda ke Kufah, dan ia mengiyakannya.
Beberapa hari kemudian di suatu padang pasir sebelah selatan Karbala, pasukan Kufah lainnya mencegat dan kali ini menjebak Husain dan rombongan. Cuaca saat itu panas dan kering. Husain dan rombongannya tidak jauh dari sungai Efrat tapi mereka dihalangi oleh 5000 pasukan berkuda. Mereka tidak punya persediaan air. Keadaan buntu berlangsung beberapa hari. Sejumlah anggota rombongan Husain mencoba bernegosiasi untuk mendapatkan akses air ke sungai tapi ditolak. Sementara itu warga sipil dari rombongan Husain sudah mati kehausan. Malam sebelum pecahnya pertempuran, Husain mengumpulkan anggota rombongan laki-laki dan menegaskan bahwa mereka semua akan menghadapi kematian. Ia mengumumkan kepada pendukungnya bebas untuk meninggalkan tenda. Tak ada paksaan untuk bergabung dengannya. Tapi tak seorang pun yang pergi bahkan kabur.
Pagi esoknya Pertempuran Karbala dimulai. Pasukan Kufah memulai penyerangan dengan menghujani Husain dengan anak panah. Kebanyakan pasukan dari rombongan Husain ditembak dan terluka. Untuk mencegah cendera sembarangan atau cedera yang bisa mengenai siapa saja di perkemahan rombongan Husain (terutama wanita dan anak-anak yang ada di dalamnya) akibat anak-anak panah yang dilepaskan, Husain mengirim para penyerangnya dalam sebuah perlawanan tunggal—satu lawan satu. Seorang demi seorang pasukan Husain tewas. Husain sendiri, sebagai seorang pendekar pedang seperti ayahnya Ali bin Abi Thalib, menjatuhkan lawan satu demi satu. Hingga sebuah kejadian mengerikan terjadi; seseorang menembakkan anak panah ke dadanya, yang kedua memukul kepalanya dengan batu, dan yang terakhir menancapkan pedangnya ke tubuh Husain.
Ketika Imam Husain jatuh berlutut, pasukan Kufah mulai merampas barang-barang miliknya. Saat anggota pasukannya yang terakhir meninggal, pasukan Kufah menyapu semua yang ada. Sungguh mengejutkan saat itu Husain masih bernapas terengah-engah. Mulutnya berdoa. Ia tidak bisa bergerak tapi tampak jelas masih bernyawa. Ketika komandan pasukan Kufah mendekati tubuh Husain, seseorang berkata, “Apa lagi yang kamu tunggu. Akhiri penderitaannya.” Maksudnya bunuh dia. Lalu seseorang yang lain memukul kepala Husain dan memenggalnya.”
Kepalanya diusung ke Kufah. Pasukan Kufah mulai menjarah semua harta yang ada di perkemahan pasukan dan rombongan Husain. Melucuti semua harta kaum wanita lalu membakar tenda-tenda tersebut. Mereka yang selamat diperbudak dan dibawa ke hadapan gubernur Kufah, Ubaidullah bin Ziyad. Termasuk yang dibawa adalah satu-satunya putra Husain bernama Ali bin Husain. Ubaidullah, yang dikenal sebagai tokoh bengis lagi durhaka, mengirim putra Ali ini untuk dihukum mati, tapi ia diselamatkan oleh bibinya Zainab binti Ali yang juga ikut serta dalam Pertempuran Karbala—(Bersambung)
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas