Oleh: Donny Syofyan
Tawanan berbaris ke Damaskus untuk menjumpai khalifah Yazid bin Mu`awiyah. Dalam parade panjang menuju Damaskus ini, Zainab mengambil alih kepemimpinan. Begitu sampai di hadapan Yazid, ia berupaya meyakinkan sang khalifah untuk membebaskan tawanan dan mengembalikan mereka ke Madinah. Yazid memenuhi pinta Zainab. Dalam perjalanan pulang menuju Madinah, Zainab dan mereka yang selamat berhenti di Karbala dan meratapi kematian Husain dan yang lainnya. Di sini Zainab menginspirasi banyak orang, baik laki-laki maupun wanita. Ia kemudian menjadi model perlawanan dan pengorbanan dan tokok penting, bukan saja bagi kelompok Syi`ah tapi juga Sunni di masa depan. Ali bin Husain diangkat sebagai Imam Keempat oleh golongan Syi`ah.
Sementara itu Yazid, yang benar-benar telah mengabaikan nasehat dari ayahnya Mu`awiyah untuk menghormati keluarga dan keturunan Ali, merasa telah melenyapkan faktor Syi`ah dengan kekerasan. Ternyata ia keliru besar. Para pendukung Ali murka. Mereka bukan saja menjadi underdog dalam kekhalifahan. Mereka tak ikut serta dalam semua urusan kekhalifahan. Sesuatu yang awalnya adalah oposisi politik atas suksesi dinasti telah bertransformasi melebihi sekadar persoalan kursi dan kekuasaan. Kesyahidan (martyrdom) Husain telah menjadu prinsip utama dalam keyakinan kaum Syi`ah. Ini memengaruhi ritual, sastra, musik, mindset bahkan teologi.
Bagi identitas Syi`ah, Husain adalah penghulu para syuhada’, Imam Ketiga. Kesyahidan itu sendiri, bagi mereka, sama dengan penebusan dosa dan menjadi titik sentral dalam keyakinan Syi`ah. Hingga hari ini kaum Syi`ah memperingati Pertempuran Karbala pada bulan pertama kalender Islam, yakni Muharram, tepatnya tanggal 10. Di beberapa negara ritual ini diperingati dengan cara memukul atau mencambuk diri sendiri (self-flagellation).
Kematian Husain telah menimbulkan kegemparan di keseluruhan imperium Islam. Kaum Syi`ah bukan saja menceraikan diri dari mayoritas masyarakat Muslim, tapi mereka memilih sebagai oposisi. Siapa pun yang hendak menentang tirani, korupsi dan kebangsawanan Arab menemukan tempat berteduh dan simpati dari kelompok Syi`ah. Ini menyumbang bagi pertumbuhan kelompok Syi`ah. Beberapa abad kemudian, gagasan bahwa kelompok Syi`ah sebagai underdog dalam kekaisaran Arab menemukan liang pembiakan yang subur atau dukungan yang kuat di kawasan-kawasan Persia. Masyarakat Persia sangat paham bagaimana rasanya menjadi underdog di bawah kekaisaran Arab. Persamaan pengalaman pernah dilecehkan dan ditindas pada gilirannya menyatukan dua identitas menjadi satu—Syi`ah adalah Persia.
Sementara Yazid meninggal tiga tahun setelah naik takhta sebagai khalifah. Ia pergi berburu dan tak pernah kembali. Jasadnya tak pernah ditemukan. Yazid digantikan oleh anaknya Mu`awiyah II yang juga meninggal setahun kemudian. Sementara itu berbagai pemberontakan timbul di banyak tempat dan dinasti Umayyah menghadapi masa-masa konflik internal. Dua perang saudara pecah dan bukan lagi sebagai pemenang dalam pertempuran demi pertempuran tersebut. Ini adalah periode yang sangat kompleks ketika bermacam dinamika peristiwa terjadi secara bersamaan.
Merespons kemunduran yang tengah terjadi, penguasa Umayyah memanfaatkan semangat jihad dalam peperangan melawan negara-negara tetangga. Upaya ini berhasil. Dalam rentang satu abad kemudian, dinasti Umayyah menaklukkan banyak negara sehingga luasnya makin bertambah terbentang dari Sungai Indus hingga Semenanjung Iberia. Bagi masyarakat Muslim, kemenangan pertempuran demi pertempuran di garis depan dan perluasan wilayah kekhalifahan dinilai sebagai kesaksian atas kebenaran doktrinal ajaran Islam.
Tak pelak peperangan yang terus saja berkecamuk mempertebal pundi-pundi kekayaan negara. Sebagai akibatnya gedung-gedung mewah dibangun, proyek-proyek amal diselenggarakan secara besar-besaran, ikon-ikon kemegahan dan kebesaran hadir nyaris di setiap kota. Hebatnya tidak ada yang namanya kenaikan pajak. Semua ini berkontribusi bagi konversi kepada Islam secara cepat. Tapi pada saat yang sama, sistem ini mencuatkan efek samping.
Kekuasaan dan pengaruh bangsawan Arab bertambah kuat. Bahasa Arab menjadi bahasa resmi negara. Kekhalifahan Islam bertransformasi menjadi Imperium Arab. Kebebasan yang dinikmati oleh warga minoritas sebelumnya mulai memudar. Siapa pun yang ingin sukses dalam dunia bisnis harus belajar bahasa Arab dan masuk Islam, alias menjadi Muslim terlebih dahulu. Siapa saja yang tidak menjalankan aturan penguasa Umayyah akan terus menjadi warga negara kelas dua. Ini semua mendorong asimilasi penduduk pribumi kepada Islam dan budaya Arab.
Tapi ada satu kelompok masyarakat yang menolak berasimilasi kepada budaya arus utama Arab, yakni masyarakat Persia. Tanah mereka ditaklukkan dan budaya mereka ditekan, namun orang-orang Persia tetaplah bangsa yang bangga akan budaya dan identitasnya. Dan salah satu kelompok yang konsisten mempertahankan diri adalah kelompok Syi`ah. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kesamaan pengalaman sebagai kelompok tertindas menciptakan keterikatan antara etnik Persia dan kelompok Syi`ah. Seiring dengan menguatnya kekuasaan dan kebesaran dinasti Umayyah, oposisi dari kalangan Syi`ah dan masyarakat Persia juga kian hebat.
Pada tahun 646, yakni 70 tahun setelah terbununya Husain, kondisi mencapai momen puncak (breaking point). Klan Abbasiyah, yang merupakan merger dari kelompok Syi`ah dan masyarakat Persia, melancarkan revolusi dan menumbangkan dinasti Umayyah. Sekelompok klan Umayyah melarikan diri ke Afrika bagian utara dan Semenanjung Iberia di mana mereka mendirikan Kekhalifahan Kordoba. Dalam rentang waktu beberapa abad, dinasti Abbasiyah menerima dan berasimilasi dengan pengetahuan saintifik dari peradaban yang ditaklukkan, mengambil dan mengembangkan teori-teori keilmuan fisika, kimia, matematika, astronomi, filsafat, dan kedokteran dari Yunani, Romawi, Persia, India bahkan Mesir. Mereka melakukan apa yang disebut ‘gerakan penerjemahan’ (translation movement) secara masif sumber-sumber ilmu dari bermacam peradaban ke dalam bahasa Arab dan Persia. ini pada gilirannya menciptakan kelas baru ilmuwan yang dikenal dengan Mu`tazilah yang fungsional meletakkan dasar-dasar zaman keemasan Islam.
Atas semua prestasinya tersebut, dinasti Abbasiyah yang awalnya berasal dari Revolusi Syi`ah justru pada akhirnya ikut-ikutan menekan dan mempersekusi kelompok Syi`ah melebihi dinasti Umayyah sendiri. Selama berabad-abad, perbedaan dan pertentangan antara Sunni dan Syi`ah semakin meningkat secara drastis. Era kekhalifahan Islam yang dimulai dari Abu Bakar hingga Husain menjelaskan bagaimana Islam secara gradual bertransformasi menjadi sistem sosial politik. Kita bisa melacak kembali asal-usul yurisprudensi Islam, kemunculan kelompok Islam radikal, dan peranan wanita lewat lensa sejarah kekhalifahan Islam tersebut.
Sayangnya, beberapa gagasan cemerlang Islam yang sudah terbangun dan terawat dengan baik di rentang zaman tersebut, semisal multikulturalisme, toleransi, konsep negara kesejahteraan, komite pemilihan (tepatnya Majlis Syura) yang memberikan landasan bagi peradaban Islam yang demokratis hilang, baik di kalangan Sunni maupun Syi`ah. Pasca Husain yang terbentuk adalah dinasti Muslim dan garis silsilah Muhammad hilang setelah Imam Kesebelas. Baik Sunni dan Syi`ah tidak mendapatkan apa yang mereka dambakan. Yang terjadi masing-masing menjadi sasaran dari tujuan-tujuan bermuatan politik para penguasa di masa depan—(Tamat)
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas