Emper rumah. Agak gaduh. Mas Bardi, kakakku dan Dik Tami, adikku sudah sampai rumah setelah dua hari dua malam menaklukkan jalan berliku dan padat di pulau Jawa. Isteri Mas Bardi dan suami Dik Tami dan anak-anak mereka ikut duduk di emper. Ibnu duduk di tengah. Mengajari mereka menganyam ketupat. Selongsong ketupat.
“Sebenarnya beli selongsong ketupat bisa dan praktis. Di pasar barangnya banyak dijual. Tetapi kalian yang rugi. Setelah dua hari dua malam menembus kemacetan arus mudik, sampai sini tidak tambah pengalaman apa-apa kan rugi,” kata Ibu.
“Ya, Mbok. Mumpung masih ada waktu,” kata Mas Bardi yang di waktu kecil dulu tidak sempat berlajar menganyam selongsong ketupat.
Masing-masing di tangan mereka sudah terpegang dua helai panjang janur atau daun kelapa muda berwarna kuning muda. Mereka sudah membuat gulungan janur. Menirukan Ibu.
Ibu langsung praktik. Turun tangan. Satu-persatu tangan dan janur orang yang kesulitan menganyam selongsong ketupat ia pegang. Ia beri contoh selangkah demi selangkah. Semua bisa. Mereka bersorak.
“Punyaku sudah selesai, Nek,” teriak Harmono, anak sulung Mas Bardi sambil memperlihakan selongsong ketupat yang bentuknya lucu.
Satu-persatu mereka yang ada di emper merampungkan selongsongnya.
“Masih mau lagi?” tanya Ibu.
“Mau, Nek.”
Mereka mulai menganyam selongsong ketupat lagi.
Halaman rumah banyak pohon buah, rambutan, mangga, sawo jambu air, dan jambu kelutuk. Pohon pepaya dan pisang ada di samping rumah. Halaman rimbun. Hawa panas tersaring tidak masuk emper. Mereka bisa nyaman menganyam. Di depan halaman, ada jalan kampung. Tetangga hilir mudik naik motor, naik sepeda atau jalan kaki. Mereka sibuk berbelanja ini itu.
”Saya sudah punya daging ayam, menyembelih sendiri. Ayam jago yang dagingnya putih, gurih, dan padat. Telur juga sudah punya. Kebetulan ayam di kandang belakang rumah pas bertelur,” kata Ibnu.
”Kami tadi pagi sudah membeli bumbu di pasar,” sahut isteri Mas Bardi yang aslinya tetangga desa.
”Jadi kalian tidak usah khawatir, besuk ketupatnya pasti ada temannya,” kata Ibu bercanda.
Kegiatan menganyam selongsong ketupat dilanjutkan sampai terdengar suara adzan dari surau. Menandakan datangnya waktu Ashar. Anak-anak melepaskan janur. Mengambil sarung dan mukena, lari menuju surau.
”Tolong temui kakek kalian di surau. Bilang sama kakek, kalian memerlukan carang bambu untuk dibuat obor untuk takbiran nanti malam,” kata Ibu.
”Ya, Nek.”
Di emper tinggal tiga perempuan. Ibu mengambil bumbu lalu menakar brambang, bawang, dan lainnya agar komposisinya pas. Bumbu dia letakkan di dua panci kecil.
”Ini bumbu opor. Ini bumbu pindang,” kata ibu. ”Tolong dikupas, dicuci, dan ditumbuk pakai layah dan muntu. Saya mau merebus telur agar nanti malam mudah dikupas untuk dicampur dengan bumbu pindang. Dagingnya tinggal dipotong jadi kecil-kecil untuk dicampur bumbu opor.”
“Santannya, Bu?”
“Ya nanti kelapanya dikukur. Itu alatnya.”
Kegiatan membuat selongsong ketupat selesai. Disatukan dan dibundeli ujungnya agar bisa digantungkan di paku dekat dapur. Kegiatan berikut adalah menyiapkan bumbu opor dan pindang.
Aku dan iseriku bertugas menggoreng kerupuk sebab makan ketupat opor atau ketupat pindang tanpa ditemani kerupuk kurang afdol.
Sebenarnya aku masih punya adik bungsu, perempuan. Ia dan suaminya tidak merantau. Tinggal sedesa dengan ayah ibu. Suami adik saya menjadi guru SD. Dia dan suaminya sejak tadi belum muncul di rumah keluarga. Mereka punya tugas khusus. Memasak sambal goreng, kentang, dan kerecek sama butiran daging sapi. Juga membuat sambal uleg yang pedas. Sehabis Ashar ini suami adikku ada di surau, menjadi panitia penerimaan dan pembagian zakat fitrah. Nanti malam sehabis Isya biasanya dia muncul di rumah sambil membawa dua macam sambal yang langsug dibawa ke dapur untuk dpanasi lagi oleh Ibu. Lengkap sudah persiapan untuk makan besar besuk pagi sehabis shalat Idul Fitri atau Riyaya Bakda di tanah lapang depan sekolah SD desaku.
Aku mulai memasukkan kerupuk mentah yang tadi terletak di tambir ke dalam rumahku sendiri yang letaknya di samping rumah orangtuaku. Sehabis shalat Ashar berdua dengan isteri, kami mulai menggoreng kerupuk. Tiga anakku telah bergabung dengan para sepupu mengerumuni Kakeknya. Minta dibuatkan obor untuk takbiran nanti malam. Sudah kusiapkan kaos-kaos tua untuk sumbu obor.
Tiba-tiba terdengar suara bising di jalan depan rumah. Suara motor mirip kampanye. Aku melongok ke jalan kampung. Kulihat pawai motor anak-anak desa campur dengan saudara mereka yang datang dari Jakata dan kota besar lainnya. Mereka naik motor, kencang, sambil berteriak-teriak. Perasaanku menjadi tidak enak.
Sehabis Maghrib anak-anak sudah berangkat takbiran, semua membawa obor. Mereka berjalan kaki menuju masjid desa yang letaknya dekat pasar. Saat mereka berjalan sambil bertakbir dan bergembira itu, tiba-tiba konvoi anak-anak bermotor mendatangi mereka.
”Minggir-minggir! Serang!”
Mereka meraungkan kanlpot dan melempar mercon ke arah anak-anak yang membawa obor itu. Anak-anak itu kocar-kacir dan menjerit-jerit. Mereka mengulangi serangan suara motor dan mercon itu berkali-kali. Hartati, anak kedua mas Bardi jatuh terlempar karena tertabrak salah satu motor.
Mas Bardi yang tengah menemani isterinya menyetrika baju anak-anak kaget ketika mendapat laporan kalau anaknya tertabrak rombongan anak-anak nakal itu. ”Astaghfirullah!” teriaknya sambil menyambar kunci motor milik ayah.
Untung ada rombongan pemudik yang baru sampai menyewa mobil sendiri. Mobil ada di tempat kejadian. Rombongan itu turun dari mobil. Hartati ditolong oleh tetangga yang menyewa mobil. Di bawa ke Rumah Sakit kabupaten. Salah satu dari pengantar anak itu, seorang perawat, cukup punya pengalaman merawat korban kecelakaan. Dia yang memangku Hartati.
Mas Bardi langsung membuntuti mobil itu, ia ikut membawa Hartati masuk ke rumah sakit, setelah dua jam ditangani dokter, Hartati di bawa ke kamar rawat inap. Tangannya dibalut. Juga bagian tubuh yang lain.
”Selain tangannya patah, untung tidak ada luka serius di bagian lain. Anak ini perlu istirahat malam ini di rumah sakit. Tolong ada yang menunggui. Besuk pagi sudah boleh dibawa pulang,” kata dokter, ”tinggal rawat jalan.”
Sebenarnya Mas Bardi ingin mendatangi orangtua yang anaknya menabrak Hartati. Ia ingin membuat perhitungan. Untung isteri, saudara, Ibu serta Ayah mencegahnya.
Pagi itu, sehabis shalat Id kami semua tetap berpesta ketupat. Hartati ikut duduk. Ia sudah tidak lagi menangis. Kami makan ketupat dan sayur, sambal kerupuk hasil masakan sendiri. Walau ada duka, kulihat semua makan dengan lahap.
Tiba-tiba ada tamu datang. Seorang lelaki, perempuan, dan anaknya. Ayah dan Ibu langsung menyongsong tamu, diajak duduk di ruang tamu. Harmono berbisik kepada ayahnya bahwa anak itulah yang menabrak Hartati. Kulihat tangan Mas Bardi mengepal. Aku sudah siap meloncat maju untuk menghalangi dia kalau-kalau dia bangkit menyerang tamu itu.
Sejenak kemudian Ibu masuk ke ruang makan.
”Bardi dan Siti, juga Hartati. Tamu di depan itu datang untuk meminta maaf karena anaknya telah menabrak Hartati. Ia mengaku khilaf. Anaknya sudah dihukum dengan cara melarang naik motor sekolah sebulan tanpa uang saku, motornya juga akan dijual. Temuilah tamu itu dan terimalah permintaan maafnya,” bujuk Ibu lembut.
Mata Mas Bardi menyala sebentar lalu meredup lalu bening. Aku meliriknya, tangannya yang tadi mengendor mengepal lalu mengendor lagi. Kulihat matanya berair. Istrinya juga.
”Temuilah mereka,” rayu Ibu.
”Ya, Mbok,” kata Mas Bardi lirih.
Mereka bertiga bangkit menuju ke ruang tamu. Aku yang mau berdiri mengawal kakakku dicegah oleh Ibu. Ibu menggeleng. ”Nggak usah ikut-ikutan,” kata Ibu.
Cerpen: Purwati
Yogyakarta, 2015