Di sini negeri kami,Tempat padi terhampar, Samuderanya kaya raya, Negeri kami subur Tuhan/ Di negeri permai ini, Berjuta rakyat bersimbah luka,…
Lagu darah juang yang akrab di telinga demonstran pada era orde baru di atas tapaknya masih cukup relevan di era sekarang ini. Nasib rakyat di negeri yang tanahnya subur makmur dan samudranya kaya raya ini masih tetap menderita. Ironisnya mayoritas mereka justeru yang mengantungkan hidupnya di sektor pertanian dan kelautan.
Baik sebagai buruh tani maupun sebagai petani marhaen yang punya tanah namun hasil tanahnya tidak cukup untuk menghidupi keluarganya sendiri. Baik sebagai buruh nelayan maupun sebagai nelayan mandiri yang bepenghasilan pas-pasan. Mereka yang menjadi mayoritas penduduk di negeri ini persis seperti ayam yang mati kelaparan di lumbung padi.
Idealnya, Indonesia dapat swasembada pangan dan bahkan mengekspor berbagai produk pertanian dan kelautan keluar negeri. Petani dan Nelayannya seharusnya kaya raya. Namun, sesuatu yang ideal itu tidak pernah dapat diwujudklan oleh Negara ini. Sampai hari ini Indonesia masih menjadi importir produk pertanian dan produk laut. Negara agraris berkepulauan dan beriklim tropis serta mempunyai garis pantai terpanjang di dunia ini mengimpor garam dan beras. Miris memang.
Laut dan dan ladang pertanian yang menyimpan potensi luar biasa dan mejadi tenpat bergantung mayoritas rakyat ini tidak pernah diurus secara serius oleh pemerintah. Kekayaanya nyaris habis dibuat jarahan pemodal asing.
Sepuluh tahun terakhir ini. Muhammadiyah sudah memulai bergerak ke arah sana. Muhammadiyah yang selama ini menjadikan bidang kesehatan dan pedidikan sebagai pilar dakwahnya mulai menggarap sektor pertanian. Lewat Mejelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) mulai melakukan berbagai pendampingan kepada para petani, nelayan, dan kaum dhuafa yang lain.
Dalam bahasa Moeslim Abdurahman (allahu yarham), kalau sebelumnya dakwah Muhammadiyah banyak menyasar kepada mereka yang bisa mengakses sarana dakwah Muhammadiyah, mulai menyasar mereka yang tidak dapat mengakses sarana yang disediakan.
Mereka yang tidak bisa masuk ke sekolah dan rumah sakit Muhammadiyah juga mulai merasakan uluran kasih dari Muhammadiyah lewat berbagai program yang dirintis Lembaga Pemberdayaan Buruh Tani dan Nelayan yang dilanjutkan, disempurnakan, dan dikonkritkan oleh Majelis Pemberdayaan Masyarakat.
Walau belum seberapa, hasil positif mulai terlihat di bidang ini. Beberapa petani dan kaum dhuafa yang selama ini tersisih dan tidak tersentuh oleh alat-alat negara mulai ada yang mengalami perbaikan nasib. Hasil usahanya mulai bisa mencukupi kebutuhan pokoknya.
Memang, selama ini Muhammadiyah lebih dikenal sebagai gerakan Islam yang selalu mengulurkan tangan kasih dalam membantu pemerintah menjangkau mereka yang tidak bisa mendapatakan pendidikan dan kesehatan. Namun, ketika mencoba mengulurkan tangan memberdayakan kaum marjinal, ternyata juga berhasil.
Tampaknya kerja konkrit yang telah dirintis oleh Said Tuhuleley (Allahuyarham) lewat Majelis Pemberdayaan Masyarakat ini dapat dijadikan pilar ketiga gerakan Muhammadiyah di abad kedua ini. Melengkapi kesehatan dan pendidikan yang merupakan dua pilar gerakan yang sudah mapan sebelumnya.