Pancasila adalah rumusan cerdas para pendiri negara ini. Bukan dicetuskan oleh satu dua orang. Ia adalah hasil pemikiran banyak tokoh bangsa saat itu. Oleh karena itu, Pancasila juga dimaksudkan menjadi tali yang mengikat seluruh bangsa. Ia adalah pengikat konsensus bangsa. Konsensus yang tidak sekedar konsensus, tapi harus ada pembuktian dan persaksian. Butuh implementasi.
Pancasila merupakan kristalisasi dari pandangan hidup masyarakat Indonesia. “Bukan hasil pemikiran tunggal Bung Karno, melainkan hasil dari musyawarah panjang para pendiri bangsa,” kata Ustadz Jazir, Tim Ahli Pusat Studi Pancasila, UGM. Memang, sebutan Pancasila muncul pertama kali dari Bung Karno. Akan tetapi, isinya adalah berdasarkan hasil musyawarah panjang dari berbagai tokoh saat itu.
Negara Pancasila adalah Dar al-Ahdi (konsensus nasional) dan Dar al-Syahadah (tempat kesaksian). Di mana menurut Dr. H. Syamsuhadi Irsyad, MH, Rektor UMP Purwokerto tujuannya adalah “untuk mewujudkan negeri yang aman-damai (Dar al Salam).” Sebuah negeri yang memberikan keamanan dan kedamaian baik kepada pribadi, keluarga, masyarakat, maupun kemanusiaan universal.
Namun, kesadaran sejarah dan tujuan ini mulai mengendur. Pancasila selalu dikaitkan dengan pribadi atau kelompok tertentu. Ia pelan-pelan berubah menjadi mitos. Maknanya sudah melemah. Ia disakralkan. Tanpa ada kehendak mendalami dan membuktikannya dalam perilaku. Oleh karena inilah, moralitas bangsa merosot tajam. Budaya masyarakat dan elit politik makin menjauh dari nilai kebangsaan, termasuk nilai Pancasila.
Sebab semua ini adalah adanya pihak yang merasa paling berhak memiliki Pancasila. Hanya ia yang dapat memahami dan menjalankan Pancasila. Hanya tafsiran pihaknyalah yang benar. Tafsiran lain dianggap tidak “diakui” sebagai makna asli Pancasila. Dialah yang Pancasilais. Yang lain tidak. Lebih dalam lagi, Pancasila selalu dikaitkan dengan pribadi-pribadi dan partai politik tertentu. Di luar itu dianggap tidak berhak dikait-kaitkan dengan, apalagi sebagai penafsir, Pancasila. Tafsir Pancasila pun menjadi jumud.
Uniknya lagi, pihak ini bukanlah satu. Banyak pihak yang merasa sebagai pihak otoritatif memaknai Pancasila. Semua berebut tafsir Pancasila. Tafsir yang satu berbeda dengan yang lain. Masing-masing merasa paling Pancasilais. Merasa paling benar menafsirkan Pancasila. Sebenarnya, tidak ada yang berhak melarang menafsirkan Pancasila. Semua memiliki hak menafsirinya. Sebagaimana yang disampaikan Fajar Riza ul-Haq, Direktur Maarif Institute, bahwa banyak pihak yang menafsirkan Pancasila adalah hal wajar. Hal ini karena “dalam sejarahnya, Pancasila adalah hasil konsensus segenap anak bangsa.” Kenyataan historis ini menjadi landasan setiap kelompok untuk menafsirkan dan memahami Pancasila.
Hal yang sama juga disampaikan Dr. Nur Azizah, M.Si, Ketua Jurusan Hubungan Internasional UMY. Menurutnya, munculnya banyak interpretasi terhadap Pancasila bukanlah hal yang perlu dipersoalkan. Yang penting adalah “kita mampu menjelaskan atau menerjemahkan seperti apa berbagai definisi mengenai Pancasila itu,” tegasnya.
Namun demikian, yang jadi masalah adalah ketika penafsiran terhadap Pancasila diarahkan pada pribadi-pribadi atau partai politik tertentu. Jika seperti itu, maka menurut Syamsuhadi Irsyad, “hal semacam ini harus dicegah karena itu merupakan bukti kemunduran sebagai bangsa.” Dengan kalimat lain, mengasosiasikan pandangan dan penafsiran tentang Pancasila kepada pribadi atau kelompok tertentu adalah sangat keliru. Menurut Ustadz Jazir, “sangat keliru jika ada yang mengaku paling Pancasilais.” Hal ini karena Pancasila mengandung banyak nilai dan tafsir.
Tentu saja, dalam pengalamannya di lapangan juga banyak perbedaan, tetapi nilai universal Pancasila tetap harus dipedomani. Sebaliknya, sangat fatal jika ada kelompok yang anti Pancasila. Menganggap bahwa Pancasila bertentangan dengan Islam. M. Natsir, saat menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, menyatakan bahwa Pancasila adalah Islam yang diamalkan di Indonesia. Jadi, berpendapat Pancasila itu tidak Islami adalah pandangan yang sangat salah.
Oleh karena itu, menurut Fajar, merebut tafsir Pancasila di ruang publik harus dibarengi semangat dialogis, bukan menegasika. Bersedia membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan argumentasi yang berbeda. Inilah tugas generasi sekarang. Menurut Nur Azizah, tugas kita kini adalah “bagaimana membuat Pancasila itu nyata hadir di tengah-tengah kehidupan kita.”
Maka, sebenarnya perdebatan mengenai Pancasila itu sudah selesai. Dan tugas kita hari ini, menurut Ustadz Jazir, adalah “bagaimana menjadikan Pancasila itu benar-benar hidup di setiap sendi kehidupan kita.” Khususnya, bagi mereka pembuat Undang-Undang dan kebijakan. Ini penting karena kita masih sering membaca peraturan dan perundang-undangan yang dibuat jauh sama sekali dari nilai-nilai universal Pancasila. Banyak peraturan yang mengesampingkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, demokrasi, dan mengancam persatuan.
Oleh karena itulah muncul kegelisahan dalam masyarakat tentang implementasi Pancasila. Kenapa sampai hari ini Pancasila tidak diimplementasikan dengan baik. Jelas, ini terjadi adalah karena memang para pembuat kebijakan di Indonesia ini tidak berpegang teguh pada nilai dan prinsip Pancasila.
Di sinilah, menurut Fajar, Muhammadiyah ditunggu perannya. Sebagai salah satu aktor sejarah dalam proses merumuskan falsafah bernegara, Muhammadiyah memiliki tanggungjawab moral, bahkan sejarah, untuk menumbuhkan tafsir Pancasila yang sebangun dengan nilai-nilai keadaban publik, keadilan ekonomi, dan kemanusiaan, yang menjadi tujuan dari Islam berkemajuan.
Bagaimana pun, mesti ada keterbukaan penafsiran terhadap Pancasila. Menghapus adanya “otoritas” penafsiran terhadap Pancasila. Oleh karena otoritas inilah, akhirnya merembet pada pengkultusan terhadap pribadi-pribadi, bahkan terhadap Pancasila. Efek jauhnya adalah Pancasila sangat disakralkan. Kalau sudah demikian, akhirnya akan berujung pada lemah dan lupanya masyarakat terhadap implementasi nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. [bahan: nisa, thari; tulisan: ba]