Pimpinan Pusat Muhammadiyah secara resmi bertemu Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo, pada Selasa 22 September 2015 di Istana Negara Jakarta. Rombongan dipimpin Ketua Umum PP Muhammadiyah. Dalam kesempatan tersebut disampaikan tentang beberapa hal pokok hasil Muktamar ke-47, di sampimg ucapan terimakasih atas kehadiran Presiden dalam acara Pembukaan. Pimpinan Pusat juga menyampaikan Muhammadiyah tahun ini berbeda dalam melaksanakan Idul Adha 1436 H dan sesuai hak konstitusional yang dijamin UUD 1945 dalam menjalankan agama agar diberi kebebasan dan keleluasaan, termasuk dalam menggunakan fasilitas publik.
Dalam kesempatan itu sempat juga ditanyakan kepada Presiden, apakah benar pemerintah bermaksud meminta maaf kepada eks anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) sehubungan dengan peristiwa G.30.S/PKI tahun 1965 seperti beredar di media masa? Dengan tegas Presiden menjawab, bahwa tidak ada dalam pikiran atau nalar pemerintah untuk meminta maaf. Dengan rileks Presiden menyatakan, kalau pemerintah melakuka itu maka Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Tentata Nasional Indonesia akan bersatu menentangnya.
Ketika berjumpa dengan para wartawan di istana negara untuk wawancara, pernyataan Presiden soal tidak ada permintaan maaf kepada itu menjadi berita yang meluas. Media cetak dan elektronik banyak memuat berita tersebut. Muhammadiyah menjadi organisasi Islam pertama yang menyampaikan ke publik kalau Presiden Joko Widodo tidak ada pikiran untuk meminta maaf kepada eks PKI sebagaimana diberitakan di media massa selama ini. Selama ini muncul berita kalau Presiden Joko Widodo akan meminta maaf kepada anggota PKI yag menjadi korban pasca peristiwa G.30 S/PKI tahun 1965.
Belakangan Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo menyatakan, kalau Presiden tidak ada pikiran untuk meminta maaf kepada eks PKI. Panglima tak lupa merujuk pada pernyataan Presiden ketika bertemu PP Muhammadiyah. Penegasan Panglima TNI tersebut mengisyaratkan sikap TNI yang sejalan dengan Muhammadiyah dan berbagai golongan masyarakat Indonesia yang menolak atau tidak setuju jika Presiden meminta maaf kepada eks anggota PKI yang menjadi korban pasca tragedi G.30.S/PKI.
Belakangan memang terdapat sekelompok pegiat Hak Asasi Manusia yang mendesak Presiden agar meminta maaf kepada anggota PKI yang disebut korban kekerasan dan pemenjaraan tanpa peradilan serta perlakuan diskriminasi akibat peristiwa G.30.S/PKI tahun 1965. Di antara mereka, yang diwakili koordinatornya Nursjahbani Kantjasungkana, mantan anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa dan termasuk salah satu lingkaran dekat Presiden Abdurrahman Wahid di awal reformasi, bahkan berencana mengadukan Indonesia ke Mahkamah Internasional di Den Haag untuk kejahatan kemanusiaan.
Peristiwa G.30 S/PKI 1965 itu sebenarnya kompleks dan harus dikaitkan dengan dinamika politik sebelumnya. PKI saat itu bertindak di luar batas, termasuk melakukan pemberontakan 1949. Karenanya jangan meletakkan tragedi 1965 hanya dari sisi anggota PKI yang menjadi korban. Lihat pula kesewenangan PKI terhadap tokoh dan umat Islam maupun lawan politik mereka. Demikian pula dengan permainan politik Presiden Soekarno yang sangat rumit. Maka, soal permintaan maaf terhadap anggota PKI sangatlah sepihak dan sulit diterima.
Dengan demikian, pernyataan Presiden ketika bertemu PP Muhammadiyah memang menjadi penting. Bahwa Pemerintah tidak akan meminta maaf. Umat Islam dan kelompok-kelompok lain yang merasakan kekejaman PKI di masa lalu mendukung sikap tegas Presiden itu. Soal rekonsiliasi nasional tentu dapat dicarikan format lain tanpa harus meminta maaf. Rekonsiliasi nasional pun jika menjadi kesepakatam nasional harus dilakukan pada semua golongan dan untuk banyak peristiwa yang menjadi bagian dari perjalanan sejarah pahit bangsa ini.