Hari gini, atau sekarang, yang diperlukan agar bangsa dan negara selamat dari berbagai badai ekonomi dan politik, adalah hadirnya keluarga-keluarga berkemajuan. Keluarga yang mampu mengatasi segala tantangan zaman.
Apa yang menjadi basis dari tumbuhnya keluarga berkemajuan? Basisnya adalah ajaran Islam. Ajaran Islam yang mengatur relasi suami isteri sebagai pasangan hidup yang dalam bahasa agamanya disebut zaujun.
Dengan mengamalkan dan memfungsikan konsep pasangan hidup, yang saling melindungi, saling menumbuhkan, saling tolong menolong, saling menghargai, saling mencukupkan, keluarga pun menjadi luwes. Mudah mengatasi masalah keluarga.
Kegiatan dan peran dalam keluarga dapat dilakukan berganti-ganti sesuai dengan keperluan. Tidak ada pembagian tugas dan pembagian ranah hidup yang ketat. Suami isteri sebagai pasangan hidup bisa bolak-balik tanpa konflik, keluar masuk dengan lancar di tanah privat, domestik dan publik sekaligus. Bagi mereka pembagian tanah-ranah seperti itu tidak perlu. Perempuan bisa akrab dan menyelesaikan tugas dan peran di rumah, di keluarga, di masyarakat dan negara. Berganti-ganti tanpa negasi. Demikian juga lelakinya. Antara memasak nasi goreng di dapur untuk sarapan anak-anak sebelum berangkat sekolah dengan memimpin rapat di kantor atau pidato di podium, bagi dia tidak ada bedanya. Dia lakukan dengan riang tanpa terganggu kompleks kejiwaan apa pun.
Dalam praktik ada berbagai jenis keluarga berkemajuan ini. Ada contoh paling sederhana. Dalam novel karya Pudji Isdriani R berjudul Anak Kolong diceritakan dengan indah bagaimana sebuah keluarga perwira polisi korp komando yang selalu berpindah-pindah. Perwira itu meniti kariernya dari bawah. Isterinya, yang dinikahi pada usia muda, anak orang biasa. Mereka punya anak banyak.
Betapa susahnya sang isteri mendidik anaknya, di tengah tugas suami yang sering keluar kota, bahkan keluar pulau. Tempat tinggalnya pun berpindah-pindah. Ajaib, anak-anak itu kemudian tumbuh menjadi anak yang santun, cerdas dan merasa keluarga sebagai sesuatu yang membuat hidup mereka bahagia dan bermakna.
Saat keluarga ini terbentuk, suami isteri sadar bahwa mereka perlu belajar ilmu hidup. Ilmu menyesuaikan diri, ilmu berbagai tugas dan ilmu memelihara cita-cita keluarga. Sejak awal isteri sadar dia harus menyesuaikan diri sebagai perempuan yang menjadi isteri prajurit. Dia belajar memahami risiko sebagai isteri prajurit dari berbagai kasus yang menimpa tetangga. Misalnya, harus tetap tegar ketika ditinggal suaminya bertahun-tahun bertugas di Irian Jaya.
Dan sebagai isteri prajurit kelas komando, perempuan ini bersama para penghuni asrama juga belajar memiliki ketrampilan sebagai prajurit. Belajar baris-berbaris, belajar menembak dan belajar berorganisasi. Bisa mandiri dan mengurusi orang lain. Anak-anak pun merasa nyaman di bawah asuhan ibu dan perlindungan ayahnya. Dengan demikian, dalam keluarga itu, karir perempuan sebagai ibu rumah tangga pun terus meningkat sesuai dengan makin tumbuhnya usia anak-anak menjadi dewasa. Karir suami sebagai prajurit pun terus meningkat sampai akhirnya menjadi komandan kompi.
Ini adalah jenis keluarga berkemajuan dalam komunitas modern yang agak tertutup seperti di komunitas militer. Ada jenis keluarga berkemajuan lain yang muncul dalam komunitas sipil yang tumbuh bersama, yang mengalami mobilitas vertikal bersama karena sukses mendidikan dirinya dan anak-anaknya dalam dunia pendidikan.
Sang isteri, anak ulama besar, yang melahirkan tokoh-tokoh terkenal. Keluarganya terhormat dan berada. Perempuan ini menjadi guru sekolah menengah. Sang suami adalah dosen yang berasal dari keluarga petani campur priyayi ningrat Jawa.
Suatu hari sang suami akan diangkat menjadi pejabat publik. Sebelum sang suami diangkat, tiba-tiba suatu malam sang isteri menyerahkan uang yang jumlahnya cukup banyak. Hasil tabungannya menabung bertahun-tahun. Disarankan, uang itu untuk membeli mobil bagus, pakaian bagus, persediaan menjamu tamu.Tujuannya agar sang suami terhindar fitnah dan gunjingan saat menjadi pejabat publik.
Membekali pasangan hidup yang akan mendapat anugerah peran seperti pejabat publik agar terhindar dari fitnah dan gosip adalah sikap seorang isteri yang memiliki wawasan sebagai anggota dari keluarga yang berkemajuan.
Sikap sebagai isteri berkemajuan ini juga pernah ditunjukkan oleh Bu Dirman ketika Pak Dirman, sebelum berangkat gerilya masuk hutan meminta bekal perhiasan. Dengan ikhlas Bu Dirman yang di waktu muda aktif di Persyarikatan, melepas semua perhiasannya. Diberikan kepada sang suami, seorang Panglima Besar yang segera memimpin perang gerilya keliling pelosok Jawa untuk melawan Belanda.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh sebuah kampus terkenal terhadap komunitas batik di kota Solo, dan dikuatkan wawancara langsung oleh wartawan didapat fakta bahwa keluarga berkemajuan telah hadir di komunitas batik itu. Perempuan-perempuannya dengan gesit menyerbu pasar, sedang para suami tinggal di rumah untuk mengurusi manajemen dan proses produksi. Pada saat yang lain, sang isteri menjadi ibu rumah tangga di rumah, dan suaminya rapat menggalang kaum pedagang dan pengusaha batik untuk melawan dominasi pedagang asing. Pembagian tugas seperti ini dilakukan dengan suka rela berdasar prinsip saling membantu dan prinsip sapa sing sela lan sapa sing isa.
Ternyata kemudian terbukti, di komunitas Muslim modern yang masyarakatnya mendasarkan basis ekonominya pada perdagangan dan kerajinan dan usaha lain maka hidup berpasangan model Solo sudah menjadi kebiasaan sehari-hari tanpa harus berdebat tentang feminisne dan kesetaraan jender model sekarang.
Bahkan di Payakumbuh, Sumatera Barat, sepasang suami isteri yang sama-sama pegawai negeri, masih bekerja keras membanting tulang sehabis kerja kantor, mendatangi suatu tempat untuk mengambil barang dagangan, lalu disetor ke toko atau ke pedagang lain di lain tempat. Kegiatan ini dilakukan dengan gembira meski tubuh capek, dari siang sampai menjelang Isyak. Sebelum pulang, mereka menjemput anak-anaknya di tempat nenek. Sungguh potret keluarga berkemajuan yang sulit ditiru kerja kerasnya.
Di ’Aisyiyah ada konsep keluarga sakinah. Siti Aisyah, Ketua PP ’Aisyiyah yang dihubungi SM menyebutkan dalam Islam, kita melihat memang betul keluarga menjadi basis pembentukan dan penanganan karakter sejak dalam kandungan. ”Tetapi bagi kami keluarga itu juga menjadi basis pembentukan masyarakat. Karena itu keluarga memang tidak bisa dilepaskan dari masyarakat,” katanya,
Tantangan keluarga sekarang pertama terkait dengan masalah sosial dan relasi. Kedua, bagi keluarga kelas bawah tantangannya adalah kemiskinan dan keterbelakangan. Mereka hanya bekerja dan kurang memperhatikan anak-anaknya. Orangtua terlalu aktif bekerja dan tidak memperhatikan anak-anaknya. Ini perlu didiskusikan dengan anak-anak bahwa orangtua bekerja itu untuk siapa? Itu kan untuk kepentingan anak, ini yang perlu didiskusikan dan didialogkan. ”Kalau positif nanti anak-anak justru bisa mandiri dan bisa mendidik mereka mandiri,” kata Siti Aisyah.
Anak-anak mandiri, selain produk keluarga sakinah juga jelas merupakan produk keluarga berkemajuan.• (Bahan tof, nis. Tulisan: tof)