M. Abdul Fattah Santoso, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
Keluarga dalam konsep Islam adalah unit terkecil dalam masyarakat, baik dengan lingkup kecil maupun dengan lingkup luas. Dalam lingkup kecil, dengan merujuk ke kata al-ahl dalam Al-Qur’an surat at-Tahrîm(66): 6, keluarga terdiri dari ayah dan/atau ibu, beserta anak (atau tanpa anak), dan orang yang menjadi tanggungan keluarga, seperti pembantu. Dalam lingkup luas, dengan merujuk ke kata `asyîrah dalam Al-Qur’an surat asy-Syu`arâ (26): 214, keluarga terdiri dari anggota keluarga kecil, ditambah kerabat dekat dan jauh. Salah satu tujuan diturunkannya Islam adalah memberi pedoman membangun negeri yang baik yang mendapat ridha Allah (Q.S. Saba’ (34): 15), berbasis kepada tiga pilar utama, yaitu: akidah, iptek (Q.S. Al-Mujâdilah (58): 11), dan moral (Q.S. al-Isrâ’ (17): 16; al-Hajj (22): 45; dan al-Qasas (28): 58), sehingga peranan masyarakat menjadi penting. Dalam konteks ini, keluarga sebagai unit terkecil masyarakat, dengan jalinan kasih sayang yang tulus serta kohesi dan solidaritas sosial yang kuat, menjadi madrasah pertama bagi penumbuhan dan aktualisasi potensi jasmani, penanaman akidah, pembiasaan moral, kepedulian sosial dan penyiapan dasar-dasar penguasaan iptek.
Sebagai madrasah pertama, keluarga memiliki peran yang signifikan dalam membangun masyarakat, termasuk membangun keluarga sakinah melalui jalinan kasih sayang yang tulus serta kohesi dan solidaritas sosial yang kuat. Keluarga sebagai madrasah pertama, dengan demikian, memiliki hubungan yang erat dengan keluarga sakinah. Namun, belakangan peran yang signifikan itu dihadapkan kepada tantangan-tantangan, seperti pergeseran indikator keberhasilan keluarga dari bersifat sosial-spiritual menjadi bersifat material, pergeseran frekuensi tatap muka antar anggota keluarga dari tinggi ke rendah akibat panjangnya waktu bekerja dan sekolah, pergeseran lingkungan bermain dari bersifat sosial-humanis (seperti petak umpet) menjadi personal-takhumanis (seperti play station), serta pergeseran lingkungan sosial dari tatap muka penuh kehangatan menjadi tatap muka dunia maya yang abai dengan sekitar, kering kehangatan. Dalam rangka membangun keselarasan antara keluarga sebagai madrasah pertama dan keluarga sakinah, tantangan-tantangan di atas perlu dicarikan solusi. Pertama, perlu upaya revitalisasi pandangan hidup: materi bukanlah tujuan hidup, namun hanya sebagai sarana; tujuan hidup yang sejati adalah kebahagiaan sosial-spiriual (anfa`uhum linnâs dan radiyallâhu `anhum wa radû `anhu). Kedua, perlu upaya peningkatan kualitas komunikasi antar anggota keluarga melalui pemanfaatan media sosial. Ketiga, perlu upaya revitalisasi lingkungan bermain yang bersifat sosial-humanis dan lingkungan sosial penuh kehangatan melalui program kebersamaan keluarga di akhir pekan dan kegiatan-kegiatan outbond keluarga, teman sebaya dan/atau sekolah. Wallâhu a`lam bi as–sawâb.