Konon, menurut cerita, ketika KH Ahmad Dahlan mengajukan surat permohonan untuk mendirikan Muhammadiyah kepada Gubernur Jenderal Belanda, di mana beliau sendiri yang akan bertindak sebagai presidennya.
Surat itupun diteruskan oleh GG, kepada Resident Yogyakarta. Oleh resident surat itu diserahkan kepada Sri Sultan. Oleh Sri Sultan diteruskan kepada Rijksbestuurder Yogyakarta, dan oleh Rijksbestuurder dikirmkan kepada Pengulu K Chalil Kamaludiningrat untuk dimintakan pertimbangan.
Karena ada rasa ketidakcocokan dan ketidaktahuannya, Penghulu Kamaludiningrat menyatakan ketidaksetujuannya. Ketika ditanya oleh Rijksbestuurder, mengapa tidak setuju, dijawab oleh Penghulu Kamaludiningrat, “Ketip Amin (maksudnya KH Ahmad Dahlan) mau jadi Resident, saya keberatan. Dia akan lebih berkuasa dari saya. Resident hanya ada satu di Yogyakarta.”
Mendengar jawaban Penghulu Kamaludiningrat, Rijksbestuurder menjelaskan bahwa, presiden organisasi itu bukan seperti presiden dari pemerintahan negara. Dan juga kedudukannya tidak sama dengan kedudukan presiden sebagai kepala negara.
Dengan adanya penjelasan itu, dengan rasa malu Penghulu Kamaludiningrat, akhirnya menyetujui dan menuruti apa yang diperintahkan atasannya. (Imron Nasri)***